Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Bersembunyi dalam Terang (Part 1)
25 Mei 2021 20:23 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Cerita kali ini adalah sebuah cerita perjalan mistik, kebetulan Narsum adalah sahabat saya (penulis) sendiri, bahkan sudah seperti keluarga yang saya anggap seperti kakak saya sendiri.
ADVERTISEMENT
Narsum setuju cerita perjalananya saya bagikan dengan tujuan hanya berbagi saja, selebihnya tidak berharap ada atau terjadi kejadian di luar dari cerita kali ini.
Jika beberapa pihak ada yang merasa tersinggung, saya mohon maaf dari awal, karena cerita ini adalah kisah nyata! sebuah perjalanan mistik, bersembunyi dalam terang!
Langsung saja saya mulai ceritanya.
Bersembunyi Dalam Terang
Sebuah Kisah Perjalan Mistik
-Sudut pandang Andi-
Tidak terassa berjalanya waktu begitu cepat, berpindah dari satu tempat ke tempat lain adalah sebuah perjalan yang selalu menyimpan banyak cerita, walau ceritaku adalah lain (mungkin) hanya sebagian orang yang merasakanya seperti sama dengan apa yang aku rasakan.
Senang dengan sedih, bahagia dengan kecewa, senyum dengan marah, cobaan dan titipan adalah pasangan yang selalu memberikan banyak makna walau banyak lagi selain itu yang menghiasi warna-warna dalam kehidupan.
ADVERTISEMENT
Pendidikan yang tidak mempuni, berlatar belakang dari keluarga yang seadanya jauh dari kata cukup serta berpindah-pindah pekerjaan adalah sebagian kecil gambaran hidupku, yang aku jalani tidak pernah lepas dari sebuah senyuman.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/qwertyping]
Sampai tidak terasa dengan waktu yang cepat sudah 12 tahun aku menekuni pekerjaanku sebagia tukang pangkas rambut, tapi perjalan mistik adalah mungkin jalan hidupku yang aku terima dengan lapang dada, karena aku selalu yakin pencipta tidak pernah main-main menentukan suatu takdir untuk ciptaanya dan baginya bumi dan isinya terlalu kecil, dibandingkan dengan besarnya kuasa yang maha itu.
Selama waktu itu juga, pada kondisi saat ini atas jerih payah dan dukungan dari keluarga hal yang tidak mungkin, bisa saja jadi mungkin karena ada keinginan dan perjuangan di dalamnya. Aku sekarang mengontrak tempat di kampung halamanku (Kabupaten), tempatnya strategis dekat pasar, tidak terlalu jauh dari rumah, sebuah tempat yang aku beri nama Hijau Pangkas (tempat pangkas rambutku).
ADVERTISEMENT
Pagi sampai sore hari aku habiskan waktu untuk keluarga karena aku memiliki satu anak perempuan paling kecil aku panggil “Dede” dan kakaknya laki-laki aku selalu panggil “kakak” panggilan terdekatku saja, aku berkerja hanya pada sore hari setelah waktu ibadah solat Magrib dan tutup sampai sepi, karena pagi hari sampai sore ada satu temanku, Daud yang sudah ikut aku hampir 3 tahun lamanya.
Pada suatu sore, hari ini, setelah mengantarkan kedua anakku ke rumah neneknya karena memang tidak terlalu jauh dari rumahku, dengan alasan ibuku sudah memasak makanan kesukaan si dede dan si kakak.
Baru saja turun dari kendaraaan roda duaku, karena sudah sampai rumah, tiba di ruang tengah rumah yang tidak terlalu besar ini, aku melihat istriku duduk dengan tatapan yang kosong, seperti sedang memikirkan sesuatu.
ADVERTISEMENT
“Heh mah, sore-sore malah melamun kenapa,” ucapku, sambil duduk di sebelahnya.
“Barusan bu Budi kesini nanyain aa, minta tolong anaknya pengen diliat sama aa, katanya setiap abis magrib suka kerasukan,” ucap Imas (istriku).
Tidak biasanya Imas memasang muka yang cemas seperti itu, biasanya jika istiriku sudah seperti ini pasti ada yang tidak baik-baik saja.
“Maksudnya? Kan aku tidak bisa apa-apa mah,” tanyaku, sambil menatap Imas.
“Bu Budi itu sudah ke orang bisa gitu a, barusan aku tidak tega ngeliatnya sampe nangis, duduk di sini. Malahan, katanya barusan juga berpapasan dengan aa di jalan pas aa sama si kakak sama dede kayanya, sudah satu bulan lebih a seperti itu, kasian,” jawab Imas.
ADVERTISEMENT
Memang kabar beredar tentang Sely anaknya pak Budi sudah terdengar, dari salah satu langganan di pangkas rambutku itu, karena memang keluarga besar pak Budi sendiri orang paling terpandang, apalagi di dunia pemerintahan banyak keluarganya orang penting dan mempunyai jabatan.
Sementara bu Budi adalah salah satu ibu-ibu yang selalu rutin mengadakan pengajian dan Imas salah satu yang sering ikut pengajian bu Budi.
“Kenapa aa yang sekarang jadi melamun sih a!?” tanya Imas, dengan nada kesal.
“Mah, mamah lihat... aku aja tampilanya begini, mungkin orang-orang tidak akan percaya dengan apa yang aku bisa, lagian aku bisa apa? kalau Sely anaknya bu Budi mau dipangkas rambutnya aku bisa,” jawabku sambil becanda.
“Gak lucu a! Sumpah! Kerasukanya sampai mengelurkan darah a, kasian,” ucap Imas.
ADVERTISEMENT
“Iya-iya nanti aku ke rumahnya berkunjung saja, sebagai hormat aku karena bu Budi sudah berkunjung juga kesini, ngucapin terimakasih saja yah,” jawabku dengan tenang.
Akhirnya Imas tersenyum dengan apa yang sudah aku katakan, dan memang aku tau betul bagaimana caranya bikin istriku hanya untuk sekedar tenang, bukankah wanita selalu menyukai hal itu begitu juga dengan aku, ketenangan.
Aku berniat berkunjung ke rumah bu Budi sebelum magrib saja, sebelum datang ke pangkas rambut, yang memang kebetulan rumahnya bakal aku lewati. Di usiaku yang tidak muda lagi, karena aku lahir tahun 1980 awal dan hanya beda 5 tahun dengan istriku yang jauh lebih muda, walau sekarang malah aku terkesan lebih muda, karena mungkin penampilanku yang aku sesuaikan dengan pekerjaanku, memangkas dan banyak bertemu dengan orang-orang baru.
ADVERTISEMENT
“A itu tidak biasanya si Robin dari tadi berisik banget... udah dikasih makan belum,” ucap istriku dari arah dapur, kebetulan aku sedang mengelap motor di rumah bagian depan.
Tidak biasanya sore-sore begini si Robin (ayam pelung) bersuara biasanya juga ayam pemalas. Kemudian aku berjalan langsung lewat samping rumah menuju kandang si Robin.
“Astaghfirullahaladzim,” ucapku dengan gemeteran.
Bagiamana Robin tidak berisik! Aku melihat ada 5 kera besar, yang sedang mengelilingi kandang Robin.
“Eh malah melamun, nih kasih A, takutnya lapar kasian,” ucap Imas dari pintu dapur.
Segera aku kasih Robin makan dengan kera-kera itu masih saja tidak bisa diam, dan seperti biasanya, istirku sama sekali tidak melihat keberadaan kera-kera itu.
Aku yakin ini bukan kera biasa dan tidak tau kenapa harus ada disini, di halaman belakang rumah. Sambil membaca ayat-ayat dalam hatiku, dan sepertinya Robin sangat terganggu sekali dengan keberadaan kera-kera tersebut.
Suara khas dari kera-kera itu sangat berisik sekali, entah apa maksudnya sambil terus mencoba memberi makan robin, walau aku tau Robin bukan ingin makan melainkan terganggu, aku masih berpikir dan memperhatikan kera-kera itu.
ADVERTISEMENT
Tidak lama salah satu dari kera itu memuntahkan darah sangat kental, bahkan lebih kental dari pada darah pada umumnya, seketika kera yang lainya bersorak seperti ada sebuah pesta, terlihat sangat senang sekali. Suaranya jauh lebih keras, sangat keras.
“Ya Allah aa... kenapa muntah begini, masuk angin?,” ucap Imas sambil mendekat padaku, dengan tatapan yang penuh khawatiran.
“Udah ayo masuk, kerokin saja mah punggung aku, sepertinya masuk angin,” jawabku, sambil mengajak Imas masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa.
Bahkan tidak biasanya muntahan aku hanya air saja yang keluar, padahal siang tadi aku makan dengan porsi yang normal, dan aku tidak tau kenapa harus muntah. Anehnya lagi, aku hanya heran tidak habis pikir saja, bukan karena merasa jijik melihat darah dari muntahan kera itu.
ADVERTISEMENT
“Tumben sekali sih a, segala muntah, mamah liatin aa malah ngelamun lagi deket kendang si Robin, liat apa lagi a?” ucap Imas, kelihatan sangat cemas sekali.
“Engga mah, biasa aja, mungkin kurang istirahat saja,” jawabku dengan tenang, agar tidak membuat Imas cemas.
“Yasudah, sudah dikerokin gini nanti berangkat ke pangkas pake jaket yang agak tebelan, lagian gak usah jemput si dede sama si kakak, barusan mamah udah nyuruh adik mamah anterin ke rumah kalau udah mau pulang,” ucap Imas dengan perlahan.
Padahal aku masih saja menatap kera-kera itu semakin menjadi, semakin liar dan anehnya, Robin malah makin diam. Aku terus perhatikan dan tidak henti-hentinya bacaan dalam hatiku terus aku ucapkan.
ADVERTISEMENT
“Mamah nginap di rumah bapak saja yah malam ini, biar anak-anak juga engga pulang ke rumah, sekalian nanti aku ke pangkas, aku antarkan,” ucapku dengan nada sangat datar.
“Iya, mamah siap-siap dulu yah,” jawab Imas, langsung bergegas.
Imas pasti paham dengan sikapku yang kadang berubah mendadak seperti ini, pasti dia akan bertanya dengan seribu pertanyaan setelah melihat aku kembali seperti biasa.
Akhirnya aku biarkan saja kera-kera itu masih bergerak aktif di dekat kandang Robin,walau beberapa sudah ada yang diam dan hanya mentap ke arahku dengan sangat tajam.
Bersambung...