Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Darah Daging II (Part 1)
25 Agustus 2020 20:16 WIB
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ini merupakan kisah lanjutan dari "Darah Daging".
Keadaan ruang tengah rumah menjadi hening, setelah ucapan mang Yudi yang sangat dan benar-benar menyinggung aku, Nenek dan mang Deni. Apalagi kalimat tuduhan itu sangat tidak layak mang Yudi ucapkan!.
ADVERTISEMENT
Aku dan mang Deni ditersangkakan oleh mang Yudi, padahal aku adalah benar-benar korban dari segala keanehan yang terjadi hari ini. Nenek masih tidak berbicara sepatah katap un, tatapannya kosong, entah apa yang ada dipikiran seorang Nenek di usia yang sudah tidak muda lagi ini.
Aku dan mang Deni sama, hanya bermain dengan emosi dan logika, setelah ucapan mang Yudi sangat menyudutkan kami berdua. “pasti ada kaitanya dengan sosok nenek tua menyeramkan itu, yang ada di dalam mobil Darma,” ucapku dalam hati.
“Nek apa yang harus aku perbuat untuk menebus kesalahan aku ini?,” ucap mang Deni perlahan dan membuat aku juga nenek melihat ke arah yang sama.
“Kamu ini Den, kaya nenek bodoh aja harus mendengar omongan Yudi, sudah jangan didengarkan omongan anak itu, kadang nenek merasa berdosa kenapa dia jadi seperti itu padahal doa dan didikan tidak pernah nenek bedakan,” jawab Nenek perlahan meneteskan air mata.
ADVERTISEMENT
“Nak, kamu hebat bisa berani bicara ketika benar, ayahmu begitu persis dengan kamu, seperti itu. Sudah kalain berdua istirahat atau urus dulu keadaan kebun, biarkan nenek sendiri, nanti malam ada yang pengin nenek obrolan dengan kalian,” ucap Nenek.
Aku tidak bisa menjawab apapun, pikiranku kacau, memikirkan banyak hal, keadaan yang tidak aku inginkan sebelumya seperti ini. Pantas saja atas nama kekuasaan orang-orang sekalipun dengan doa tulus dari seorang ibu, bisa menghalalkan segera cara. “Sekalipun itu bersekutu dengan setan,” ucapku dalam hati kesal.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/qwertyping]
Tidak lama nenek berdiri, dengan langkah yang pelan menuju kamar, dari raut wajahnya sekarang, beban tanggung jawab dan kegagalan terlihat jelas. Aku tidak tega melihatnya seperti itu, walau gimana pun aku sekarang mengalah akan keadaan ini. Bukan kalah!.
ADVERTISEMENT
“Vin, maafkan amang kamu jadi terbawa dalam keadaan seperti ini, amang merasa berdosa pada akang, apalagi pas amang telepon akang ayah kamu yang dititipkan pertama menjaga kamu,” ucap mang Deni penuh dengan ketidak enakan.
“Tidak apa-apa bilang saja sama ayah aku baik-baik saja, walau kenyataanya tidak mang, ini tanggung jawab aku juga, sumpah aku curiga dengan kedatangan mang Darma kemarin sore mang!,” ucapku tegas sedikit keras.
“Ssstt jangan di sini ngobrolnya, takut nenek dengar, ayo di kebun saja,” ucap mang Deni pelan.
Segera aku dan mang Deni keluar dari rumah. Siang menuju sore ini menuju kebun, sampai di kebun yang harusnya hari ini aku sedang sibuk menghitung hasil panen. Kenyataanya kebun rata, dan tumpukan sayuran yang sudah tersisa tinggal sedikit, karena sudah dibuang.
ADVERTISEMENT
“Benar yah Vin, prasangka amang pada malam sebelumnya bisa salah,” ucap mang Deni.
“Mang apa kata pak kiai waktu itu yang amang datangi, apa bisa separah ini?,” sahutku.
“Bisa Vin, seseorang yang sirik bisa saja melakukan apapun termasuk seperti ini, walau sulit dipercaya tapi ini kenyataan Vin,” jawab mang Deni.
“Darma dan Yudi memang benar-benar sialan, sakit hati aku sama omongannya mang,” jawabku kesal
Suasana hamparan kebun yang selsai panen tidak menyenangkan seperti bulan lalu, sekarang yang aku lihat kebalikannya.
“Malam ini juga, setelah ayah kamu telepon amang akan datang lagi ke rumah pak kiai itu Vin, tenang dan semoga aman,” jawab mang Deni.
“Aku boleh ikut?,” tanyaku tiba-tiba.
“Kenapa tidak, tapi sepertinya nenek perasaan amang sudah tau,” jawab mang Deni.
ADVERTISEMENT
“Kenapa begitu mang?,” tanyaku semakin heran.
“Kejadianya sama Vin pada jaman kakek gagal panen, aneh seperti ini,” jawab mang Deni.
“Kenapa amang tidak menanggapi aku ketika aku bicara soal Darma dan Yudi mang?,” ucapku tegas.
“Nanti kamu juga paham,” jawab mang Deni sangat singkat.
Aku heran dengan jawaban mang Deni tapi aku hanya ingin memastikan saja, dan ini benar-benar sangat tega sekali perbuatanya, walau itu masih berbentuk tuduhan kepada mereka.
Semakin sore, angin yang menghampiri aku dan mang Deni semakin kencang dan anehnya tercium bau bangkai yang sangat menyengat sekali.
“Kamu mencium bau bangkai Vin?,” tanya mang Deni.
“Iyah sangat bau sekali mang?,” jawabku sama heranya dengan tatapan mang Deni.
ADVERTISEMENT
“Ayo pulang!,” ucap mang Deni, sambil berdiri dan menarik tanganku.
Segera langkah aku dan mang Deni dengan cepat, mang Deni dengan tatapan yang aneh dan langkahnya sangat cepat sekali.
“Mang kenapa buru-buru?” tanyaku.
“Nenek kamu Vin,” jawab mang Deni.
“Maksudnya?,” tanyaku heran, sambil mengimbangi langkah mang Deni yang semakin cepat sekali.
Di depan rumah, terlihat bi Isoh baru saja keluar dari rumah dengan langkah yang cepat.
“Cepetan nenek tidak tau kenapa, setelah dari kamar mandi menjerit-jerit,” ucap bi Isoh tergesa-gesa.
“Di mana sekarang?,” jawab mang Deni yang kemudian bersama-sama menghampiri nenek di kamar.
“Hahaha… hahaha… hahaha… sini sini duduk sana aku sini... hahaha sini sini,” ucap Nenek sambil tersenyum aneh, bukan suara dia seperti biasanya, matanya masih terpejam, tertutup rapat,benar-benar bukan nenek.
Mang Deni segera menghampiri nenek yang masih saja tertawa, bahkan ketika aku dan bi Isoh juga berusaha untuk memegangnya, tenaganya sangat kuat untuk ukuran nenek yang di usianya sekarang.
ADVERTISEMENT
“Mang ini kenapa nenek?,” tanyaku penuh heran.
“Hihihi… sini kamu ganteng ikut nenek yuk hahaha anjing! Kalian akan mati hahaha,” ucap nenek semakin keras suaranya, dengan perlahan matanya terbuka dan melihat ke arahku dengan melotot, urat-urat di kepalanya sampai terlihat, karena begitu kuat meloloti aku.
“Ada yang masuk sosok lain ke dalam nenek ini Vin, apalagi ini Sareupna,” jawab mang Deni menjelaskan pelan sambil gemetaran.
Aku dan mang Deni mencoba memegangi kuat badan nenek, tapi tenaga nenek sangat kuat, bahkan untuk ukuran mang Deni tidak sanggup.
“Kang, aku singkirkan benda-benda seperti guting dan lainnya yah takutnya nenek melukai dirinya dengan kondisi seperti ini,” ucap bi Isoh.
Langsung bi Isoh merapikan apa saja yang kiranya bisa melukai nenek tiba-tiba suara teriakan nenek berhenti, suara ketawanya melemas, aku masih saja melihat dan menatap nenek. Mang Deni tidak henti-hentinya membacakan bacaan ayat-ayat suci.
ADVERTISEMENT
“Mang Sareupna itu apa?,” tanyaku.
“Perpindahan waktu dari sore menuju malam Vin, ini biasanya waktu yang biasa lebih menyeramkan dari pada malam,” jawab mang Deni pelan.
“Aaaaa… sakit! Sakit! Sakit… hahaha... hahaha,” teriak nenek dengan kencang, sangat kencang, tidak lama, nenek tertidur begitu saja.
Tidak lama, adzan magrib berkumandang, aku dan mang Deni duduk di sofa.
“Ada kaitanya semua dari gagal panen yang aneh, dan kejadian nenek kerasukan mahluk lain ini Vin, malam ini juga amang ke pak kiai dulu sebentar, setelah mengabari ayah kamu yah,” ucap mang Deni.
“Kalau nenek seperti tadi lagi mang gimana?,” tanyaku ketakutan
“Mudah-mudahan tidak akan vin. Neng kalau nenek bangun kasih minum suruh dia istirahat saja, jangan dulu ceritakan apapun yah Neng,” ucap mang Deni
ADVERTISEMENT
“Iyah kang, gapapa aku di sini sama Kevin, kalau akang mau berangkat hati-hati yah kang,” jawab bi Isoh.
Aku hanya masih heran dengan kejadian hari ini, sampai pergantian hari pun keanehan ini terus berlanjut.
Bersambung...