Konten dari Pengguna

"To Recycle or not to Recycle", Bukan Lagi Menjadi Pertanyaan di Swedia

PPI Swedia
Perhimpunan Pelajar Indonesia di Swedia
20 Desember 2022 15:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari PPI Swedia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Recycle bin yang dipisahkan berdasarkan jenis sampah. Foto: dokumen pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Recycle bin yang dipisahkan berdasarkan jenis sampah. Foto: dokumen pribadi.
ADVERTISEMENT
Mengimpor sampah mungkin terdengar seperti hal yang tak lazim, tapi itulah yang dilakukan Swedia, salah satu negara Skandinavia yang termasuk ke dalam 10 negara terbaik di dunia dalam mendaur ulang sampah. Untuk memastikan fasilitas daur ulang dan insinerasinya tetap dapat beroperasi terus menerus, Swedia menjadi salah satu negara pionir yang mengimpor sampah dari negara lainnya. Hal ini berkat sistem pengolahan sampah Swedia yang ekstensif, efisien, dan merata hingga ke seluruh daerah.
ADVERTISEMENT
Menurut Swedish Waste Management Association, Swedish EPA, pada tahun 2020 Swedia berhasil mengelola sekitar 4,8 juta ton limbah rumah tangganya, dimana 46% dari jumlah tersebut dikonversi menjadi energi. Selain itu, 84% botol dan kaleng juga berhasil didaur ulang, dan 70% bungkus kemasan produk diolah kembali menjadi sumber material untuk bungkus kemasan produk lainnya. Tingginya kemampuan fasilitas daur ulang sampah di Swedia ini mengakibatkan adanya kebutuhan akan sampah yang tinggi dan mendorong negara yang terkenal dengan “Swedish meatballs”-nya untuk mengimpor sampah.

Bagian dari Gaya Hidup

Tingginya tingkat daur ulang sampah di Swedia tak lepas dari gaya hidup masyarakatnya yang turut menerapkan daur ulang. Mayoritas dapur standar Swedia memiliki setidaknya 4 kotak sampah yang terbagi-bagi untuk limbah kompos, plastik, kertas, dan limbah campuran. Taman kota, pusat perbelanjaan, dan tempat-tempat umum lainnya pun memiliki setidaknya 3 tempat sampah yang berbeda-beda untuk setiap jenis sampah.
ADVERTISEMENT
Dengan pusat daur ulang yang banyak tersebar di berbagai titik di kota, masyarakat disediakan kemudahan akses untuk membawa limbah rumah dan mendaur ulangnya pada tempat-tempat yang mudah dijangkau. “Tidak mendaur ulang dan mencampur sampah? Sepertinya aku akan merasa janggal. Setidaknya aku akan berusaha memisahkan sampah kompos dan non-kompos,” ujar Madeleine Östergren, seorang karyawan swasta, saat ditanya mengenai pendapatnya jika tidak mendaur ulang. Mendaur ulang memang telah menjadi hal yang lazim di Swedia.
Tak hanya di perkotaan dan pusat pemukiman saja, aktivitas daur ulang juga digiatkan hingga pelosok dan pegunungan Swedia. Di tengah antah berantah pegunungan Swedia, tersebar beberapa kabin sederhana untuk para pendaki yang ingin beristirahat sejenak atau berlindung dari cuaca buruk. Kabin-kabin sederhana ini tidak memiliki listrik atau air mengalir; namun uniknya, tersedia beragam tempat sampah berbeda yang mendorong para pendaki untuk memilah dan membuang sampah sesuai dengan kategori sampahnya. Tempat-tempat sampah yang terpilah dengan sistematis ini, beserta dengan transportasi dan pengolahan akhirnya, dikelola oleh pemerintah administratif Swedia. Hal ini menunjukkan betapa pemerintah Swedia sangat peduli dengan daur ulang dan bagaimana populasi di Swedia dibiasakan memilah sampah untuk didaur ulang sebagai bagian dari aktivitas mereka, dimanapun dan kapanpun.
ADVERTISEMENT

Insentif Mendaur Ulang melalui Sistem ”Pant

Pant machine. Foto: dokumen pribadi.
Memotivasi penduduk untuk mendaur ulang dengan sistem deposit juga menjadi salah satu strategi Swedia untuk meningkatkan tingkat daur ulangnya. Sejak tahun 1984, Swedia menerapkan sistem ”Pant”, dimana pendaur ulang akan mendapatkan uang dari setiap pengembalian kemasan minuman berbentuk kaleng aluminum dan botol plastik. Cukup dengan membawa botol-botol atau kaleng kosong ke toko terdekat dan memasukkannya ke dalam sistem yang tersedia, pendaur ulang akan mendapat karcis yang dapat langsung dibelanjakan di toko tersebut. Tingginya aksesibilitas dan kemudahan mendaur ulang dari Pant ini semakin memotivasi masyarakat untuk menjadikan daur ulang bagian dari gaya hidup mereka.
Botol-botol dan kaleng-kaleng yang telah tersortir ini kemudian akan diproses lebih lanjut di pusat-pusat daur ulang untuk dibersihkan, dihancurkan, dan dijadikan butiran-butiran polimer dan metal daur ulang yang dapat digunakan sebagai material untuk memproduksi kemasan produk lainnya. Dengan sistem Pant ini, pemerintah Swedia turut mendorong gerakan ”circular economy”, sebuah ide dan konsep untuk menggunakan produk yang bisa digunakan kembali pada fase hidup berikutnya setelah didaur ulang.
ADVERTISEMENT

Menerapkan Daur Ulang dalam Gaya Hidup Indonesia?

Menilik sepintas sistem daur ulang di Swedia tak lengkap tanpa meninjau pula bagaimana aktivitas daur ulang di negara sendiri, Indonesia. Tak dapat dipungkiri, daur ulang di Indonesia masih terlihat sebagai sebuah ide yang terlihat brilian di atas kertas, tetapi belum dapat dieksekusi secara optimal dan masih memerlukan usaha besar untuk tercapai. Minimnya infrastruktur untuk pengolahan sampah, rendahnya kapasitas dan keterlibatan pemerintah dalam mendorong kesadaran masyarakat untuk memilah sampah, hingga mentalitas masyarakat yang tak acuh dengan isu sampah masih menjadi hambatan utama mengapa daur ulang bukanlah hal yang lumrah di Indonesia.
Menurut Dwi Sasetyaningtyas, founder serta CEO dari Sustaination, ”refuse” dan “reduce” merupakan strategi yang lebih tepat dibandingkan daur ulang untuk membantu mengatasi isu terkait sampah di Indonesia untuk saat ini. Menolak dan mengurangi produksi sampah individu dinilai lebih tepat sasaran, menimbang situasi Indonesia yang masih belum memiliki fasilitas pengolahan (bank) sampah sebanyak Swedia atau negara-negara lain di Eropa. Keterbatasan infrastruktur yang menghambat konsep daur ulang untuk diimplementasikan di Indonesia membuat Tyas, sapaan akrab Dwi Sasetaningtyas, gencar mengkampanyekan penggunaan produk-produk yang dapat digunakan berkelanjutan melalui Sustaination.
ADVERTISEMENT
Hal serupa juga diutarakan oleh Bayu Ardiyanto, seorang PNS yang pernah menyicipi hidup di Swedia selama masa tempuh studinya. Kembali ke Indonesia selepas masa studinya, Bayu merasa konsep daur ulang kembali menjadi asing dan tak sefamiliar di Swedia. ”Di Swedia kita bisa melihat tempat sampah yang terpisah-pisah untuk mempermudah pemilahan dimana-mana. Di Indonesia, kebanyakan tempat sampah menjadi satu. Hal ini menurut saya membuat masyarakat menjadi tak acuh dan tak terpikir akan daur ulang sama sekali,” ujarnya.
Perjalanan menuju daur ulang untuk Indonesia mungkin masih terlihat panjang. Peran aktif pemerintah sangat krusial dan dibutuhkan untuk memulai pengadaan infrastruktur dan fasilitas pengolahan sampah sebagai dasar dari adanya sistem daur ulang pada suatu area atau negara. Tak berhenti disitu saja, setelah pengadaan infrastruktur dan fasilitas pengolahan sampah, diperlukan pula sosialisasi untuk mengenalkan masyarakat akan konsep fundamental dari daur ulang. Hal lain yang penting pula untuk disosialisasikan adalah membuat masyarakat memahami pentingnya peran mereka dalam pemilahan sampah, hingga memilah sampah dapat menjadi bagian dari gaya hidup layaknya di Swedia.
ADVERTISEMENT
Penulis: Diviezetha Thamrin
Editor: Ariel Adimahavira dari PPI Swedia