Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Edisi Hari Film Nasional: Horor yang Kekinian (1)
30 Maret 2017 13:10 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Caption: Hororkuuu.. Kamu seram tapi enaaak…
Foto: cinemapoetica.com
Hari ini sinema kita kembali dirayakan. Tapi yang gue liat di poster-poster horor film Indonesia sekadar pose erotis perempuan bertubuh sintal dan judul-judul catchy yang receh.
ADVERTISEMENT
Sinema hororku yang ngeri, apa yang terjadi?
Gue masih sangat ingat masa-masa ketika gue masih SD, ketika film horor Indonesia masuk jajaran must watch di lingkup pergaulan setempat. Gue inget betapa pentingnya nonton film horor yang populer macem Kuntilanak, Bangku Kosong, Jeruk Purut, sampai yang paling ekstrem Jelangkung. Punya pengalaman horor jadi hits banget dan bikin status sosial naik di ruang pertemanan bocah-bocah. Kami berlomba-lomba berburu 'Mister Gepeng' dan main jelangkung. Dalam atmosfer sinema horor macam inilah, Dukun Millennial kini bisa hadir dengan wajah yang seperti ini. Hua ha ha ha ha ha!!
Sinema hororku yang ngeri, apa yang terjadi?
Mari kita coba bertandang ke komunitas film sebelah, Cinema Poetica, dan berguru dari mereka soal sinema-sinema horor Indonesia.

Caption: Ingat Orde Baru, ingat Suzanna
Foto: mubi.com
ADVERTISEMENT
Secara sederhana, sinema horor Indonesia bisa dibagi ke dalam tiga periode: pada masa Orde Baru, pada masa Reformasi awal, dan pada masa sekarang.
Periode pertama, nih, periode film-film tontonan nyak babe gue hehehe. Orde Baru emang periode yang gokil. Semua yang berani memprotes, menentang, atau mengkritik Bosku Amangkurat pada era Orde Baru, alias Soeharto, dibungkam. Mending cuma dibungkam. Dibumihanguskan. Disulap. Ilang. Hebatnya itu bukan tindak kriminal—itu sebuah keadilan dan kebijaksanaan, karena tukang kritik inilah kriminalnya, para penjahat negara, menurut logika rezim tersebut.
Apa hubungannya sama sinema horor Indonesia? Nah! Dalam ketertekanan ini, film horor jadi kendaraan mutakhir untuk menyuarakan protes, tentangan, dan kritik secara tersirat. Kok bisa? Karena horor lahir dari hasrat manusia yang terpendam, kalau kata Sigmund Freud, seorang filsuf, namanya ‘Id’, dalam bentuk-bentuk yang ganjil dan irasional. Kalau gak percaya, kita tes.
ADVERTISEMENT
Pada periode Orde Baru, Suzanna bisa melejit karena kemolekannya yang bak Marilyn Monroe dan berani masuk ke adegan-adegan panas.
Hasrat terpendam manusia? Iya.
Pada periode Orde Baru, unsur kekerasan legenda pedesaan diacungi jempol.
Pelarian dari kaum daerah yang digerus modernisasi? Iya. Seksual dan agresif, tapi dalam balutan komedi.
Bentuk pemberontakan dari rezim yang killer dan ‘tertib’? Iya. Sebut saja Beranak dalam Kubur, Sundel Bolong, dan Malam Satu Suro.

Caption: Suzannaaa… Kamu seram tapi enaaak…
Foto: horrorsekarepdewek.blogspot.com
Film horor sebagai wahana pemberontakan ini tidak hanya dijuruskan oleh para sineas, tetapi juga oleh para penonton yang berbondong-bondong turut haus untuk merasakan horor, lari sesaat dari kekangan teror yang dilancarkan negara ketika itu.
ADVERTISEMENT
Modernisasi dan otorisasi diperangi secara simbolik di sinema, sembari…seks seks seks seks!
Sumber: Paramita, V. (2016). Jejak Film Horor Nusantara. Cinemapoetica.com
diakses pada 30 Maret 2017