Konten dari Pengguna

Makna Alam dalam Pendidikan Berkelanjutan

PPI Swedia
Perhimpunan Pelajar Indonesia di Swedia
28 Juli 2022 19:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari PPI Swedia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

“There is no such thing as bad weather, only bad clothes.”

Alam di Swedia saat winter. Sumber: Dokumen Pribadi (Nila).
zoom-in-whitePerbesar
Alam di Swedia saat winter. Sumber: Dokumen Pribadi (Nila).
Tidak ada cuaca buruk, yang ada hanyalah pakaian yang buruk. Inilah frasa yang sering kita temukan khususnya pada masyarakat yang tinggal di area Skandinavia. Di Swedia, frase ini bukan hanya sekadar kalimat, namun merupakan bagian penting dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Tidak mengherankan jika frasa ini juga diadopsi pada sektor pendidikan.
ADVERTISEMENT
Pada awal masa studi, saya khawatir atas kemampuan saya untuk bertahan hidup di negara dengan cuaca ekstrim. Hampir sebagian besar kelas yang saya ikuti dilakukan di ruang terbuka. Hal terpenting yang harus saya persiapkan: memastikan suhu dan perkiraan cuaca untuk beberapa jam ke depan, sehingga saya dapat menggunakan pakaian yang sesuai. Tidak lupa juga membawa termos kecil untuk penghangat selama kelas berlangsung.
Sambil berjalan di hutan, kami memulai diskusi terkait esensi alam bagi manusia, seberapa berpengaruhnya pendidikan melalui pengalaman langsung, dan terkadang isu-isu sosial politik yang mempengaruhi implementasi pembangunan keberlanjutan dalam pendidikan.
Topik-topik hangat dan menarik masih terus berlanjut, dengan sesekali mempersiapkan api unggun sebagai penghangat sementara waktu. Kelas di luar ruang kadang berkisar satu jam atau bahkan sampai kami harus menginap. Tujuan akhirnya adalah untuk merasakan dan memahami interaksi antara manusia dengan alam secara langsung.
ADVERTISEMENT
Banyak yang bertanya mengapa saya memilih belajar pendidikan di luar ruang dan berkelanjutan untuk studi magister? Apakah dapat diimplementasikan pada sistem pendidikan di Indonesia?
Seperti diketahui, Swedia memberikan atensi dan dukungan yang besar untuk pertumbuhan sektor pendidikan. Kurikulum anak usia dini di Swedia secara terperinci mendukung pembelajaran demokratis dengan menekankan partisipasi aktif untuk proses perkembangan berkelanjutan. Melalui obrolan singkat bersama salah satu teman yang juga bekerja sebagai guru di Swedia, hampir 70% kegiatan anak terorientasi di luar ruangan. Pada anak-anak usia dini, minimum 3 jam dari waktu sekolah harus mereka habiskan di luar kelas. Salah satu sekolah yang saya kunjungi bahkan menjadwalkan minimal satu minggu sekali berkegiatan di hutan dekat sekolah. Tujuannya adalah agar memahami bahwa alam bukan merupakan hal yang asing.
ADVERTISEMENT
Seperti dijelaskan dalam buku “The Biophilia Hypothesis” karya Kellert dan Wilson (1984), manusia memiliki kecenderungan untuk menjalin kedekatan dengan alam dan makhluk hidup. Namun, di sisi lain ada pula biophobia, yaitu ketakutan manusia akan alam yang biasanya ditunjukkan melalui ketakutan dengan hewan spesifik tertentu.
Britannica Ensiklopedi (2019) menjelaskan afiliasi yang terbentuk antara manusia dan alam dipengaruhi oleh faktor genetik. Namun, perlu diketahui bahwa intensitas interaksi manusia dan alam yang signifikan dapat mempengaruhi kualitas hubungan manusia dan alam. Hal ini tentu menarik untuk dipahami lebih lanjut, bagaimana pendidikan yang disajikan di alam bebas dapat dipercaya sebagai hal yang esensial.
Menjaga alam sekitar merupakan konsep lama dan turun temurun yang dipahami hampir di seluruh belahan dunia. Negara-negara di Skandinavia, termasuk Swedia telah dikenal sebagai negara dengan kesadaran lingkungan yang tinggi. Hal ini tidak terlepas dari kebiasaan untuk menghabiskan lebih banyak waktu di luar ruangan, baik dalam suhu hangat maupun dingin. Bukan hal aneh melihat begitu banyak anak-anak usia dini hingga lansia berjalan kaki di hutan bahkan saat suhu di bawah minus 15 derajat celcius! Bukan suhu yang disalahkan, tetapi kesesuaian pakaian yang perlu diperhatikan.
ADVERTISEMENT
Tingkat aksesibilitas dan mobilitas anak untuk beraktivitas secara mandiri menjadi hak setiap anak di Swedia. Hampir seluruh sekolah yang dimiliki pemerintah terletak tidak jauh dari hutan atau taman kota. Berkaca dari beberapa penelitian terkait dengan pendidikan di luar ruangan, begitu banyak keuntungan yang diperoleh. Contohnya: perkembangan kemampuan motorik, kognitif, bersosialisasi, dan juga peningkatan daya tahan tubuh dan kesehatan mental anak.
Pendekatan yang erat dengan alam di lingkungan sekitar dapat menghasilkan pengaruh positif pada perkembangan tingkah laku dalam merawat dan menjaga lingkungan. Hal inilah yang banyak terlupakan oleh manusia modern saat ini. Padahal, ketika dengan alam, manusia sesungguhnya dapat belajar banyak hal secara autentik. Contohnya, kejadian yang dialami Newton saat menemukan teori Gravitasi melalui observasi apel yang jatuh dari pohon.
ADVERTISEMENT
Berkaca pada penemuan-penemuan seperti di atas, sektor pendidikan otomatis memiliki tanggung jawab yang besar untuk mendukung pembelajaran di luar ruangan. Salah satu mata kuliah yang saya ambil, meminta kami untuk menghasilkan sebuah cerita. Cerita yang nantinya menjadi bagian dari modul untuk dapat diimplementasikan pada proses belajar mengajar.
Di dalam cerita, anak diajak untuk memahami isu dengan kacamata yang humanis. Tokoh-tokoh antagonis dan protagonis yang dihadirkan di dalam cerita dapat menjadi sebuah solusi bagi anak untuk memahami isu lingkungan. Proses pembuatan cerita juga mempertimbangkan faktor kultur, politik, kebijakan pemerintah, dan aktor pendukung maupun penghambat. Isu-isu yang terdengar kompleks ini sesungguhnya dapat disajikan secara sederhana.
Isu Teluk Benoa di Bali menjadi pilihan saya. Seperti yang ditulis Nationalgeographic.grid.id (2019), Indonesia kehilangan sekitar 50% hutan mangrove. Padahal, mangrove berfungsi penting untuk menyimpan karbon, area konservasi, penyaring polutan, dan pendukung perekonomian masyarakat pesisir. Proses pembuatan cerita dan modul didasarkan pada isu nyata dengan memperhatikan usia perkembangan anak. Penting untuk memperhatikan detail penggunaan kata, jalan cerita, dan visual. Doktrinisasi terkait isu konservasi lingkungan secara umum tentu masih menuai pro dan kontra.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari pendekatan di Swedia, saya banyak menemukan bagaimana isu-isu lingkungan dapat dibungkus secara interaktif. Misalnya melalui media seperti buku cerita anak, video, atau kartun dan papan informasi yang menarik bagi anak di hampir setiap pintu masuk hutan. Akhirnya, refleksi terdalam saya ada pada pendekatan yang dilakukan dan prinsip yang mendasar pada eksplorasi utuh anak dengan lingkungan sekitar. Selain itu orangtua, guru, dan komunitas memiliki andil besar dalam mendukung anak untuk beraktivitas diluar ruangan.
Pendidikan erat berkaitan dengan kebebasan dalam mengeksplorasi. Sama halnya dengan apa yang dicanangkan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim megenai esensi pendidikan, yakni pendidikan yang merdeka bagi seluruh rakyat Indonesia. Di sisi lain, peningkatan penggunaan media elektronik bagi anak usia dini masih banyak menimbulkan pro dan kontra. Mesti dipahami bahwa media elektronik merupakan alat bantu untuk mengintegrasikan dan melengkapi keingintahuan anak akan dunia.
ADVERTISEMENT
Tujuan pendidikan seharusnya tidak lagi berorientasi pada kebutuhan negara yang banyak terpusat pada kota-kota besar atau pemenuhan permintaan pasar. Namun, pada esensi perkembangan manusia secara utuh dan autentik. Bersama dengan alam, anak memperoleh kesempatan berperan utama untuk mengeksplorasi dan memahami hidup. Tumbuhnya keterikatan pada alam dapat menghasilkan tingkah laku positif, salah satunya adalah keikutsertaan dalam menjaga dan merawat alam, baik di lingkungan sekitar maupun dalam cangkupan yang lebih luas, yaitu dunia.
Munculnya banyak sekolah berbasis alam menunjukkan bahwa Indonesia sesungguhnya mampu mengembangkan pendidikan yang sadar akan lingkungan. Sayangnya, hanya beberapa sekolah yang fokus pada hal tersebut. Padahal, Kemendikbud sudah seharusnya memasukkan pembelajaran di luar ruang dan menyediakan ruang terbuka bagi anak. Selain itu, pembahasan mengenai isu-isu keberlanjutan lingkungan yang kontekstual juga sudah seharusnya menjadi hal yang esensial pada proses belajar. Karena pada akhirnya setiap anak-anak di Indonesia memiliki hak penuh untuk mengakses alam.
ADVERTISEMENT
Kembali pada pernyataan di awal, bahwa alam tidak pernah bersalah dan sudah sewajarnya manusia hidup berdampingan dengan alam. Manusia menjalin hubungan dengan alam melalui interaksi secara langsung. Pendidikan yang didasarkan pada kedekatan dengan alam akan mampu ”melahirkan” manusia yang kritis dan reflektif dalam mengambil tindakan yang berdampak bagi masa depan. Saya percaya tidak pernah ada kata terlambat untuk menyelamatkan alam, dan sudah saatnya itu kita mulai dari sekarang.
Penulis: Bernadia Dwiyani dari PPI Swedia
Editor: Nilahazra Khoirunnisa dari PPI Swedia
References
Kellert, S. R., & Wilson, E. O. (1993). The Biophilia hypothesis. Washington, D.C: Island Press
Widyaningrum, G. Laras. (2019, Mei 2019). Lebih Dari 50 % Hutan Mangrove di Indonesia Hilang, Apa Penyebabnya? Dimuat di https://nationalgeographic.grid.id/read/131739246/lebih-dari-50-hutan-mangrove-di-indonesia-hilang-apa-penyebabnya
ADVERTISEMENT
Rogers, K. (2019, June 25). Biophilia hypothesis. Encyclopedia Britannica. Dimuat di https://www.britannica.com/science/biophilia-hypothesis
Bernadia Dwiyani, penulis adalah seorang mahasiswa akhir jurusan Outdoor and Sustainability Education di Linkoping University, Swedia. Lulus pada tahun 2012 dari sarjana Psikologi UI dan bekerja selama kurang lebih 3 tahun di beberapa sekolah alternatif di Bali. Sangat tertarik dengan isu terkait pendidikan alam, mindfulness, sustainability, dan pendidikan holistik.