Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Gending Alas Mayit: Radio Tengah Malam (Part 7)
16 Agustus 2021 19:49 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Pak… Sekar inget pak," ucap Sekar saat tersadar. Ia segera menoleh ke arah Danan.
ADVERTISEMENT
“Mas… Desa mas, desa kena kutukan.. tiap malam purnama satu persatu warga desa menari masuk hutan, dan paginya ditemukan tewas dengan tubuh yang tidak utuh,” ucap Sekar dengan histeris kepada danan.
“Bapak? Pak Sardi? Bagaimana keadaanya?,” tanya Danan.
“Bapak tinggal di desa membantu warga yang kesurupan, Sekar disuruh lari keluar desa untuk mencari mas Danan.. katanya mungkin mas Danan bisa bantu,” jawab Sekar.
Terlihat Danan mencoba mengingat sesuatu.
“Alas mayit… di sana ada sendang banyu ireng dan tempat asal eyang Widarpa… mungkin eyang Widarpa bisa membantu,” ucap Danan.
Seolah mengerti maksud Danan Eyang Widarpa berbicara
“Tidak, gending alas mayit itu kutukan karena perbuatan dosa, aku tidak bisa menolong apa apa," kami menjadi semakin bingung, Sekar terliihat sedih dan menangis.
ADVERTISEMENT
“Mbah.. mosok ora ono tenan jalan keluar untuk mengakhiri kutukan itu?” tanyaku mendekat.
Kakek tua itu menoleh ke arahku dengan muka yang masih kesal.
“Tabuh waturingin .. biyen kuwi sing ngilangi kutukan gending alas mayit, ojo takok ning endi,” ucap eyang Widarpa menjauh dan bersiap pergi meninggalkan kami.
Hujan semakin mereda, sosok eyang Widarpa mulai perlahan menghilang.
“Eyang..!” Paklek berlari mengejar eyang.
“Nyai suratmi … wis tenang, wis ora ning alam kene.. Ngapunter yo mbah,”
Teriak Paklek kepada Eyang Widarpa yang sudah hampir menghilang.
“Uasuu.. pancen asu , Ngapusi aku to kowe ! awas kowe” Umpat Eyang widarpa sebelum menghilang.
Paklek tertawa dan mendekati Danan “udah simpen kerismu, tar Paklek bisa dijewer sama eyang Widarpa,”
ADVERTISEMENT
“Paklek, emang nyai suratmi ki si sopo to?” tanyaku penasaran.
“Udah ga usah tau, itu kisah cinta kakek-kakek.. eyang Widarpa itu orang baik, tapi entah kenapa wujudnya menjadi demit seperti itu,” ucap paklek.
“Iya paklek, kalo ga ada dia dulu aku pasti udah mati,” ucap Danan.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/Diosetta]
Sekar mendekat, air mata masih mengalir dari matanya.
“Mas… gimana mas, tolongin desa Sekar mas,”
“Iya Danan, kita harus bantuin Sekar… kamu ada petunjuk mengenai tabuh Waturingin itu?” tanyaku.
“Nggak, tenan.. blas aku ra ngerti benda apa itu,” jawab Danan.
Hampir tak ada petunjuk mengenai benda itu, namun apabila kami nekad menuju desa Windualit sudah pasti kutukan itu akan mengenai kami juga. Bahkan mahkluk sehebat dan sesombong eyang Widarpa pun angkat tangan.
ADVERTISEMENT
“Sudah.. kita istirahat dulu, paklek coba meditasi siapa tau nanti dapet petunjuk,” ucap paklek.
Paklek masuk lagi ke rumah dan meninggalkan kami di pendopo.
“Sebenernya aku tau seseorang yang bisa mencari informasi mengenai Tabuh Waturingin,
“Coba aku cari nomor Hpnya, dulu nomornya ditulis di radio lamaku.. sempet telpon-telponan beberapa kali... coba besok tak telepon,” jawabku.
Kami kembali ke dalam rumah, Danan terlihat sangat kelelahan. wajar saja, dia baru datang dari luar kota dan sudah berurusan dengan hal seperti ini.
“O.. iya Sekar, aku baru inget.. gimana kabar Laksmi? kok aku kangen ya sama dia,” tanya Danan.
***
Desa Windualit, sebuah desa di pedalaman kaki gunung Merapi yang menyimpan banyak misteri. Sekilas desa ini hanya terlihat seperti desa biasa seperti desa pada umumnya, namun siapa sangka.. saat ini terdapat kutukan yang menyerang desa itu.
ADVERTISEMENT
Ketika malam purnama tiba seluruh warga sudah mengurung diri di rumah masing-masing, membaca doa dan menutup telinga berharap saat itu bukan giliran mereka.
Setelah matahari terbenam sayup-sayup terdengar suara gamelan dari dalam hutan yang disebut Alas mayit. Satu dari antara warga desa akan menari kesetanan tanpa henti , memaksa tubuhnya untuk memutar seluruh sendi-sendi tubuhnya hingga patah dan berlari menuju hutan.
Keesokan harinya jasad orang itu akan muncul di mulut hutan dalam kondisi yang tidak utuh. Seluruh daya upaya sudah dilakukan, namun setiap tindakan malah menimbulkan korban yang semakin banyak..
Kutukan ini bernama…
Gending Alas Mayit…
Ini cerita kiriman dari Cahyo, sangat mengerikan kalau mengetahui kisah ini benar-benar terjadi. Buat para pembaca, saat ini Cahyo, Paklek dan teman-temanya sedang membantu untuk menghentikan kutukan gending alas mayit ini.
ADVERTISEMENT
Yang saya kenal, mereka adalah orang-orang hebat dan selalu membantu siapa saja yang membutuhkan… termasuk saya yang sempat ditolong oleh mereka.
Apabila mereka sampai membutuhkan bantuan, tandanya ini adalah sesuatu yang gawat. jadi apabila ada yang mengetahui petunjuk mengenai Gending Alas Mayit silahkan hubungi saya di hotline telpon atau di media sosial..
Oh iya, satu lagi yang penting .. mereka mencari petunjuk mengenai Tabuh Waturingin, untuk malam ini sekian dari saya, radio tengah malam undur diri,"
“Oke.. close!” ucap Dika dari luar ruangan.
Aku membuka headsetku, menarik nafas sebentar dan segera keluar ruangan.
“Gua bikin kopi dulu ya Dik, kalo ada telepon masuk tolong terima dulu,” ucapku.
“Beres .. nyantai dulu sana,” jawab Dika.
Aku pergi ke dapur , mengambil gelas dan menyeduh kopi hangat . Sekilas kejadian di pabrik gula terlintas kembali di pikiranku. Seandainya tidak ada Cahyo dan Paklek , entah bagaimana nasib kami saat ini.
ADVERTISEMENT
Sebuah aroma kopi sangat mampu menghilangkan lelahku seharian ini.
Mungkin sudah belasan tahun semenjak aku bertemu mereka, saat itu Cahyo hanya bocah smp yang masih sering bermain dengan monyetnya. Aku penasaran, seperti apa dia sekarang?
“Gimana Dik, ada yang nelpon?” tanyaku sambil menghampiri Dika.
“Ada, tapi rata-rata gak serius.. nawarin jasa lah, minta alamat desa lah..” jawab Dika.
“Ya sudah, kita juga udah tau bakal begini.. yang penting usaha dulu aja,” lanjutku.
Suara langkah kaki terburu-buru terdengar menuju tempat ini yang berujung pada pintu ruangan yang dibuka dengan buru-buru.
“Ardian.. woi!” teriak seseorang … tidak.. ada dua orang lagi menyusul lagi dari belakang.
Itu Didi, Ranto, dan Nizar!
ADVERTISEMENT
“Eh.. kalian, ngapain kalian ke sini? Buru-buru lagi… dikejar debt collector lu?” tanyaku.
“Enggak lah… gua denger siaran lu tadi, itu bener cerita dari Cahyo? gua langsung gas ke sini waktu tau dia yang minta tolong,” Tanya nizar.
“ Iya… Cahyo yang dulu dipanggil Panjul” jawabku.
“Pokoknya kita harus bantuin dia, kita utang nyawa sama dia," lanjut Didi.
Dika terlihat sedang menerima telepon, kali ini cukup panjang semoga saja ada informasi mengenai Kutukan itu.
“Eh gua bikin kopi dulu ya," ucap Didi sambil menuju ke dapur.
“Ok, sekalian bikinin juga nih buat dua kurcaci,” jawabku.
“Beres…”
Kami santai sejenak, terlihat Nizar dan Ranto sibuk dengan Hpnya. Sepertinya mereka juga mencari informasi melalui internet dan media sosial.
ADVERTISEMENT
“Ar.. kalau info yang gua dapet, tabuh itu berarti pemukul gamelan ya?” tanya Nizar.
“Bisa jadi , kalo bener berarti emang berhubungan sama suara gamelan itu… tapi pasti ada yang membuat tabuh itu jadi spesial” jawabku.
“Waturingin … itu bisa jadi nama tempat,” ucap Ranto.
Kami berdiskusi cukup lama namun tak ada gunanya, semua yang keluar dari mulut kami hanya dugaan saja.
Bersambung...