Konten dari Pengguna

Penunggu Peternakan (Part 2)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
25 April 2020 23:55 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi peternakan, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi peternakan, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Karena memang tak ada pekerjaan lain yang ia bisa lakukan, dengan penuh risiko dan ketakutan ia bertahan entah sampai kapan.
ADVERTISEMENT
Setelah selesai mendengar cerita Usman saya tertarik untuk menulis kembali pengalaman yang pernah saya alami dan dari cerita para penunggu peternakan terdahulu.
[Tahun 2014]
Setelah lulus sekolah belum ada keinginan untuk kerja jauh meninggalkan desa, masih ingin menikmati waktu libur dan menganggur. Beberapa bulan berlalu ketika sedang asik menikmati malam bersama kedua teman saya, Dio dan Irpan.
Seperti biasa kami kumpul di rumah Irpan hanya untuk menghabiskan waktu dan kegiatan yang tidak terlalu berguna. Hingga suatu malam datang satu orang teman kami yang baru pulang menimba ilmu di sebuah pesantren yang terletak di jawa timur.
Idin sebut saja begitu, teman lama yang terpisah jauh karena sebuah keinginan. Idin adalah keponakan bapak haji yang saya ceritakan di atas. Singkat cerita Idin mengajak kami untuk bekerja di peternakan ayam milik pamannya.
ADVERTISEMENT
Dari situ awal saya terjun ke dunia kerja dan mendapatkan ilmu tentang proses peternakan ayam broiler. Kurang lebih 2 minggu lagi kandang siap di isi. Hal yang pertama di lakukan adalah membersihkan lantai kandang dengan air bertekanan tinggi, Bertujuan untuk menghilangkan sisa dari kotoran ayam.
Pekerjaan yang melelahkan karena memang harus bersih dan teliti di setiap sela lantai bambu agar tumbuh kembang ayam sempurna. Kegiatan ini kami mulai pada sore hari sampai tengah malam bahkan kami harus lembur membersihkannya karena waktu yang sudah mepet dengan jadwal saat malam hari suasana terasa begitu berbeda.
Sangat sunyi, gelap dan hampa namun entah kenapa begitu pengap napas ini. Seperti tengah berada di dalam kerumunan. Hanya Deruh mesin pompa yang terdengar, seperti tak ada tanda tanda kehidupan di sini.
ADVERTISEMENT
Kami kerja bergantian, saling mengganti jika dirasa sudah lelah. Kandang ini sudah lama kosong, kurang lebih 3 minggu lamanya, kami membersihkan sela demi sela secara detail dan penuh kesabaran.
Kandang ayam, dok: Twitter
Persis seperti gambar ini, bangunan kandang yang 90 persen berbahan kayu dan bambu, luas 5 meter dan panjang 80-100 meter.
Ketika mereka sedang bekerja saya memilih turun menuju pondok yang berada di tengah terapit bangunan peternakan ini untuk sekadar membuat kopi dan beristirahat,
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/demozyen]
Selesai membuat kopi saya duduk menatap keadaan sekitar yang gelap dan dipenuhi pohon mangga dan pisang. Ada satu pohon pisang yang menarik perhatian saya, daunya bergerak gerak namun hanya sendirian di pohon tersebut saja, semakin lama semakin cepat ritme gerakannya, (Ahh masa bodo)
ADVERTISEMENT
Ucapku sambil meminum kopi, namun semakin lama semakin saya dibuat penasaran. Hanya beberapa detik mengalihkan pandangan tiba-tiba sudah muncul sosok berkain putih setinggi pohon pisang.
Saya mengerenyitkan dahi memfokuskan pandangan dengan penuh tanda tanya. Saya menyemburkan kopi seraya mengumpat kata kotor ketika sosok tersebut menunjukkan wujud dan mukanya. Gelas kopi tak tau terlempar ke mana, berlari dan buru buru naik menuju teman yang sedang bekerja.
Entah kenapa rasanya begitu lemas dan lelah ketika sampai di atas,
"Kenapa woy," ucap Dio ketika melihatku dengan napas terengah engah dan keringat di kening yang menetes.
"Enggak apa-apa yo, aman," ucapku menyembunyikan kejadian tadi.
Saya memilih menggantikan tugas Dio membasuh lantai kandang, sementara itu Dio turun untuk beristirahat.
ADVERTISEMENT
"Mampus, rasain, makan tuh pocong," ucapku dalam hati ketika dio menuruni anak tangga menuju ke pondok bawah.
Selang tak berapa lama Dio kembali dengan keadaan sama sewaktu saya naik ke atas.
"An*ing, ba*ingan, gak bilang-bilang yah," umpat Dio kepadaku.
"Gimana enak?, ketemu siapa," balasku dengan nada puas.
Tak terasa sudah hampir jam dua malam, masih terlalu panjang pekerjaan ini. Kami pun masih bersemangat dan sesekali bersenda gurau untuk menghilangkan kantuk dan rasa bosan. [Krekkkk] tiba-tiba mesin pompa mati, kami turun untuk memeriksa apa yang terjadi. Sedikit memutar jalan karena memang berada di pojok timur kandang di sebuah sumur tua yang dalam situ kami meletakan alat pompa air tersebut.
Ilustrasi sumur tua, dok: pixabay
Dengan ilmu seadanya kami mencoba mencari sumber masalah namun semua nampak normal tak ada kendala, bensin pun masih penuh karena baru diisi beberapa menit yang lalu.
ADVERTISEMENT
"Kalau begini tandanya suruh istirahat, yang nunggu sumur mungkin gak nerima nih," ucap Irpan mencoba memberi masukan.
"Yaudah nanti lanjut lagi saja habis subuh," Idin menengahi.
Kami pun sepakat untuk tidak melanjutkan pekerjaan ini. Sekarang saatnya untuk bersantai sambil ngeroko dan minum kopi.
"Gelas yang satunya ke mana nih? kurang satu," Idin bertanya kepada kami.
"waduh gelas tadi kelempar ke mana lagi pas tadi liat pocong," ucapku dalam hati
"Udah sih barengan aja ngopinya,"
Kami beristirahat dan bersantai sambil menunggu waktu subuh tiba. Hingga datang waktu yang ditunggu, azan subuh sayup-sayup terdengar, kami mencoba menyalakan kembali mesin pompa yang tadi mendadak mati.
Bismillah, dan benar saja mesin kembali hidup seperti semula.
ADVERTISEMENT
"Tuh kan bener," ucap Irpan
Kami melanjutkan pekerjaan dengan estimasi selesai pada sore hari, yapp benar, gila, konyol, stres.
Bagaimana tidak, kami tidak tertidur selama 24 jam lebih dan jika di teruskan sampai sore hari itu artinya sudah 30 jam lebih kami tidak tertidur.
Nekat Semangat yang tadi kini hilang entah ke mana. Memasuki jam 9 pagi mata sudah minta ampun untuk segera di pejamkan, tubuh pun terasa lemas sudah tak berdaya, Idin turun Untuk mematikan mesin pompa.
"Sudah sudah tidur tiduur," ajaknya kepada kami semua.
Kami semua tertidur di pondok bambu di tengah area peternakan, pondok yang sempit dan jauh dari kata nyaman. Kami tidur pun harus berhimpitan menyesuaikan luas ukuran yang bisa di bilang pondok/gubug ini. Kami tertidur pulas di tempat yang seadanya ini.
ADVERTISEMENT
"Woy woy bangun bangun!,"
Idin membangunkan kami,,
"Lah udah gelap, jam berapa ini?,"
Ucap Irpan setengah sadar.
"Jam 10 nj*ng, kacau kerjaan nih,"
Ucap idin yang segera keluar pondok untuk mencuci wajahnya.
Idin memulai pekerjaan dengan Irpan, semntara saya dan Dio bertugas membeli nasi, kopi, rokok dan segala kebutuhan lainya di desa menggunakan sepeda motor.
[Crrriiiiittttttt]
Suara rem mendadak dari sepeda motor yang melaju, di hadapan saya dan Dio terlihat banyak orang bergerombol di jembatan, kami mengira itu adalah warga desa namun tidak mungkin.
Bersambung...