Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Misteri Pernikahan Gaib Buaya Putih (I)
5 Maret 2020 14:51 WIB
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun 2008 Waktu itu saya masih berumur 8 tahun dan ayah juga ibu saya mengajak untuk pergi ke desa s****** t*** untuk pergi ke acara pernikahan.
ADVERTISEMENT
Ketika saya melihat isi undangan tersebut tertulis yang menikah adalah Nurhasannah binti Muhammad Aini dengan H Basid bin Muhammad.
Bahkan tidak pernah terpikir sekalipun di benak saya waktu itu jika Nur berwujud buaya dan Basid berwujud ular.
Sebuah pernikahan yang menerjang logika sehat. Namun, yang namanya pernikahan pastilah ada pesta begitu juga dengan pernikahan ini.
Pagi itu, ayah dan ibu mengenakan pakaian layaknya pergi kondangan karna masih anak-anak saya pun mau ikut dan ayah saya melarang karena tempatnya sangat jauh.
Dulu dari kota Kuala Tungkal menuju desa tersebut hampir makan waktu 3 sampai 4 jam. Karena memang jalannya memutar tidak seperti sekarang yang hanya dilakukan dalam 2 jam kurang saja sudah sampai.
ADVERTISEMENT
Karena ngotot mau ikut, akhirnya ayah pun menyerah dan mengizinkan saya untuk ikut.
Lamanya perjalanan yang telah ditempuh, akhirnya kami pun sampai. Seperti pesta pada umumnya menggunakan tenda namun tidak ada pelaminannya. Kemudian saya semakin penasaran.
"Bu, katanya pergi acara nikah. Kok pengantinnya gak ada."
Tanyaku kepada ibu waktu itu
Namun, ibu tidak menjawab, dia malah seperti mencari-cari sesuatu. Dan ketika banyak orang bersalaman dengan sepasang suami istri, ibu pun mendekat dan menyalami orang tersebut kemudian bertanya
"Nurhasannah-nya di mana kak? Boleh saya melihat?" ucap ibuku kepada orang tersebut.
"Oh iya mari bu silakan. Pengantinnya sedang berada di kamar," ucap ibu itu kepada ibuku.
Kemudian, ibuku masuk dan menggandeng tanganku. Berbeda dengan ayah, ayah justru duduk di luar karna banyak temannya yang juga datang dari kota yang sama hanya untuk pergi ke acara ini.
ADVERTISEMENT
Kemudian, aku dan ibuku pun masuk. Di dalam ternyata sudah ramai orang. Kamarnya dihias seperti kamar pengantin pada umumnya bahkan lebih mewah seperti singgasana kerajaan yang dibuat tujuh tingkat tangga untuk menaiki kamarnya dan hiasannya serba kuning.
Dari sarung bantal serta tirainya semua warna kuning. Kemudian, di bawah ada sebuah penghalang seperti kandang kayu. Orang yang ingin melihat tidak boleh melewati kandang kayu tersebut.
Sangat jelas kelihatan di singgasana tersebut terlihat buaya putih dengan moncong panjang sedang berbaring, dia hanya diam ketika orang di hadapannya sangat ramai melihat dirinya.
Kemudian ibuku pun mendekat kepada ibu pemilik rumah tadi
"Bagaimana bisa ibu memiliki anak seorang buaya begini bu?"
Lantas pertanyaan itu langsung membuat ibu yang punya rumah terdiam, matanya seperti menerawang mencoba mengingat apa yang terjadi pada waktu itu semua, seolah telah tersusun dan hanya tinggal diutarakan.
ADVERTISEMENT
Para tamu yang berada di dalam rumah pun diam dan duduk seolah ingin tahu juga tentang bagaimana asal mula buaya itu menjadi anaknya.
Dan kisahnya dimulai di sini.
Di sebuah rumah yang letaknya tak jauh dari perkebunan karet tepatnya di B*****L*****, Sumatera Selatan, hidup sebuah keluarga yang memiliki tiga orang anak.
Sang ayah yang bernama Saini atau biasa di panggil Aini dan istrinya, Asmah, serta tiga orang anaknya Dani, Adi, dan Fendi, mereka hidup seperti orang pada umumnya. Sang ayah bekerja sebagai penyadap getah karet dan sang ibu mengurus rumah tangga.
Bersambung