Misteri Vila Gong Menthik: Jadi Tumbal (Part 8)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
27 Oktober 2021 17:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi vila horor, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi vila horor, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Mereka seolah memilik rencana terhadap Raul. Sayangnya rencana itu tak dapat diutarakan pada calon korbannya yang sedang terseok-seok ketakutan.
ADVERTISEMENT
Suara ombak, angin, dan hujan tak juga berhenti merusak malam Raul. Kini ia telah tiba pada tujuannya. Warung Purwasih.
Dok-dok-dok
“Toloong!”
Raul menggedor pintu warung yang telah temaram itu dengan was-was. Tak ada jawaban, Raul menggerutu dan menahan perih yang mendera sekujur tubuhnya.
Dok-dok-dok! Raul mengulang tindakan. Kali ini gedorannya makin mengeras.
Begitu gagang pintu memutar, Raul merangsek masuk dari celah pintu yang baru terbuka separuh. Purwasih terkaget-kaget mendapati kondisi Raul yang seperti itu. “Tolong saya bu!” kata Raul dengan tempo suara cepat. Ada jeda singkat antara ucapan Raul dengan sahutan Purwasih.
“Kamu kenapa?” tanya Purwasih melongo seraya menutup kembali pintu rapat-rapat. Air muka Purwasih lantas berubah tegang. “Apa kau baru melihat setan?”
ADVERTISEMENT
“Bukan ha..nya setan, Pak Nora akan membunuh saya,” jawab Raul dengan gagap tersengal.
Purwasih tak tinggal diam. Diseretnya kursi dengan sandaran ke arah Raul. “Duduk sini, atur napasmu,”
“Minum,” perintah Purwasih sambil satu tangannya terjulur. “Habiskan kopi hangat ini, ini akan menenangkanmu,”
Tanpa berpikir Raul menyahut gelas dari tangan Purwasih dengan gemetaran. Sebenarnya ia mengharapkan segelas air untuk mengakhiri dahaga. Tapi dalam kondisi panik seperti itu apa dirinya memilki pilihan?
Kopi hangat itu ditenggak tanpa sisa. Ia menggigil dengan menekuk lutut. Purwasih sadar tamunya dalam kepanikan, ia menyelimuti Raul dengan jaket lusuhnya. “Kamu tenangkan dirimu. Sembunyi di sini pasti aman. Mereka tak akan mengganggumu. Aku jamin!”
Di luar hujan telah mereda, kawanan awan hitam mulai berlalu beriringan. Banyak warga Karetjajar telah terlelap. Mengunduh bunga tidur, detoksifikasi organ tubuh, dan ada juga yang masih betah terjaga untuk menyelesaikan urusan atau sekadar belum terdera kantuk.
ADVERTISEMENT
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/Vynto@1nl4nd3r]
Malam tengah berada pada titik terlarutnya dan telah menjelma indah. Cahaya yang berpendar dari bulan tampak anggun, dengan semilir angin yang bertiup sesekali, mengantarkan debur ombak yang terdengar bagai senandung kinanthi. Malam yang sempurna.
Seharusnya sempurna. Tapi tidak untuk Raul.
Tidak ingin memancing perdebatan panjang yang terjadi dalam otaknya, Raul memutuskan mengorek keterangan dari Purwasih. Wanita penjaga warung itu masih duduk di kursi panjang, menghadap Raul yang masih tampak lemas.
“Apa yang sebenarnya terjadi bu?” tanya Raul sembari tertunduk lesu.
“Kamu benar-benar penasaran ya? Aku akan jelaskan padamu dengan sebuah syarat. Kamu harus bersumpah tak akan membalas dendam pada mereka yang mencelakaimu. Apa kau berani bersumpah?”
Ilustrasi kepanikan, dok. pixabay
Raul tercenung. Ragu, ia mengangguk dan mengedip. “Aku bersumpah bu, tak akan dendam,” Purwasih mencondongkan kepala dengan mengulas senyum ringan. “Aku masih mengendus keraguan,”
ADVERTISEMENT
“Aku hanya ingin tahu bu, aku bersumpah tak akan dendam. Cepat jelaskan!” desak Raul tak sabar.
“Bagus...” balasnya dengan senyum merekah.
“Akan kututurkan dengan lengkap untuk menghilangkan rasa penasaranmu. Setiap jiwa yang penasaran akan membawa petaka bagi jiwa lainnya. Sekarang dengarkan baik-baik,” Raul mengernyit.
“Puluhan tahun yang lalu, tempat ini adalah daerah paling angker di pesisir utara Jawa. Daerah di balik bukit itu adalah tempat pembuangan mayat anggota PKI. Makanya disebut dengan daerah Peka'inan,” Purwasih menghela napas berat.
“Pemerintah saat itu ingin menghapus stigma angker dengan mendirikan rumah sakit. Ayahku diminta untuk menumbali tempat ini untuk tujuan keamanan. Beliau menyanggupinya. Arwah penasaran pekainan berhasil diusirnya jauh-jauh. Hanya saja...ia membuat kesalahan fatal,”
ADVERTISEMENT
“Kesalahan?” tanya Raul mendesak.
“Ya, sangat fatal, beliau tak memperkirakan imbasnya. Pengusiran arwah-arwah itu membuat arwah-arwah prajurit Portugis kembali menguasai jagad gaib tempat ini,”
Ilustrasi hantu tentara, dok: pixabay
“Maksudnya hantu prajurit berseragam yang datang pada mimpi saya?”
“Iya, hantu-hantu itu. Roh yang umurnya lebih tua dari hantu peka'inan. Selepas terusirnya hantu peka'inan, mereka kembali menguasai wilayah pesisir ini.
Sampai sekarang.” kata Purwasih sembari mengisi ulang gelas kopi Raul. Raul yang terbuai cerita Purwasih, menyambutnya dengan langsung menyeruput kopi pahit itu sambil memantik apik untuk membakar rokok pemberian Purwasih.
“Nora itu sebenarnya adalah dukun santet. Tiga tahun yang lalu ia menerima pesanan santet dari pejabat kota. Sialnya santet itu berbalik mencelakai anaknya, Kinasih. Kamu lihat kan wujud aslinya? Kulitnya gosong dengan banyak lubang kecil...” cetus Purwasih bergidik.
ADVERTISEMENT
“Lalu mengapa aku kemarin tak dapat melihatnya bu?”
“Kopi pertama yang kau minum telah diberi guna-guna. Untuk menutupi pandanganmu.” jawab Purwasih datar. Giliran Raul yang bergidik.
Raul terhenyak. Ia tak menyangka bahwa dirinya terpillih menjadi tumbal. Ia segera menerka-nerka, bahwa kejadian yang menimpanya adalah perbuatan jahat yang terencana. Siapa otak kejahatan ini?Sinta? Ya, Sinta! Yang mengirimku ke tempat ini adalah Sinta, rekan kerjaku.
Bersambung...