Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bias Autentisitas dan Politik Identitas di Indonesia: Dari Masakan Hingga Tanah
24 November 2024 12:57 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Duala Oktoriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kontroversi terkait sertifikasi masakan Padang demi menjamin autentisitas cita rasa khas Minang yang terjadi beberapa waktu lalu meninggalkan pertanyaan yang cukup mengusik. Mengapa sebagian masyarakat kita masih terobsesi dengan autentisitas dan kepribumian?
ADVERTISEMENT
Menilik kembali keberagaman etnis dan budaya di Indonesia beserta produknya semestinya mampu membuat kita menyadari kompleksitas di dalamnya. Bukanlah hal yang mudah untuk mengurai asal-usul sebuah suku atau materi budaya tertentu, apalagi menentukan siapa yang paling asli dan apa yang disebut sebagai asli. Dalam konteks masakan Padang, autentisitas cita rasa menjadi titik persoalan, meskipun masakan Padang itu sendiri disinyalir juga bukan murni produk budaya Minang. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fadly Rahman yang berjudul Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia, teknik merandang atau yang umum dikenal sebagai rendang, yaitu memanaskan masakan berulang kali hingga kuahnya menyusut, merupakan pengaruh kolonialis Portugis pada sekitar abad 16. Selain itu, masakan Padang yang erat dengan gulai juga mendapatkan pengaruh dari jenis masakan kari India, apalagi salah satu bumbu yang digunakan dalam gulai (kapulaga hijau) tidak tumbuh di Sumatera Barat. Berbagai macam rempah dari India dan Cina menyebar di Sumatera Barat melalui Selat Malaka sekitar abad 14 seiring dengan ramainya pedagang India dan Cina yang bermukim di sana. Bahwa cita rasa gulai dan rendang yang berkembang sedemikian rupa seturut dengan selera dan ketersediaan bahan pangan di Minang merupakan hal yang lumrah dalam perjalanan produk budaya termasuk makanan. Belum lagi merebaknya rumah makan Padang di penjuru Indonesia yang disebabkan oleh penyebaran orang Minang pasca pemberontakan PRRI di tahun 1950an telah sedikit banyak berpengaruh terhadap cita rasa masakan Padang karena penyesuaian terhadap ketersedian berbagai bahan dan bumbu yang berbeda-beda di setiap daerah.
ADVERTISEMENT
Pengagungan terhadap segala sesuatu yang asli memungkinkan pemikiran dan sikap diskriminasi bertumbuh subur hingga jangka waktu yang lama. Hal ini terlihat dalam peraturan kepemilikan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang tertuang dalam Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY nomor K.898/I/A/1975 di mana warga nonpribumi tidak diijinkan memiliki tanah di DIY. Berbagai gugatan dan surat pernyataan baik dari individu maupun lembaga seperti Komnas HAM dan Ombudsman RI telah dilayangkan sebagai upaya menghapus peraturan tersebut. Pemerintah DIY pun pernah menanggapi melalui surat pernyataan yang berisi alasan mengapa peraturan yang masih berlaku tersebut tersebut. Dalam surat pernyataan, pemerintah DIY berdalih bahwa aturan tersebut demi melindungi warga pribumi agar kepemilikan tanah tidak beralih kepada warga atau pemodal yang secara finansial memiliki kemampuan lebih atau kuat.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya kini bukan lagi sekedar siapa yang disebut pribumi dan nonpribumi? Namun mengapa pemerintah DIY memutuskan untuk menutup mata terhadap fakta yang terang benderang bahwa, yang pertama, tidak semua keturunan Tionghoa lebih kuat secara finansial. Kedua, tanah di DIY sudah dikangkangi oleh warga dari luar DIY yang memiliki kemampuan finansial lebih besar ketimbang warga lokal meskipun mereka bukan berasal dari kaum yang sering disebut nonpribumi. Alih-alih melindungi hak warganya, pemerintah DIY dalam hal ini justru melanggengkan politik identitas yang diskriminatif dengan peraturan yang kontra produktif tersebut.
Kembali pada konsep autentisitas yang kerap menjadi kambing hitam berbagai persoalan di Indonesia, apa sebenarnya makna dari kata tersebut? Autentisitas tak lain merupakan konstruksi pemikiran barat yang kerap dilekatkan pada budaya yang dianggap murni, asli, dan tradisional. Konsep budaya autentik muncul pada masa eksplorasi dan kolonisasi bangsa Eropa, dan kerap digunakan oleh ilmuwan sosial terutama dalam lingkup antropologi. Autentisitas juga merujuk pada konsep individualisme posesif di mana eksistensi individu bergantung pada kepemilikan pribadi. Dalam konteks yang lebih luas seperti komunitas atau bangsa dan negara, eksistensi kolektivitas bergantung pada kepemilikan budaya yang autentik. Relasi kuat antara kepemilikan dan autentisitas melahirkan pandangan bahwa yang bisa disebut sebagai budaya yang asli adalah budaya yang dihasilkan dan dimiliki langsung oleh pemilik kebudayaan, yang mana kebudayaan tersebut haruslah memiliki perbedaan dari kebudayaan lain. Kebudayaan sendiri menurut Franz Boaz merupakan seperangkat adat istiadat, lembaga sosial dan kepercayaan yang menjadi ciri khas masyarakat tertentu. Ia juga menekankan bahwa perbedaan budaya disebabkan lebih karena kondisi lingkungan yang berbeda dan peristiwa sejarah, ketimbang perbedaan ras.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus masakan Padang dan peraturan kepemilikan tanah yang diskriminatif di DIY, kita perlu mempertanyakan konsep autentisitas dan keaslian (kepribumian) yang dimaksud, dan seberapa penting hal tersebut jika dikaitkan dengan persoalan hak asasi manusia dan kemaslahatan orang banyak di era sekarang? Mengukur keaslian cita rasa sebuah masakan berarti menerapkan berbagai indikator yang telah ditetapkan mulai dari bahan-bahan, cara memasak, cara penyajian, dan lain sebagainya. Terkait masakan Padang sendiri, terdapat transformasi baik dari segi jenis dan cita rasa dari tahun ke tahun, sehingga menentukan standar autentisitas dari sebuah masakan Padang melalui sertifikasi menjadi hal yang patut kita pertanyakan faedahnya. Sementara dalam persoalan kepemilikan tanah di DIY yang mengatasnamakan kepentingan pribumi, yaitu orang yang dianggap asli dan berasal dari daerah tersebut, seberapa mampu pemerintah dan otoritas terkait untuk membuktikan siapa etnis pertama yang menempati wilayah yang sekarang dikenal sebagai DIY? Apalagi menelusuri jejak sejarah sebuah kebudayaan dan juga asal usul manusianya memerlukan dedikasi yang besar, kesabaran yang tebal, serta kerangka berpikir yang tepat.
ADVERTISEMENT
Penelusuran sejatinya dilakukan dengan semangat untuk menggali keberagaman, bukan untuk memaksakan kemurnian. Penelitian mengenai DNA penduduk Indonesia yang dilakukan oleh Eijkman Institute beberapa tahun silam pun telah membuktikan keberagaman asal-usul nenek moyang kita, dan bahwa manusia Indonesia merupakan manusia pendatang yang menyebar dari Afrika dan daratan Asia. Terlepas dari itu semua, konsep autentisitas dan kepribumian sudah seharusnya menguap dari benak manusia Indonesia karena potensinya yang besar untuk menjadi pembenaran tindakan diskriminatif yang membawa kerusakan dan perpecahan. Tidak ada yang benar-benar baru, dan nyaris tidak ada yang benar-benar murni dalam kebudayaan dan etnisitas.