Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Kunci Bahagia ala Orang Swedia
25 Januari 2023 18:32 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari PPI Swedia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika orang Jawa mempunyai semboyan "alon-alon waton kelakon" atau pelan-pelan asal sampai ke tujuan, maka orang Swedia menganut jargon "lagom" alias sedang-sedang saja. Di negeri Viking ini, penduduknya gemar menjalani hidup dengan tidak berlebihan atau seimbang.
ADVERTISEMENT
Alhasil, menurut The United Nations Sustainable Development Solutions Network, Swedia tidak pernah absen bertengger di peringkat sepuluh besar negara dengan penduduk paling bahagia sedunia.
Lagom dalam Kehidupan Sehari-hari
Bagaimana caranya negara kaya dan penduduknya termasuk pembayar pajak tertinggi di dunia bisa hidup tidak berlebihan? Tommy Danielsson (48), penduduk asli Swedia berpendapat, "Kenapa harus berlebihan, ketika yang sedang-sedang saja sudah cukup?"
Pendapatnya mengacu pada banyak hal dalam kehidupan sehari-harinya. Dia lebih memilih membeli barang-barang fungsional—contohnya furnitur—alasannya karena memberi ruang lebih untuk bergerak di dalam rumah dan lebih praktis untuk membersihkannya.
”Selain enak di mata, jiwa juga lebih tenang karena rumah bersih dan tidak sesak,” imbuhnya.
Di Swedia, tujuan hidup bukan lagi tentang kemampuan untuk membeli barang berlebihan dan pamer. Tetapi berlaku cerdas dalam mengonsumsi barang. Martina (38), ibu tiga orang anak mengaku lebih suka ke toko barang bekas.
ADVERTISEMENT
”Selain ramah di kantong juga baik untuk lingkungan,” katanya.
Membeli barang secondhand tidak saja memberi kesempatan hidup lebih lama untuk barang tersebut, tetapi juga demi kepentingan bumi dan keberlangsungan masa depan. Tak ada gengsi karena memakai barang bekas, yang ada justru rasa tanggung jawab untuk menyelamatkan lingkungan.
Menurut survei yang dilakukan oleh Statista, lebih dari 52 persen konsumen membeli barang bekas karena ingin berkontribusi untuk lingkungan dan sebanyak 36 persen memilih karena alasan sosial—uang hasil penjualan biasanya didonasikan ke lembaga atau orang-orang yang membutuhkan.
Röda Korset Seconhand Butik dan Erikshjälpen adalah dua contoh toko barang bekas yang menyalurkan uang hasil penjualan untuk membantu anak-anak dan keluarga kurang beruntung. Swedia memang pintar dalam penerapan ekonomi sirkular, termasuk melalui tren secondhand dan gerakan slow-shopping.
ADVERTISEMENT
Ina Rane (34) perempuan asal India yang telah tinggal di Swedia selama tiga tahun mengaku bahagia dengan jargon lagom. Dan, dia tidak kesulitan mengadopsinya.
"Rasanya lebih rileks, tidak ada tekanan sosial, semuanya setara tidak seperti di India," ujarnya. Ia menambahkan gaya hidup ini mampu meningkatkan kualitas hidup.
"Hal lain yang saya pelajari adalah bersabar. Orang-orang Swedia gemar melakukan sesuatu dengan benar bukan dengan cepat. Saya terkadang tak sabar," ujarnya dengan gelak.
Lagom dalam Kerja dan Keluarga
Ina yang bekerja di bidang IT bercerita bagaimana dia terkesan dengan budaya fika—atau coffebreak—di kalangan masyarakat Swedia. Bahkan, di lingkungan kantor.
"Mungkin ada tujuh kali dalam sehari, kami rehat untuk fika," ujarnya geli. Meski begitu, lembur adalah hal yang tabu di Swedia.
ADVERTISEMENT
"Kita dituntut untuk bekerja cerdas dengan waktu, efektif dan efisien," tambahnya. Jadi, jangan berharap ada kantor atau pertokoan yang jam kerjanya molor. Bekerja pun tidak selayaknya berlebihan—lagom saja.
Meninggalkan tempat kerja tepat waktu, adalah cara untuk dapat mengalokasikan waktu dengan keluarga atau diri sendiri. Maka tak heran kenapa orang-orang Swedia bahagia, karena sebagian besar waktu mereka tak habis untuk mengurusi pekerjaan saja.
"Di hari Jumat, kita punya fredagsmys, biasanya makan bersama dengan keluarga atau kawan dekat. Menu yang paling lazim adalah tacos," ujar Tommy.
Acara makan malam biasanya dilanjutkan dengan bersantai bersama dengan berbagai cemilan. Kunci dari fredagmys adalah kebersamaan dan semuanya harus simpel, tidak ada masak besar yang merepotkan atau aktivitas yang rumit.
ADVERTISEMENT
Untuk urusan membersihkan rumah, penduduk Swedia juga melakukannya dengan seimbang—antara perempuan dengan laki-laki. Tidak ada dalam kamus mereka hanya perempuan yang wajib memasak dan mengurus anak. Para bapak cukup lihai dalam mengganti popok dan menidurkan bayi. Pemerintah pun menyokong peran setara ini, dengan memberikan parental leave kepada sang bapak.
Cuti yang ditanggung pemerintah ketika mempunyai anak untuk suami adalah selama 480 hari atau 16 bulan. Cuti ini bisa diambil ketika anak baru lahir atau diadopsi, atau kapan saja sebelum anak berumur 12 tahun.
Swedia merupakan negara pertama di dunia yang memutuskan untuk menerapkan kebijakan cuti untuk para bapak pada tahun 1974. Kebijakan ini diambil oleh pemerintah untuk membuat para bapak menghabiskan waktu berkualitas dengan sang anak, dan kesempatan untuk perempuan untuk bekerja.
ADVERTISEMENT
Tak heran jika banyak bapak mendorong kereta bayi atau menggandeng anak-anak di jalanan di Swedia. Di taman-taman bermain banyak anak-anak yang ditemani para bapak dan mereka tampak luwes menyiapkan susu botol, makan atau bahkan mengganti popok.
Mereka juga terlihat trendi. Bahkan, ada istilah lattepappor atau ayah kopi latte—untuk menggambarkan para bapak keren ini mendorong buggy dengan satu tangan sementara tangan lain memegang gelas kopi.
Kesetaraan gender dan kebijakan pemerintah yang ramah keluarga menjadi kunci bahagia orang-orang Swedia. Martina mengaku sangat puas dan diuntungkan dengan adanya cuti berbayar untuk para bapak ini.
"Ini penting untuk menjaga kesehatan mental para Ibu, terutama ketika baru saja melahirkan. Kita butuh waktu untuk pemulihan dan penyesuaian," katanya.
ADVERTISEMENT
Fitim Sallahu (39) menyatakan alasan utamanya pindah dari Inggris ke Swedia adalah kebijakan pemerintah Swedia terhadap keluarga dan anak-anak.
"Negara ini sangat menghargai kehidupan keluarga. Sekolah gratis dari TK sampai kuliah hingga bebas biaya kesehatan," jelasnya.
Anak-anak di Swedia juga mendapatkan "uang saku" terhitung sejak mereka lahir, yaitu sebesar 1,250 kronor per bulan atau setara dengan Rp2,1 juta, hingga sang anak mencapai usia 16 tahun.
”Saya tidak menyentuh uang mereka, jadi nanti mereka punya modal untuk melakukan apa saja yang mereka ingini,” ungkap ayah tiga orang anak ini.
Bahagia Hari Ini dan Esok Hari
Kebijakan berkesinambungan nampaknya merupakan mantra dari rasa puas dan bahagia penduduk Swedia—meski pajak yang tinggi. Mereka percaya pemerintah akan melakukan hal yang terbaik untuk warganya. Pun dalam masa pandemi—ketika seluruh dunia mempertanyakan kebijakan kontroversial Swedia untuk tidak memakai masker, tidak lockdown dan tetap membuka sekolah dasar, restoran, dan pertokoan.
ADVERTISEMENT
Menurut Andres Tegnell, ahli epidemiologis dan arsitek di balik kebijakan tersebut, menyatakan bahwa pemerintah tak ingin anak-anak kehilangan masa sekolah mereka. Lebih lanjut, langkah ini dinilai terbaik untuk kelangsungan ekonomi keluarga dan kesehatan mental keluarga.
Jika sekolah ditutup dan anak-anak dipaksa untuk bersekolah dari rumah sementara para orang tua masih tetap harus bekerja, maka orang tua harus mengurus mereka dan tidak bisa maksimal berkarya. Dengan penduduk yang hanya sekitar 10 juta, pemerintah harus juga mempertimbangkan siapa yang akan bekerja di sektor vital publik, seperti rumah-sakit dan perbankan jika banyak pekerja harus di rumah.
"Saya rasa ini keputusan yang baik dari pemerintah. Apalagi untuk yang punya banyak anak dan masih kecil-kecil dan masih tetap harus mencari nafkah," ungkap Martina.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, tak seperti negara lain, GDP Swedia di kuarter kedua tahun ini naik hingga 0,9 persen. Kebijakan pandemi lain untuk warga pun juga sesuai dengan prinsip lagom: tak ada larangan, semuanya anjuran. Dan hal terpenting yang dianjurkan pemerintah adalah untuk menjaga jarak atau håll avstånd.
Menurut Tegnell, menjaga jarak lebih penting dari pada memakai masker. Dan kebijakan ini masih tidak berubah dari awal pandemi hingga sekarang.
Negara ini memberi pembelajaran bahwa yang sedang-sedang saja justru lebih baik dari yang ”ter” –terbaik, terlama, terbaru, dll. Berpikir untuk hari depan dengan tidak mengorbankan hari ini dan berbahagia hari ini dengan tidak lalai akan hari depan.
Swedia memang bukan negara agamis—banyak penduduknya yang Kristen ”KTP” atau malah atheis—tapi kehidupan bermasyarakatnya jauh lebih agamis dari negara-negara yang menerapkan hukum agama namun lalai untuk melindungi hak-hak warganya.
ADVERTISEMENT
Penulis: Alvia Zuhadmono
Penyunting: Ariel Adimahavira dari PPI Swedia