Konten dari Pengguna

Dusun Angker: Tersesat (Part 7)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
22 Desember 2021 20:40 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Desa Angker, dok: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Desa Angker, dok: Pixabay
ADVERTISEMENT
"Selamat datang di dusun kami, Pak Tohar dan kawan-kawan," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, Pak Ihsan yang ternyata adalah Kepala Dusun terpencil tersebut, meminta warganya untuk melepaskan Pak Tohar dan yang lain. Namun sebelum membiarkan mereka pergi, Pak Ihsan membeberkan hal-hal yang berkaitan dengan hilangnya Sulman dan pasangan suami-istri bosnya Arkim.
"Pengkhianatan bisa terjadi di mana saja tanpa terkecuali. Begitu pun di dusun yang saya pimpin ini. Karena merasa tidak puas dengan keputusan saya dan mayoritas warga untuk menolak berkompromi dengan perusahaan tambang itu, beberapa orang warga yang kontra, memilih pergi dan berasimilasi dengan kehidupan luar sana. Meski mereka pergi namun bukan berarti mereka menyerah. Karena sikap kontra itulah, mereka menjadi sangat fanatik hingga mencari berbagai cara untuk melenyapkan dusun ini, termasuk dengan melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan," tutur Pak Ihsan di ruangan tengah rumahnya saat berbincang dengan Pak Tohar dan yang lainnya.
ADVERTISEMENT
"Jadi maksud Pak Ihsan, Sulman diculik oleh mantan warga bapak?" tanya Dani sambil menatap penasaran ke arah Pak Ihsan.
"Sementara saya berasumsi seperti itu. Mereka begitu benci kepada saya dan para warga yang mendukung saya di samping mereka tergoda akan harta benda yang ditawarkan perusahaan. Karena kebencian dan nafsu akan harta, mereka melakukan serangkaian teror yang seolah-olah dilakukan oleh kami.
Seolah-olah kami yang menculik atau membunuh orang-orang yang tersesat ke dusun ini. Untuk kasus mayat yang kalian temukan, saya akui itu adalah kesalahan fatal dari saya dan para warga. Kami terlalu cepat mengambil tindakan tanpa memikirkan akibat yang akan terjadi. Sekarang sudah terlanjur. Mungkin dusun ini akan segera musnah hanya dalam hitungan hari dan berganti menjadi lahan eksplorasi pertambangan yang dipenuhi kendaraan dan para pekerja," kata Pak Ihsan seraya menghela nafas.
ADVERTISEMENT
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/@acep_saep88]
"Saya juga turut merasa risau, pak. Lalu soal ketertutupan dusun ini apakah terkait dengan perusahaan tambang itu?" tanya Pak Tohar.
Pak Ihsan tidak segera menjawab pertanyaan Pak Tohar. Ia termenung beberapa saat kemudian menghela nafas.
"Dusun ini sebenarnya tidak pernah menutup diri dari orang luar. Kami sangat menyambut dengan senang hati kedatangan para pengunjung. Namun belakangan ini kami merasa trauma menerima kembali kedatangan orang luar. Ini tidak lepas dari datangnya seorang laki-laki yang tersesat ke dusun ini pada tiga tahun yang lalu. Kami sudah berbaik hati menolongnya, membantunya pulang. Tapi apa balasannya? Sebulan yang lalu ia kembali kemari dengan membawa orang-orangnya untuk merayu kami meninggalkan dusun dengan imbalan penghidupan serta harta benda. Kami akan dipindahkan ke wilayah lain yang lebih dekat dengan pusat keramaian. Tapi kami menolak. Seperti yang sudah saya katakan, kami tidak akan pernah meninggalkan tanah leluhur kami," jelas Pak Ihsan panjang lebar.
Ilustrasi desa di hutan, dok: pixabay
"Orang itu ternyata adalah pemimpin sebuah perusahaan tambang emas yang mana rupanya tanpa sepengetahuan kami, orang-orangnya telah melakukan eksplorasi di dusun ini tepat setahun setelah ia datang kemari," tambahnya. "Hasil eksplorasi itulah yang mendorongnya kembali kemari bersama orang-orangnya."
ADVERTISEMENT
"Lalu apa mereka mengancam untuk menggusur dusun ini setelah adanya penolakan dari bapak dan para warga?" tanya Pak Tohar.
"Tidak ada ancaman yang secara gamblang keluar dari mulut mereka. Tapi beberapa kejadian di dusun ini yang terjadi belakangan ini menandakan bahwa mereka sedang berupaya untuk mengusir kami dari dusun ini, dari kampung halaman kami sendiri. Kalian melihat mayat itu, kan? Itu salah satu buktinya. Kami membunuhnya bukan tanpa alasan. Ia telah membunuh salah satu warga yang memergokinya sedang memasang alat peledak, mungkin dinamit tepat di bawah tanah dari sekitar sepuluh rumah penduduk. Kami telah menyingkirkan dinamit tersebut dan menyimpannya sebagai barang bukti. Tapi masalah ini akan segera membesar setelah kesalahan kami yang tidak segera menguburnya," papar Pak Ihsan.
ADVERTISEMENT
"Seharusnya kami membawa mayat dan menguburkannya atau mengkremasinya sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama manusia meskipun dia telah berbuat jahat," tambahnya.
Pak Tohar hanya mengusap wajahnya kemudian menoleh ke arah Arkim yang sedari tadi duduk membisu.
"Kim, suka tidak suka, mau tidak mau kita harus pergi meninggalkan dusun ini. Apalagi mereka yang kita cari tidak ada di sini," ujarnya disambut tatapan dingin Arkim.
"Kita pulang begitu saja? Lalu bagaimana dengan Pak Idlam, Bu Lashri, dan juga teman kalian?" tukas Arkim.
"Juga dengan dusun ini. Apa kita tidak ada niat untuk membantu Pak Ihsan dan para warga?" timpal Arhan yang disambut tatapan bingung Pak Tohar.
"Biarkan kami menghadapi masalah ini sendiri. Saya tidak ingin campur tangan orang luar malah hanya akan mempersulit keadaan," kata Pak Ihsan.
ADVERTISEMENT
"Saran saya, kalian sebaiknya pulang. Mengenai teman-teman kalian yang diculik para mantan penduduk dusun ini biar saya yang atasi. Saya akan menghubungi kalian secepatnya jika menemukan mereka. Apalagi kalian telah memberikan foto sebagai panduan untuk saya menemukan mereka," tambahnya.
Pak Tohar menatap ke arah Arhan kemudian Arkim, Cayut, dan Dani. Mereka terlihat mengangguk.
"Kami mempercayai anda, Pak Ihsan. Apalagi anda bukan orang baru bagi kami. Anda adalah teman dan juga rekan kerja yang baik. Semoga dusun ini selamat dari ancaman para penggusur itu," ucap Pak Tohar disambut anggukan Pak Ihsan.
"Pergilah, mumpung hari masih terang," ucap laki-laki yang menjadi kepala dusun itu.
Singkat cerita, Pak Tohar bersama yang lain meninggalkan dusun terpencil itu. Dilepas oleh tatapan Pak Ihsan, mereka berlalu itu hanya membatin.
ADVERTISEMENT
"Aku harap orang-orang barbar itu masih memiliki hati. Kecuali jika mereka sudah kembali ke zaman batu,"
Ilustrasi tumpukan batu, dok: pixabay
Kembali ke Pak Tohar dan yang lain yang kehilangan arah sehingga gagal menemukan jalan keluar menuju di mana kendaraan mereka berada.
"Sial! Kita tersesat. Seharusnya arah ini sudah benar. Kita seharusnya ke timur, kan?" gerutu Arhan sembari mengedarkan pandangannya.
"Entahlah, sepertinya kita di sini tidak akan menemukan arah yang benar. Tapi sepertinya kita kembali ke dusun itu. Lihatlah rumah-rumah itu," tukas Pak Tohar.
Dani berjalan mendahului Arhan kemudian berhenti dan mengamati rumah-rumah itu.
"Kita sudah satu jam berjalan. Tidak mungkin kita masih berada di sekitaran dusun itu. Ada yang berbeda yang saya lihat dari dusun ini dengan dusunnya Pak Ihsan," ucapnya seraya melihat ke arah gapura yang dibuat dari tumpukkan batu-batu kali.
ADVERTISEMENT
"Dusunnya Pak Ihsan tidak memiliki gapura ini. Hanya sepasang arca yang diberi tali yang membentang," sahut Arkim yang dapat mengingat betul pintu masuk menuju dusun Pak Ihsan.
"Apa-apaan ini? Kok sudah gelap saja?" Arhan tersentak kaget saat menyadari hari telah berangsur gelap.
"Ada yang tidak beres. Ini bukan malam hari tapi ada seseorang yang sedang mengawasi kita. Orang itu pasti sangat sakti," tukas Pak Tohar seraya memutarkan pandangannya.
Bersambung...