Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Bersembunyi dalam Terang (Part 5)
30 Mei 2021 18:30 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sampai di pangkas aku melihat Daud sedang duduk saja sore ini, melamun malah.
ADVERTISEMENT
“Heh! Malah melamun, tuh bentar lagi ada yang mau dicukur anak-anak banyak,” ucapku sambil duduk di samping Daud.
“Ah aa bisa aja, tau dari mana coba,” jawab Daud sambil becanda.
“Eh dikasih tau ini mah anak malah gak percaya 5 menit lagi, serius ini mah,” jawabku sambil becanda juga.
Daud hanya tersenyum dan tetap tidak percaya dengan apa yang aku katakan.
“Eh eh a tuh hampir lupa, pak Budi barusan abis asar ke sini mampir, katanya mau dipangkas sama aa tapi rambutnya masih pendek, aneh,” ucap Daud.
“U kan yang mau dipangkas pak Budi kenapa yang jadi aneh kamu,” jawabku sambil becanda, juga mengundang tawa Daud.
“A mau dipangkas,” ucap satu anak di depan pangkas.
ADVERTISEMENT
Daud hanya menggelengkan kepala sambil melihat ke arah jam dinding yang terpasang di dinding pangkas.
“Kurang dari lima menit a,” ucapnya sambil mempersilahkan 4 orang anak yang datang ke pangkas untuk masuk dan antri menunggu.
“Ya gimana gak tau, orang anak-anak ini jalan aku lalui duluan U, pas di jalan sana aku liat rambutnya panjang-panjang ya mau apalagi pasti ke sini,” jawabku sambil tersenyum.
Daud hanya senyum dan pasti berpikiran aneh padaku, apalagi dengan tebakan barusan.
“U gak becanda pak Budi ke sini?,” tanyaku, yang mulai kembali terpikiran kejadian malam sebelum tidur.
“Iya cuma nanyain aa doang, udah itu pergi lagi,” jawab Daud sambil kembali memangkas.
Tidak lama adzan magrib hari ini berkumandang, setelah selesai menunaikan kewajiban segera aku berkerja dan itu juga tandanya Daud sudah harus pulang.
ADVERTISEMENT
Seperti biasa prinsip sebuah pekerjaan seperti yang sedang aku jalani seperti ini, sekalinya ramai, ramai sekali. Sekalinya sepi, sepi sekali, kadang apa yang kita butuhkan akan kalah dengan apa yang kita inginkan.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/qwertyping]
Hanya baru beberapa orang saja sampai jam 22:00 malam ini, yang silih berganti duduk di kursi pangkasku yang sudah lumayan berumur ini.
Baru saja selesai memangkas seorang remaja, tiba-tiba sebuah mobil bisa dikatakan tidak biasa berhenti tepat di depan pangkas rambutku ini.
“Assalmualaikum Ndi,” pas aku lihat benar saja apa yang sebelumnya dikatakan oleh Daud, soal kedatangan pak Budi.
Benar saja sekarang pak Budi sudah berada tepat di pintu masuk pangkas
“walaikumsalam, pak Budi, silahkan pak masuk,” ucapku langsung bersalaman mencium tangan pak Budi dan langsung mengelap kursi yang sudah tidak bagus lagi, apalagi yang datang bukan orang biasa.
ADVERTISEMENT
“Ndi, tidak usah seperti kedatangan siapa saja, segala harus dilap,” jawab pak Budi dan supirnya yang langsung aku lihat duduk di tempat kopi Yayan.
“Hehe… tidak apa-apa pak, lagian kursinya sudah kotor, maklum pak, pangkas saya hanya segini adanya,” jawabku sambil duduk.
“Pangkasnya biasa, tapi pangkas ini sudah terkenal kemana-mana kan Ndi, pasti Andi dan Hijau pangkas sudah akrab banget kalau udah urusan mencukur rambut, saya ini mau dirapihkan saja Ndi,” ucap pak Budi sambil mengelus kepalanya sendiri.
“Baik pak silahkan, langsung saja dulu pak, biar nanti ngobrolnya enak,” ucapku sambil mempersilahkan duduk di kursi pangkas yang sama tuanya dan tidak enak dipandang untuk orang seperti pak Budi.
“Mohon maaf pak sebelumnya, ya beginilah pangkas ini, acak-acakan dan tidak ada rapih-rapihnya,” ucapku perlahan, segera mulai menyiapkan perlatan memangkas.
ADVERTISEMENT
“Tidak usah begitulah Ndi, yang datang ke sini kan saya, berati yah memang saya ingin ke sini saja tau saja saya kesini ada obrolan,” jawab pak Budi.
Segera aku mulai memangkas dan merapihkan rambut pak Budi yang seharusnya mungkin satu dua bulan lagi baru layak untuk dipangkas, karena memang belum panjang dan terkesan sangat pendek.
Belum ada obrolan sama sekali yang aku ucapkan begitu juga dengan pak Budi, terkesan seperti mengantuk, memang itu sebuah kebiasaan yang wajar ketika orang dipangkas, entah suara mesin atau memang merasa nyaman.
Perlahan aku merasakan suasana yang berbeda, sangat berbeda dengan pertama kedatangan pak Budi barusan “ohhh…” ucapku dalam hati tanpa tidak mau berperasangka buruk dan menahan arahan nafsu agar aku tidak berlaga so tau.
ADVERTISEMENT
Perlahan proses mencukur yang tidak lama itu selesai, di luar suara petir mulai datang dan disusul oleh gerimis perlahan.
“Bagaimana pak kabar Sely?” tanyaku, karena menang pas ketika proses mencukur selesai dan pak Budi melihat ke arah luar dengan tatapan yang tidak biasa, matanya mulai turun, kelopak matanya mulai melemah.
“Semakin memburuk Ndi, kerasukanya tidak terjadi lagi setelah kedatangan Andi, tapi badanya mulai semakin mengecil, dan sekarang kelihatan melamun seperti memikirkan hal lain dan sekarang kalau saya datang ke kamarnya teriak-teriak suruh saya keluar,” ucap pak Budi dengan mata berlinang.
Andai pak Budi adalah perempuan, aku yakin tangis bersamanya air mata akan perlahan turun membasahi pipinya, karena aku paham sekali, di balik setiap kesalahan apapun pada manusia sisanya pasti ada sedikit nurani yang tersisa dan sekarang pak Budi sedang menikmati rasa nuraninya, walau setiap rasa selalu punya caranya masing-masing untuk manusia nikmati.
ADVERTISEMENT
Aku diam mematung dan merasa sangat berdosa tidak mampir barusan sebelum ke pangkas, sampai harus ada orang tua dengan perasaan bersalahnya datang ke pangkasku dan bicara seperti itu, walau akibat selalu bersama sebab berjalan beriringan.
“Baik pak, silahkan sudah selesai, kita bicaranya di sana saja sambil duduk yah pak,” ucapku, sambil melepaskan kain cukur, dan mempersilahkan pak Budi duduk.
Segera aku menyuruh Yayan untuk segera membawakan air mineral dan membuatkan aku kopi, walau aku juga tau Yayan pasti banyak pertanyaan dengan kedatangan pak Budi ke pangkasku, apalagi sebelumnya Yayan pernah membicarakan soal sakitnya non Sely yang beredar adalah tumbal dari orang tuanya.
Tidak lama Yayan datang, memberikan air mineral untuk pak Budi dan tentunya Kopi untukku.
ADVERTISEMENT
“Maaf pak, hanya ini yang ada di sini, silahkan diminum,” ucapku dengan perlahan.
“Terimakasih Ndi,” jawab pak Budi dengan tatapan kosong.
“Mohon maaf pak, rasanya jika tidak ada yang memulai tidak akan ada obrolan yang berujung pada solusi, mohon maaf juga saya hanya anak kecil yang berusaha menjadi paling tau dan paling paham padahal saya tau ini adalah kesalahan saya untuk bicara seperti ini,” ucapku dengan gemeteran dan merasa sangat malu berbicara hal ini kepada pak Budi.
“Maksudnya Ndi, saya tidak paham,” ucap pak Budi menatap ke arahku perlahan.
Untungnya hujan yang semakin turun, memperkuat suasana dan seperti mendukung untuk sesuatu hal yang harus aku bicarakan kepada pak Budi dan tidak ada lagi orang yang datang untuk memangkas.
ADVERTISEMENT
Walau ada beberapa orang, aku lihat berteduh dan memesan kopi ke warung Yayan apalagi jika melihat ke dalam ada satu orang tua yang berbeda tampilanya rapih dan terparkir mobil mewah pasti menyangka bapak tua ini (pak budi) adalah tamuku.
“Perjanjian apa yang sudah bapak sepakati pak?,” ucapku, sambil menuduk dan memohon maaf atas kelancanganya pertanyaanku.
“Bukan saya yang buat Ndi, perjanjian keluarga ini. Saya tau Andi bukan orang biasa dan Andi juga saya sudah yakin sebelumnya melihat hal-hal aneh di rumah saya,” jawab pak Budi.
“Tidak usah merasa bersalah, datangnya saya ke sini minta bantuan Ndi, baiknya seperti apa, apalagi kondisi Sely semakin seperti ini,” ucap pak Budi.
Aku diam beberapa detik, dan perasaan yang datang pada diriku semakin aku rasakan berbeda, ketika sedikit menunduk, lalu melihat ke arah pak Budi.
ADVERTISEMENT
“Alam lain yang menduakan kepercayaan agar manusia percaya padanya, tidak pernah main-main pak, apalagi perjanjian nyawa. Mohon maaf, waktunya sudah sangat lama dan ini sudah menjadi tradisi keluarga,” jawabku, sambil menatap pak Budi.
Di matanya aku melihat kesepakatan untuk urusan dunia yang sudah sangat lama dijalani dan sekarang waktu yang tepat, tradisi itu kembali menagih janjinya.
Bersambung...