Kuntilanak Abu-abu (Part 2)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
15 April 2020 23:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kuntilanak, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kuntilanak, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Udah jauh gue lari akhirnya gue menemukan keramaian. Ada pangkalan ojek, angkot, dan kendaraan lalu lalang. Gue langsung mendekati tukang ojek. "Bang, ke Cicadas," kata gue dengan napas engap.
ADVERTISEMENT
"Atuh, jauh, neng. Eh, kenapa? Kok, kayak orang ketakutan, neng?," tanya abangnya.
Gue gak ngejawab pertanyaan dia. Berapa ke Cicadas? Dia menyebutkan Rp 20 ribu. Zaman 90-an, uang segitu kayak Rp 200 ribu sekarang. Mahal banget pikir gue.
Gak pake nawar, gue langsung bergegas naik di jok belakang. "Buruan, bang," kata gue. Abangnya langsung ngebut.
Sampai di rumah, nyokap udah gak enak banget mukanya. "Dari mana saja, kamu, Vir?," Gue gak nyaut. Yang ingin gue lakukan hanya mandi dan langsung tidur. Gue malas mengingat peristiwa barusan yang gue alami, tangan pucat yang melambai.
Sampai di sekolahan, gue menghambur ke kelas. Namun kala ingin melewati lorong menuju kelas, dari ujung lorong, gue berasa aneh. Gue hentikan lari gue dan memandang dari kejauhan. ada sosok aneh di ujung lorong. Meski matahari bersinar cerah, tapi sosok itu samar.
ADVERTISEMENT
Yang bisa gue rekam, dia mengenakan gaun khas noni Belanda yang roknya mengembang. Bagian rambutnya tersanggul tinggi. Kepalanya jatuh ke arah kiri dan tangannya ke arah depan. Badannya agak membungkuk.
Wajahnya seperti siluet, tangannya bergerak pelan ke arah atas, menekuk dan melambai ke gue!. Jujur walau merinding, gue dekati dia perlahan. Lagian lorong itu satu-satunya jalan masuk ke kelas gue. Dekat, semakin dekat, beberapa langkah lagi semoga gue bisa melihat wajahnya! dan,
"Kamu ngapain?, udah telat jalan pelan-pelan? takut dihukum? sana masuk kelas," ujar guru BP, pak Agus yang sumpah mengejutkan gue. Auto pandangan gue ke dia. Setelah itu, gue balik menghadap arah lorong, dan, yes, wanita Noni Belanda itu gak ada!.
ADVERTISEMENT
Gue pandangin lagi pak Agus. Kayaknya ketakutan gue terbaca sama dia. "Muka kamu beda, kalau kamu melihat sesuatu, abaikan saja. Tetap doa minta perlindungan Tuhan," kata pak Agus.
Gue ketuk perlahan pintu kelas. Fiuh, untung pas pelajaran Biologi Pak Hanif. Orangnya ramah. Pak Hanif tersenyum ngeliat gue yang keringetan. Dia persilakan gue duduk. Anak-anak pada ngeliatin gue. Dua orang, Irene dan Hani, bisik-bisik sambil ngeliatin gue dengan tatapan aneh.
Gue melihat ke arah bangku Raden. Kosong. Ke mana ya, tuh, anak? hati gue bertanya-tanya. Gue bolak balik nengok ke bangku Raden.
Si Dudung, teman sebangku gue sampai merasa terganggu. "Kenapa lu, Vir? dari tadi gue liat gelisah," kata Dudung.
"Si Raden ke mana?,"
ADVERTISEMENT
"Gak paham deh, emang kenapa? cieee, naksir," Dudung menggoda gue.
"Segala naksir,enggak. Dung, perasaan gue gak enak aja," jawab gue.
"Emang kenapa sih?, ada apaan?," kali ini Dudung ikutan serius.
Tiba-tiba, "Itu ngapain Dudung sama Vira ngobrol?, kalau mau ngobrol keluar sana. Di sini teman-temannya pada mau belajar," kata bu Subrika guru BP yang lagi keliling kelas, tenang tapi tegas.
Gue dan Dudung terdiam menunduk. Langkah kaki bu Subrika mendekati kami. Gue sama Dudung makin dalam nunduknya. bu Subrika meletakkan tangannya di atas meja. Gue auto memandangi tangan bu Sub.
Gue Syok, itu tangan yang sama. Tangan yang melambai ke arah gue lewat jendela rumah Raden, gue langsung dongak kepala menatap wajah pemilik tangan itu. Tuhan!, wajahnya bu Subrika, tapi matanya putih, kulit muka abu-abu. Tolong! jerit di dalam hati gue, ini siapa yang ada di depan gue.
ADVERTISEMENT
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/thismeim]
Gue nunduk kenceng lagi. Gue pejamkan mata sambil baca doa dalam hati berharap siapa pun yang merasuki bu Subrika segera pergi. Tak berapa lama, "Vira, hey, ibu lagi bicara sama kamu, kenapa malah merem komat-kamit, emang ibu setan?," Gemuruh tawa seisi kelas terdengar.
Gue dongak kepala lagi dan buka mata. Itu beneran bu Subrika.
"Maaf, bu," kata gue.
Dudung udah sikut-sikutan sama gue.
"Kalian berdua nanti ke ruangan ibu," kata bu Sub agak kesal.
"Anj*r!," Dudung tepok jidat.
Ilustrasi memukul jidat, dok: pixabay
Sampai sini gue skip, langsung sekolah usai.
"Dung, lu tau gak Raden ke mana?"
"Elah, masih aja nanyain Raden. Mana gue tau Vir,"
"Emang gak ad keterangan?,"
ADVERTISEMENT
"Engga,"
"Dung, kita ke rumah Raden yuk,"
"Hah? lu tau rumah Raden?"
"Tau,"
Dudung cuma ngasih muka bingung.
Untung Dudung bawa motor, gue juga pesan sama Dudung agar nganterin gue sampe rumah kalo urusan ke Raden sudah selesai. Dudung sepakat, selama perjalanan kami ngobrol di atas motor.
"Gue selama sekolah di sini, selama kenal Raden, belum pernah ke rumahnya. Lu malah duluan, buset,"
"Jujur aja Dung, awalnya gue penasaran, kenapa dia suka teriak-teriak sendiri. Gue dengar dari Ismi, katanya Raden bisa liat setan. Ya gue tanya," jawab gue
"Lu ngapain nanya begituan, Saodahhhhhh. Pamali kalo kata urang Sunda, teh. Itu hal yang gak bisa dibicarakan kecuali sama yang ngerti gituan juga,"
ADVERTISEMENT
"Elah, namanya penasaran," ketus gue.
"Kata kokolot aing (orang tua gue)," Dudung mendadak serius.
Gue diam.
"Belok kanan, Dung," kata gue saat sudah hampir tiba.
"Lah, ini kan Jalan B! Anj*r, kok gak ngasih tau dari awal?,"
"Emang kenapa, Dung?,"
"Lah, lu belum tahu?,"
Gue menggeleng." Kenapa emang Dung,"
"Ini jalan paling angker. Warga sini pada tahun 80-an pergi dari wilayah ini karena kuntilanak abu-abu."
"Serius?,"
"Apaan sih? Makin bikin penasaran lu, elah,"
"Lu beneran mau tau?,"
Ilustrasi jalan seram, dok: pixabay
Gue ngangguk. Dudung muter balik, menjauh dari jalan B, mencari warung kopi terdekat. Lalu kami duduk berdua udah kek pacaran.
Dudung memesan kopi, gue pesan es jeruk. Dudung mengambil sebatang rokok. Dia ngobrol dengan bahasa Sunda pada pemilik warung, intinya nanya apa jalan B masih angker.
ADVERTISEMENT
Pemilik warung memandang gue lalu bicara pakai bahasa Sunda. Dudung menerjemahkan yang bikin gue merinding.
"Katanya, udah gak ada lagi orang-orang di sana. Lu lihat setan kali. Setahu dia (pemilik warung) perumahan di jalan B itu sudah lama kosong. Dijual pemiliknya belum pada laku-laku. Tapi gak tahu juga kalau sekarang ada yang menempati. Terakhir kali dia jalan-jalan ke area sana, udah kosong banget. Murah-murah, rumahnya. Tapi ya itu, banyak hantunya. Kuntilanak abu-abu," kata Dudung menerjemahkan. Gue menatap pemilik warung dengan pandangan bingung.
"Kuntilanak abu-abu itu apa?,"
Seketika dia menggeleng, "ulah, ulah," katanya agak kenceng.
"Jangan, jangan, maksudnya jangan minta diceritain. Gue rasa dia tau tapi dia gak mau cerita," kata Dudung lagi.
ADVERTISEMENT
"Emang kenapa sih elah, makin penasaran gue,"
"Vir, yang namanya cerita kan kudu detail. Nah, detail daripada si kunti ini gak bisa dikasih tau. Konon, kalau sampai lu dengar, dia seperti apa wujudnya, trus lu ngebayangin, dia akan mendiami rumah lu. Gitu,"
"Hah! Serius, lu?!"
"Lah, emang begitu, Vir. Ini urban legend yang hampir semua orang Bandung paham. Emang lu gak tau?,"
Gue menggeleng. "Kan gue pindahan, ya, elah,"
"Wah, iya, lupa," Dudung tepok jidat.
"Emang seserem apa sih kuntilanak abu-abu itu?," tanya gue ke Dudung.
Bersambung...