Pabrik Tahu Keluarga: Menjaga Rahasia (Part 7)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
27 Juli 2021 19:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bangunan rusak, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bangunan rusak, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
“Siapa yang akan datang bi?” teriakku.
“Ibu sama bapak den,” sahut bi Imah.
ADVERTISEMENT
“Ohh...”
Dari mana mereka tumben sekali keluar, bukanya bapak sedang sakit dasar aneh-aneh saja, terlihat bapak keluar dari mobil dan ibu.
“Dari mana pak?” tanyaku.
“Ibu dari rumah temen jenguk lagi sakit,” jawab Ibu.
Bapak langsung berjalan dengan muka seperti banyak pikiran sekali, berat wajahnya, langkahnya tidak biasa iya bapak sedang tidak baik-baik.
Dan aku tau, barusan ibu sudah berbohong padaku, karena dari raut wajahnya terlihat masih cemas, namun tidak aku pikirkan.
“Makasih yah nak,” jawab Bapak singkat
Tumben bapak setenang itu, jarang sekali ucapanya dengan nada tenang.
Segera aku menuju pabrik, tidak lama sampai di parkiran lebih penuh karena pekerja bapak lengkap lebih dari 20 pekerja kalau jam-jam segini, karena sedang sibuk-sibuknya.
ADVERTISEMENT
Aku tidak masuk ke jalan utama biasanya, aku masuk lewat ruang pengemasan di sana ada bi Ema, bi Cucu, Lisa, Evi dan ada perempuan tua yang sudah lama aku kenal sekali, bahkan aku dulu suka diajak bermain ketika di sini, iyah bi Tarmi.
“Hah aden pulang? Kapan pulang den,” ucapnya sambil mendekat padaku.
“Baru bi, baru lihat bibi padahal pas pertama pulang aku mampir ke sini, tapi gak liat bibi,” tanyaku sambil salam ke bi Tarmi.
“Aduh bibi sekarang sudah tua sekali den, jadi kadang tidak ke sini, Cuma kalau gak ke sini kasian bapak, kurang tenanga lagian bibikan dari dulu gini-gini aja den kerjanya,” jawab bi Tarmi.
“Bi sini...” ajakku mengajak bi Tarmi ke tempat biasa aku duduk d belakang
ADVERTISEMENT
Bi Tarmi mengikuti langkahku, beberapa pegawai menyapaku yang belum tau aku sekarng yang menggantikan peran Ayah, mang Ujang tidak lupa memberikan minum dan membawakan makanan yang terbuat dari singkong.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/qwertyping]
“Ih den bibi masih banyak kerjaan,” ucap bi Tarmi.
“Tidak apa aku ingin ngobrol-ngobrol udah lama bi loh,” jawabku.
“Gimana gimana, bibi seneng banget aden bisa di sini. Pantesan dari kemaren semua pegawai bapak dapet gangguan aneh, iyahlah anak laki-lakinya sekarang sering ke sini,” ucap bi Tarmi.
“Maksudnya bi aku engga paham,” tanyaku kaget.
“Dari dulu kalau ada orang baru atau pegawai jaman kakek atau jaman bapak kamu pasti suka digangguin den,” ucap bi Tarmi.
“Tau kenapa awalnya bi itu bisa kaya gitu,” lanjutku.
ADVERTISEMENT
“Kenapa aden tanya itu? Saya pergi dulu yah den masih banyak yang harus dibungkus,” ucap singkat bi Tarmi menunjukan ketidaksukaan atas pertanyaanku
Oke aku terlalu berharap bi Tarmi akan bercerita tentang awalnya Pabrik ini berdiri dan menceritakan semuanya padaku, ternyata tidak. Sangat rapat sekali orang-orang lama di sini bahkan untuk memberitahuku sesuatu saja sangat susah.
“Gubrak….” suara jatuh dari arah pohon jati, sangat kencang.
Tanpa ada angin, membuyarkan pikiranku, segera aku berdiri menatap ke arah pohon itu, tiba-tiba bau harum bunga yang tidak tau bunga apa ini seperti melati yang kental yang aku cium tiba-tiba suasana tidak enak sekali, padahal aktivitas dalam pabrik sangat berisik.
Bau melati tidak lama menjadi anyir seperti bau darah gitu aku tidak bisa menjelaskan dengan baik, aku masih menatap ke arah pohon tua itu, berdiri mematung tiba-tiba dari arah lain ada perempuan hamil berjalan menuju ke arah di mana suara itu pertama aku dengar.
Ilustrasi perempuan hamil, dok: pixabay
Aku mencoba tenang, walau bulu pundak sudah mulai terasa berdiri, aku berpikir tenang. Perempuan hamil, perasaan aku pernah memimpikanya, apa sama dengan mimpiku yang ingin membunuhku dengan pisau.
ADVERTISEMENT
Belum saja setengah malam aku lalui, ucapan selamat datang Pabrik ini padaku dengan segala misterinya cukup membuat aku harus mengiyakan cerita-cerita pegawai bapak atau warga di sekitar sini.
Sialnya, perasanku yang takut masih beradu dengan penasaran, aku coba duduk dengan tenang dan mengalihkan padanganku ke arah pohon dekat kobakan pembuangan itu ke buku catatn Pabrik.
“Huh…” baru saja membuka beberapa lembar buku, ada suara di belakang aku, berulang-ulang “huh…” seperti meniupkan angin ke arah leherku.
Aku masih menahan untuk tidak membalikan badan. Lagian tidak mungkin pegawai bapak becanda seperti ini, lalu siapa yang berada di balik badan aku itu.
Dalam hati menghitung “satu, dua, tiga” segera aku balikan badan, menengok ke belakang, “gubrak...” suara kucing hitam, loncat dari arah belakang, tepat di mana aku membalikan badan.
ADVERTISEMENT
Tarikan nafas panjangku membuat sedikit lega dan heran “masa iyah kucing bisa meniupkan seperti angin ke arah belakang leherku. Terlihat dari kejauhan, mang Ujang sedang berjalan menuju arahku.
Membawa secangkir kopi, dengan langkah yang tidak biasa, terlihat buru-buru sekali.
“Kenapa mang? Kelihatanya rusuh sekali?"
“Tidak apa Put, nih kopi, sambil kamu menunggu di sini, amang tidak bisa menemani kamu malam ini, anak amang yang kecil sedang demam,” ucap mang Ujang, menjelaskan.
“Oh sudah lama sakitnya mang? Yaudah tidak apa mang, lagian aku paham dan semua tugasku tinggal meneruskan ajakan?”
Ilustrasi kopi hitam, dok: pixabay
“Iya, amang juga sudah telepon bapk buat bilng yang sama kaya kek kamu, yaudah amang pamit dulu yah,” ucap mang Ujang.
ADVERTISEMENT
Malam pertama tugasku, benar-benar harus sendiri. Walau pekerja bapak masih banyak yang sedang berkerja sampai waktu tengah malam biasanya.
Rumah mang Ujang yang aku tau memang di kampung sebelah lumayan 30 menitan dari Pabrik ini. Aku hanya berjalan-jalan mengelilingi pabrik smbil melihat proses pembuatan Tahu ini. Melihat jam masih jam 22:00 lebih.
Dalam pikirku, dari jaman Buyut, Kakek dan Bapak ini adalah tempat perjuangan, perjuangan membesarkan usaha ini, yang hingga membuat aku mendapatkn kehidupan yang layak.
Setelah berkeliling, aku kembali ke teras belakang pabrik untuk duduk, sambil menikmati malam yang semakin hangat. Suasana di sini sekarang jauh lebih baik. Beberapa batang rokok satu persatu aku nikmati.
Bersambung...