Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Kuntilanak Abu-abu (Part 3)
16 April 2020 23:44 WIB
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
"Yaampun Vira!, kan udah gue bilang jangan diceritain detilnya gimana. Lu mau gak mau kan di rumah lu ada mahluk itu dan ganggu kehidupan lu?," Dudung ngegas.
ADVERTISEMENT
Gue cuma diam. "Iya udah, lanjut gak, nih?," tanya gue.
"Gue saranin engga,"
"Tapi, lu udah janji, kan mau nemenin gue,"
"Iya, kan itu cuma saran. Kalau lu mau lanjut, ayo. Gue temenin sampe kelar,"
Dudung segera menghabiskan kopinya, mumpung hari masih sekitar asar, kami pun segera ke Jalan B.
Kami sudah masuk ke area jalan B. Meski belum arah ke rumah Raden. Dudung menambahkan, sebenarnya dulu jalanan ini ramai. Jalan tembus menghindari kemacetan di beberapa titik di Kota Bandung.
Namun seiring dengan perluasan area jalan di Kota Kembang ini, jadilah Jalan B mulai ditinggalkan dan akhirnya muncul urban legend soal kuntilanak abu-abu itu.
Meski urban legend, namun ada kesaksian beberapa orang yang menjadi korban. Dia tinggal di rumah yang sama dengan kita. Dia meminta makan yang dia inginkan, jika tidak, satu keluarga akan tersiksa. Jika tidak dituruti keinginannya, maka nyawa keluarga tersebut terancam.
ADVERTISEMENT
Namun kuntilanak tersebut tidak akan melenyapkan seluruh nyawa. Disisakan satu untuk menjadi kaki tangannya, agar dia bisa berpindah-pindah kepemilikan lewat cerita sosoknya.
Nah, orang yang disisakan nyawanya ini, kalau dia mau, dia bisa cerita ke orang lain, detil wujudnya seperti apa. Lalu, wussss, pindahlah si kunti ke rumah orang yang mendengar dan membayangkan tadi. Tapi cuma bisa dilihat oleh orang yang mendengar detil wujudnya dia.
"Gimana, gimana? Gue gak paham,"
"Nih, misalnya gue ceritain sama lu wujudnya si kunti secara detil. Dia pindah ke rumah lu, dia cuma bisa dilihat sama lu. Kalau lu cerita sama nyokap lu, ya nyokap lu bisa ngeliat. Gitu." jelas Dudung
"Serius, lu? Semudah itu?,"
ADVERTISEMENT
"Bener, gue pernah diceritain, sih. Tapi saat itu keadaan gue agak-agak ngantuk. Untung aja gue gak inget wujudnya kayak gimana,"
Gue bengong, ini bener-bener hal ganjil yang pernah gue temukan. Tapi serius, gue makin penasaran. Hingga akhirnya, mendadak Dudung putar balik dengan tergesa. Gue hampir jatuh.
"Anj*r Dung, kenapa lu? Pelan-pelan aja dong. Kenapa si kayak orang ngeliat setan!," kata gue.
Dudung gak menjawab, dia larikan motornya secepat kilat meninggalkan area Jalan B. Hingga dirasa sudah aman, Dudung berhenti. Nafasnya tersegal-segal.
"Kenapa, woy? Cerita", kata gue.
"Vir, vir, liatin di tengkuk belakang gue, di balik kerah jaket! Sekarang!," gertak Dudung.
Gue segera melongok, lalu gue tarik kerah jaket Dudung. Ada sebuah gelungan rambut kecil, hanya beberapa helai. Persis gumpalan untuk promosi cat rambut.
ADVERTISEMENT
Namun, setelah diurai, gue dan Dudung langsung merinding! Panjang banget, kayak bukan rambut manusia.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/thismeim]
"Duh, Vir, gimana nih? Kata orang-orang kalau kejadiannya kayak gini, berarti kita udah diikutin. Udah diincer!,"
"Gak usah nakutin lu Dung!,"
"Serius, Vira. Elu sama gue, kita udah diincer!,"
"Ah, bodo amat, gue gak ngapa-ngapain, " kata gue membela diri.
"Iya, lu gak ngapa-ngapain, tapi keingintahuan lu gede. 'Dia' gak suka. Lu kenapa sih, pengen banget cari tahu?,"
Awalnya gue gak mau cerita. Dudung maksa. Akhirnya gue ceritain pengalaman gue main ke rumah Raden.
"Gobl*k! Kan, dari pas berangkat feeling gue udah gak enak!,"
"Lagian elah, sensi banget tuh kunti,"
ADVERTISEMENT
"Lah, emang bangsa gituan sensi. Udah gini aja Vir, gue anter lu sampe rumah. Keburu malem, mending kita cari selamat aja," saran Dudung.
Kali ini gue nurut sama Dudung. Dudung pun anterin gue sampai rumah. Sebelum pulang, Dudung sempat bilang hal yang bikin gue malah gak bisa tidur.
"Kalau prediksi gue gak salah Vir, Raden pasti besok datang. Tapi, plis, lu jangan ngikutin rasa penasaran lu. Biasa aja, Lu harus janji sama gue. Kalau dia cerita apa pun, tutup kuping lu. Gue ngerasa dia pelihara kuntilanak abu-abu. Pokoknya jangan sampai lu tau detil wujudnya lewat cerita! Udah gitu aja,"
Gue gak ngangguk dan gak menggeleng. Gue cuma menatap Dudung penuh kebingungan. Sebelum Dudung pulang, dia sempat bilang sama gue agar baca doa sebelum tidur. Lagi-lagi gue diam dan cuma masuk ke rumah.
ADVERTISEMENT
Sepanjang malam, mulai dari mandi, makan, belajar, dan hendak tidur, gue inget terus kata-kata Dudung. Kecemasan mulai membayangi gue. Gimana kalau kata-kata Dudung benar? Gue mengulang-ulang perkataan Dudung sampai ketiduran.
Pagi hari. Buka mata, nyokap gue udah menyibak gorden di kamar gue yang persis banget menghadap timur. Nyokap melihat gue dengan tersenyum.
"Syukurlah anak mama sudah bangun. Kamu baik-baik saja kan?,"
Lah, kenapa nyokap gue nanya begitu, ya?
"Loh, emang kenapa ma?,"
Nyokap duduk di samping tempat tidur gue. Membelai rambut gue. Lalu mengajak gue berdoa sebelum memulai hari. Nyokap dan Bokap gue taat beragama. Gue dibesarkan dalam lingkungan yang taat pada aturan Tuhan.
Tapi, namanya anak muda, kadang gue lupa ibadah. Kadang gue lalai. Entah lah. Tapi tetep aja, kalau ada apa-apa, gue manggil Tuhan, bukan yang lain.
ADVERTISEMENT
"Semalam kamu berteriak-teriak. Seperti ketakutan. Mama, Papa sama Adik sampai terbangun" ucap nyokap
"Kamu tidak bisa dibangunkan. Padahal mama sudah guncang-guncang tubuh kamu. Papa baca ayat kursi. Papa minumin kamu air putih bacaan ayat kursi, baru kamu tenang. Kamu mimpi apa? " tanya nyokap.
Gue memandangi wajah nyokap. Wajah yang teduh, gue mau cerita tapi pasti gue telat karena gue anaknya detil. Gue cuma tersenyum mandangin nyokap. "Gak apa-apa, ma. Gak inget juga mimpi apaan," kata gue sambil posisi duduk. Tapi emang gue gak inget.
Bla, bla, bla, kelar ini-itu, dan waktunya gue berangkat. Gue cium tangan mama. Entah kenapa gue gak mau ngelepas tangan nyokap gue. Mama memandang gue penuh keanehan. "Kenapa kamu, Vira?"
"Gak apa-apa, ma," jawab gue.
ADVERTISEMENT
"Tunggu sebentar," Mama kembali ke dalam rumah. Dia mengambil air milik papa yang ada di dalam botol dan dibacain gak tau apa dah tuh.
"Bismillah ya nak," kata mama.
"Ya, udah Vira berangkat yah ma,"
Gue melihat wajah nyokap. Ada kecemasan di sana yang gak bisa gue gambarkan seperti apa.
Bersambung...