Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Misteri Nyi Ratu Blorong (XIX)
10 April 2020 22:23 WIB
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Suara pembicaraan di ruang telah terdengar ibu pemilik warung, membuat ia datang menghampiri mereka untuk menanyakan apa maksud dan tujuan mereka datang ke kampung ini. Ibu itu sendiri dari tadi malam juga belum sempat tanya karena panik dan takut. Sarji dengan tenang tapi tetap menutupi rasa gelisah dan takutnya, ia menjawab semua pertanyaan ibu itu satu persatu dengan logis, intinya alasan yang dipakai adalah urusan bisnis dengan Ronald.
ADVERTISEMENT
Dengan cepat ibu pemilik warung segera memahami alasan yang disampaikan Sarji, kini mereka bertiga yang penasaran dengan kejadian semalam memutuskan untuk keluar rumah dan menanyakan kebenaran fakta tadi malam.
Mereka berniat langsung berjalan menuju rumah Ronald tapi langkah mereka terhenti di pos ronda karena warga sudah ramai berkumpul. Begitupun jalan menuju arah rumah Ronald beberapa warga sudah di jalanan bergerombol dan saling berbisik satu sama lain. Konon waktu kejadian malam itu hampir seluruh warga kampung Ronald mendengar teriakan permintaan tolongnya, padahal warga juga yang rumahnya dilalui Nyi Ratu Blorong saat menyeret Ronald ikut mengintip dan melihat dengan jelas dari celah jendela mereka.
Tapi semua warga yang mendengar dan melihat tak ada yang berani, sampai dari sekian warga yang tahu tak ada satupun orang keluar untuk menolongnya. Sarji dan Udin berjalan perlahan melewati kerumunan-kerumunan kecil yang sudah tersebar di jalan menuju rumah Ronald.
ADVERTISEMENT
Ditengah perjalanan Sarji berucap kepada Udin “masak beneran Ronald sudah meninggal Din,”
“Kelihatannya beneran ini Ji," jawab Udin sambil berjalan disamping Sarji. Sampai akhirnya mereka berhenti tepat di depan rumahnya Ronald, mereka melihat kerabat Ronald di dalam rumah sudah ramai akan isak tangis dan raut muka penuh kesedihan.
Udin dan Sarji langsung masuk rumah Ronald meski melewati kerumunan kerabat almarhum di teras, di ruang tamu mereka langsung ikut duduk mendengarkan penuturan salah satu keluarga Ronald.
”Beneran ternyata Din," bisik Sarji kepada Udin, “Iya Ji, diamlah dengarkan sopirnya bercerita," sahut Udin pelan.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/bayuuubiruuu]
Sopir pribadi Ronald yang berada duduk di tengah lingkaran keluarga Ronald bercerita, Waktu selesai shalat subuh seperti biasa dia datang ke rumah Ronald untuk mencuci mobil, malam itu rumah Ronald tidak ada yang terkunci. Dengan rasa curiga ia langsung masuk rumah, waktu memasuki ruang tengah dan berhenti di pintu yang tak terkunci sang sopir memanggil-manggil Ronald untuk izin terlebih dahulu tapi tak ada jawaban.
ADVERTISEMENT
Sopirnya pun akhirnya memberanikan diri masuk ke rumah mewah ini dan hanya berniat mengambil kunci di ruang tengah, meski jika ketahuan Ronald sikap ini akan dianggap kurang ajar.
Tapi langkahnya berhenti seketika melihat Ronald sudah tidur telentang kaku di lantai hanya memakai sarung dan kaus di ruang tengah. Beberapa kali ia memanggil Ronald untuk izin mengambil kunci, tapi waktu ia dekati Ronald sudah menjadi mayat.
Kondisi tubuhnya sudah membiru dan kaku, dengan mata melotot dan mulut terbuka lebar. Sedangkan untuk kedua tangannya menengadah ke atas, seperti orang ingin memohon ampun dan melepaskan diri.
Setelah itu sopir ini berlari keluar rumah untuk mencari bantuan kepada para tetangga di kanan dan kiri rumah Ronald. Cerita sopir itupun selesai ketika pemuka agama setempat datang dan ikut duduk bersama orang-orang yang berada di ruang tamu.
ADVERTISEMENT
Tak berselang lama, di waktu yang masih pagi pihak keluarga dibantu oleh pemuka agama setempat menyucikan Ronald dan menguburkannya di pemakaman kampung tempat tinggalnya.
Tapi saat dikebumikan keadaan Ronald tetap seperti ia ditemukan pertama kali, hanya tangannya yang dipaksa sampai terdengar patah di pergelangan sikunya agar bisa bersendekap untuk terikat sebagaimana layaknya mayat dikafani.
Sarji dan Udin mengikuti prosesi acara Ronald sampai selesai, sewaktu masih di rumah duka Sarji juga menyerahkan uang Ronald sebagaimana layaknya utang piutang. Uang itu diserahkan kepada ahli waris yang masih berada di rumahnya. Saat siang sudah mau berganti sore mereka berdua izin kepada semua kerabat Ronald untuk pulang.
Dalam perjalanan pulang Sarji ketakutannya semakin menjadi jadi, ia meminta dengan sungguh sungguh kepada Udin untuk mencarikan solusi memutuskan perjanjian dengan Nyi Ratu Blorong. Udin sebagai sahabat sejati dengan senang hati menyetujui permintaan Sarji.
ADVERTISEMENT
Dia juga berharap kawannya segera bisa tobat, dan tidak menyerahkan nyawa seseorang lagi sebagai imbalan kekayaannya. Dengan semangat membara dan niat yang kuat Sarji pulang tidak langsung ke rumah melainkan langsung mengajak udin menuju ke rumah Moden, kakaknya Udin.
Saat mereka sampai rumah Moden mereka berkumpul dan duduk di teras, Sarji mulai bercerita panjang lebar tentang temannya Ronald sampai larut malam disertai rasa ketakutan Sarji yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.
Malam itu juga Sarji berharap bisa mendapatkan bantuan dari Moden akan niatnya. Sementara itu Moden tau yang dihadapi bukan sosok sembarangan, tapi Moden yang diam mencerna penjelasan Sarji terlebih dahulu, ia juga tetap berusaha serta memikirkan solusi dan Moden akhirnya berkata..
ADVERTISEMENT
“Aku salut Ji, kalau kamu berani terus terang, terus mau tobat…tapi aku kalau bantu kamu, aku sendiri bisa-bisa mati,” Tegas Moden
“Terus bagaimana Den?," tanya Sarji yang mulai bingung
“Sudah besok saja coba ke kiai Sofyan," perintah Moden
“Tapi kak, kiai Sofyan sudah tua, terus mengajinya pada orangnya juga satu bulan sekali. Apa sanggup kira-kira bantu Sarji," Sahut Udin yang meragukan kealiman kiai Sofyan.
“Ya tidak tahu Din. Jangan meremehkan orang, dicoba dulu saja," Jawab Moden
“Ya sudahlah kalau begitu, besok malam kamu dua orang saya tunggu di rumah jam delapanan," Pinta Moden serius
“Iya kak terima kasih," Jawab Sarji yang gelisah.
Udin dan Sarji akhirnya bisa pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan sedikit lega meski belum ada kepastian yang jelas siapa yang bisa membantunya untuk memutuskan perjanjian dengan Nyi Blorong.
ADVERTISEMENT
Keesokan harinya Udin didatangi Sarji dari pintu belakang, tanpa banyak bicara Sarji langsung mengajak Udin keluar agar istri Udin juga tidak curiga. Sarji dengan cepat membonceng Udin dengan motornya, dan menuju ke warung langganan mereka.
Kondisi warung saat itu masih sepi, Sarji mengajak Udin untuk duduk berdua di pojok agar suaranya tidak terdengar. Dalam sepinya warung sarji berpesan kepada Udin nanti malam untuk menunggunya di rumah Jam 8 malam, rencananya mereka akan berangkat berdua ke rumah kiai Sofyan bersama Moden.
Kegelisahan Sarji pun menjadi-jadi karena istrinya semakin hari sakitnya semakin parah. Perutnya semakin lama juga semakin membesar, tapi sekian kali dirontgen hasilnya semuanya normal.
Dirasa sudah cukup Sarji menyampaikan keluhan sebenarnya kepada Udin, hari semakin sore. Sarji mengajak pulang Udin, karena ia mau mengantar istrinya check up rutin ke dokter.
ADVERTISEMENT
Malam semakin beranjak hingga Jam 20.00 WIB, Udin yang berbaring di kursi panjang teras rumahnya mulai gelisah, berulang kali dia bangkit dari tidurnya. Langkah kakinya mondar mandir dari depan kebelakang rumah berulang kali.
Sampai istrinya yang mengamati suaminya lama-lama pusing dibuatnya,
“Sebenarnya ada apa pak?," Tanya Sri yang duduk bersama anak-anaknya di ruang tamu.
Udin masih tetap jalan keluar masuk, belum mendengarkan dengan serius pertanyaan istrinya.
“Ditanyai ya harus dijawab? Seperti ayam ingin kawin, berputar-putar saja dari tadi," Kata Sri semakin keras.
“Ini lo bu aku tadi pagi janjian sama Sarji, sampai sekarang sudah jam delapan belum datang," Terang Udin gelisah tak tenang
“Mau ke mana lagi pak?," tanya Sri penasaran
ADVERTISEMENT
“Ke tempatnya kakak bu," jawab Udin
“Ya sabar to pak, paling ya masih di jalan," terang Sri untuk menenangkan suaminya
“iya..ya," jawab Udin
Setelah mendapat suara peredam dari istrinya Udin tetap seperti semula, kakinya masih mondar mandir dengan resah. Udin sendiri tahu kebiasaan Sarji, meski dia pemalas tapi kalau ada janji biasanya tepat waktu.
Jarum jam terus berjalan sampai menunjukkan angka sembilan lebih sedikit. Detik demi detik Udin lalui, menunggu adalah hal yang membosankan dan paling ia benci sebab waktu terasa sangat lama.
Dari ujung gang rumah Udin ada seseorang yang berjalan cepat di bawah lampu putih dengan tergopoh-gopoh. Udin yang melihat kejanggalan itu berhenti dan berdiri di depan teras rumahnya, memandangi dan mengamati dari kejauhan hingga sosok pria muda itu mendekat.
ADVERTISEMENT
Semakin jelas Udin melihat ternyata ia salah satu anak buahnya yang biasa bekerja di toko bangunan sebagai kurir.
“Pak..pak...?”
“Oh kamu to Jum? Tak kira siapa? Jalannya kayak orang kesetanan. Ada apa?," Tanya Udin memberondong
“Ini pak...ehh...pak...ehh..pak..," (ia tak bisa berbicara lancar lidahnya terasa kaku, karena masih shock dan bingung mau menyampaikan kabar)
“Sebenarnya ada apa Jum, bicara yang jelas…a…u…a…u…tak pukul kepalamu!!!," Ancam Udin yang gelisah
”Ada orang tidak bisa bicara kok malah dimarahi saja pak, diajak duduk dulu sini lo, memang tidak mengerti sama sekali kamu ini pak," Sahut Sri yang sudah berdiri di terasnya
Istri Udin yang mendengar keributan, masuk ke rumah lagi dengan pengertian membawakan segelas air putih. Ia langsung menyeret tangan Juma'in untuk duduk dahulu di teras rumahnya.
ADVERTISEMENT
“Sudah Jum, bicaralah pelan-pelan. Tidak usah takut, sebenarnya ada apa kamu kesini tergopoh-gopoh begini tumben?," Kata Sri yang sudah duduk disampingnya
“Begini bu, pak!!! Pak Sarji sama bu Retno kecelakaan di jalan raya. Sekarang dibawa ke rumah sakit," Jelas Jum’ain dengan masih tergagap dan mulutnya masih gemetar.
Bersambung...