Dendam: Kedatangan Bapak (Part 11)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
11 Januari 2021 19:36 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dendam, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dendam, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Karena untuk supaya tidak khawatir saja dengan keadaan aku di sini. Selesai telepon dari Abah aku langsung ke kamar dan menuliskan surah yang abah berikan, di kamar aku berpikir tentang dendam yang Abah bicarakan, apa memang ada luka lama, seperti apa dendam tersebut.
ADVERTISEMENT
Hari ini berjalan dengan cepat, kembali membantu bi Inah saja, tanpa ada pekerjaan lain, di waktu-waktu biasanya bi Inah kembali mengantarkan makan ke dalam, ke kamar Nek Raras.
Sementara aku benar-benar di buat jenuh. Apalagi rumah sebesar ini hanya aku, bi Inah dan Nek Raras saja yang mengisinya. Sampai sudah empat hari dari telepon Abah itu, benar-benar tidak ada kerjaan sama sekali, hanya beberapa kali aku melihat dokter datang dan langsung bersama bi Inah. Bahkan bi Inah tidak berbicara banyak tentang dokter itu sama sekali.
Solat malam terus aku lakukan walau tidak pernah pada jam yang sama, karena memang istirahat yang aku lakukan benar-benar cukup.
Sampai pada hari ini di pagi hari setelah selesai seperti biasa pekerjaanku, aku berpikir dari cerita awal kesini bi Inah dan dari awalnya meninggalnya ibu bi Inah dan juga sakitnya Nek Raras yang bertahun-tahun itu.
ADVERTISEMENT
“Apa ada kaitanya dengan omongan Abah; luka kesakitan, luka penyiksaan dengan sekali mimpi yang aku alami,” ucapku dalam hati.
Ketika ketakutan yang terbesar adalah dihantui rasa penasaran oleh pikiran aku sendiri, itu yang sangat melelahkan, bagaiamana bisa, untuk anak ukuran seperti aku, menarik benang kusut ke belakang dengan waktu yang bukan sebentar ini.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/qwertyping]
Sedang duduk di meja makan, selesai makan pagi ini, telepon berbunyi dan segera bi Inah mengangkat telepon itu, dari kejauhan aku melihat bi Inah hanya mengangguk-ngangguk saja. Tidak lama bi Inah mendekati aku.
“Barusan ibu telepon Pur, kata ibu siang ini bapak pulang ke rumah, kamu pertama kalikan ketemu bapak, bapak orangnya sangat baik, tapi samakan saja pada ibu jangan bertanya soal nek Raras karena sama dengan ibu bapak tidak pernah membahas apapun soal nek Raras kepada bibi sekalipun, apalagi bapak jarang ada di rumah,” ucap bi Inah sambil duduk di dekat aku.
ADVERTISEMENT
“Bapak emang jarang di rumah yah bi hampir mau satu bulan aku di sini baru bertemu dengan bapak?,” tanyaku.
“Bapak punya perusahan tambang gitu Pur, di luar pulau, makanya sekalinya berangkat lama, tapi sayang, anak-anaknya,” ucap bi Inah langsung terdiam.
“Kenapa bi?,” tanyaku semakin penasaran.
“Ibu dan bapak punya anak 2 Pur, anak pertamanya, 4 tahun kebelakang kecelakaan tidak wajar di jalan, anak ganteng sekali, percis seperti De Sita, terbayangkan sama kamu, semenjak luka kepergian anak laki-lakinya itu, ibu lebih sibuk kerja dan bapak juga sama, sementara kamu tau adiknya Ibu menjadi rumah baru De Sita, karena di sini De sita selalu melihat sosok-sosok yang sama pernah bibi lihat,” ucap bi Inah dengan tatapan kosong.
ADVERTISEMENT
“Inallilahi, aku benar-benar baru tahu bi, mang Karta tidak pernah cerita sampai sedalam ini,” ucapku.
“Tidak apa-apa biar kamu semakin tahu semuanya, lagian sudah lama juga kamu di sini dan harus tau juga,” ucap bi Inah perlahan.
Aku benar-benar tidak menyangka sampai anaknya Ibu sekar sampai harus meninggal, walau aku percaya itu takdir. Tapi sebenarnya apa dan kenapa ini, semakin tinggi rasa penasaranku, semakin tidak aku ikuti semakin menghampiri rasa penasaran itu.
Ilustrasi rumah horor, dok: pixabay
Kemudian bi Inah masuk ke dalam rumah, dan menyuruhku untuk membersihkan area bagian kolam ikan, karena sama dengan ibu kolam itu tempat kesukaan bapak menghabiskan banyak waktu di rumah. Aku segera membersihkan bagian kolam, walau memang masih bersih, aku rapihkan kursi dan meja.
ADVERTISEMENT
Yang membuat aku kaget di siang bolong seperti ini, aku melihat segumpalan rambut di bawah meja, walau memang beberapa hari ke belakang waktunya sangat jauh Ibu sama pernah duduk di sini.
Apa mungkin bi Inah setiap membersihkan bagian ini tidak melihat gumpalan rambut sebanyak ini, ucapku dalam hati. Segera aku masukan ke dalam tong sampah, tidak lama terdengar gerbang terbuka, dan suara klakson mobil. Itu pasti bapak.
Segera aku berjalan cepat, menghampiri mobil yang cukup mewah itu sudah terparkir di halaman depan garasi.
“Purnama, ibu cerita banyak soal kamu, Sujoni panggil saja saya Joni. Bi kalau anak lelaki aku masih ada mungkin sudah sebesar dia yah?,” ucap pak Joni.
Aku hanya diam dan tersenyum saja.
ADVERTISEMENT
“Iya pak Purnama ini masih muda baru keluar sekolah kemarin SMA nya, kalau saja sekolah tapi lebih memilih kerja karena kondisi keluarga pak, sama dengan aku di kampung namanya juga pak hehe,” ucap bi Inah.
Berbalik dengan sosok ibu, bapak sangat bersahabat dengan gaya bicaranya dan sangat hangat juga dengan cara menyapaku, tidak lama bapak langsung makan di dalam rumah dengan supir perusahaannya itu. Tidak lama selesai makan supir itu kembali pergi, dan aku yg menutup gerbang itu.
Setelah itu bapak sudah tidak terlihat lagi, mungkin istirahat. Tidak lama di malam hari setelah semuanya beres termasuk bi Inah, karena seperti biasa juga lampu dan air mancur pasti bapak yang menghidupkan. Baru saja masuk kamar, bi Inah memanggilku.
ADVERTISEMENT
“Barusan bapak, tanya-tanya soal kamu, bibi jelaskan semua bibi kasih tahu juga semuanya, dan bapak pengen ngobrol katanya, ditunggu sama bapak di kolam Pur,” ucap bi Inah bicara di depan kamarku.
Aku sedikit kaget, apa yang bi Inah bicarakan, aku langsung menuju kolam lewat depan rumah.
“Hei Pur sini, kenapa lewat situ, enggak lewat dalam saja,” ucap Pak Joni.
Aku hanya terseyum, tanpa menjawab, karena aku tidak mau membicarakan aturan di rumah ini, yang diucapkan bi Inah. Bapak begitu hangat banyak obrolan tentang pekerjaan bapak dan merasa kesepian ketika pulang, bahkan bapak juga rencanya besok pagi ingin diantar olehku, menemui De sita.
Ilustrasi ayah, dok: pixabay
Aku mengiyahkan karena itu adalah pekerjaan aku, malam semakin larut, bahkan sudah mengobrol kemana-mana dengan bapak, jauh sekali dengan sikap diam ibu. Dan tidak jarang bapak penasaran dengan aku, perjuanganku juga sakitnya istri mang Karta.
ADVERTISEMENT
“Maaf yah Purnama, kalau di rumah ini, kamu tidak nyaman, pasti kamu juga sudah tahu soal sakitnya mertua saya itu. Andai ibu bisa diajak kompromi untuk tidak selalu mengandalkan medis, mungkin harusnya beberapa tahun ke belakang, sudah selesai,” ucap pak Joni.
“Maksudnya pak aku tidak paham?,” ucapku pelan.
“Sudah berkali-kali bapak sarankan untuk ke orang bisa selain medis, tapi ibu selalu bersikukuh semuanya baik-baik saja. Kenyataanya sudah banyak yang bapak temui, nenek dihantui rasa bersalahnya sendiri, kesalahan masa lalunya sendiri, dan kesalahan keluarga besarnya sendiri. Bapak tahu bahkan dari cerita almarhum ibunya bi Inah, dulu lama sekali, bapak pikir itu hanya cerita saja di sana di kampung Ibu, di rumah nenek dulu, ternyata sampai hari ini seperti itu nenek tidak bisa apa-apa hanya terbaring dan dengan luka yang tidak pernah sembuh,” ucap bapak sangat perlahan.
ADVERTISEMENT
Aku sangat kaget dengan tau kondisi nek Raras, bahkan entah kenapa tiba-tiba suasana jadi menyeramkan, suasana yang sebelumnya pernah aku alami. Dan entah kenapa mimpi soal nenek tua itu dan sosok perempuan yang pernah aku lihat menjadi teringat kembali.
“Cerita almarhun Ibunya bi Inah seperti apa pak maaf, karna Abah di kampung juga sama, bilang ada Dendam luka lama, dan kesakitan pak maaf sekali lagi Purnama bilang seperti ini, tidak ada maksud tertentu,” ucapku dengan rasa tidak enak.
Bapak terdiam, kembali tatapanya kosong, tidak seperti sebelumnya yang begitu sangat asik ketika bercerita banyak, keluarganya dan tentang sosok anaknya yang sudah almarhum itu.
“Tidak apa-apa, bi Inah juga sudah cerita soal Abah kamu, apalagi Karta sama denganmu sama juga sering ngobrol dengan saya ketika saya pulang seperti ini, begitulah Purnama, Ibunya bi Inah sayangnya mungkin hanya bercerita kepada saya saja sehingga ibu selalu tidak percaya, dan menganggap kejadian itu adalah sebuah kecelakaan saja,” ucap pak Joni, dengan terlihat matanya mulai berlinang.
ADVERTISEMENT
Aku masih diam, tidak berani lagi bertanya kepad pak Joni, karena dari ucapnya sangat dalam. Dan anehnya angin malam ini tidak seperti biasanya, sangat menusuk dingin ke badanku, kalau dibandingkan dengan cuaca kota ini yang selalu panas. Tidak lama pundaku tiba-tiba berat dan napasku mulai sesak.
Bersambung...