Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Petaka Cinta: Akhir yang Tragis (Tamat)
7 Agustus 2022 18:05 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tanpa basa basi Jumadi lantas menceritakan maksud dan tujuan mereka ke sana. Lelaki tua mengangguk, ia paham.
ADVERTISEMENT
"Dia sedang bersama kalian. Mungkin kalian tidak menyadarinya. Tapi aku dapat melihatnya dengan sangat jelas," ucap si lelaki tua.
"Benarkah?? Seperti apa dia dalam penglihatanmu?" tanya Iman
"Tentu dia pemuda yang tampan semasa hidupnya. Tetapi sayang, wajah yang tampan tak menjamin nasib yang bagus. Seseorang telah menghilangkan nyawanya,"
"Seseorang? Pasti Ubi kan?? Maksudku laki-laku yang pernah bermasalah dengannya,"
Saat akan menjawab pertanyaan Iman, si lelaki tua itu seperti mengalami kesakitan di bagian dadanya. Beberapa kali ia menghirup dan mengeluarkan udara dari rongga hidungnya.
"Maaf, sudah hampir 20 tahun aku mengasingkan diri di sini dan sudah selama itu pula aku tidak pernah lagi berurusan dengan hal-hal seperti ini. Dadaku akan terasa sakit setiap kali mereka berbicara. Suara mereka menusuk sampai ke jantungku, suara penuh amarah dan dendam," Iman menatap lelaki tua tersebut.
ADVERTISEMENT
"Apa bisa kau katakan siapa pembunuhnya? Maksudku jangan pakai nama awal ataupun ciri-ciri fisik. Karena aku tidak banyak mengetahui orang-orang yang pernah dekat dengan temanku itu,"
"Dia seorang perempuan. Perempuan yang pernah tersinggung dengan ucapan temanmu. Argghh.." belum usai si lelaki tua berkata, ia meringis kesakitan sambil memegangi dadanya
"Perempuan. Tapi Siapa?" gumam Iman bertanya-tanya.
"Apa mungkin Eli?" bisik Jumadi.
"Eli? Gadis polos itu? Tapi apa alasannya?"
Jumadi mengangkat kedua bahunya. Ia sendiri tak yakin. Tapi mendengar kata perempuan, pikirannya entah kenapa tiba-tiba teringat Eli.
"Yang kau sebut itu benar, dan perlu kau tau 20 dari 50 persen orang-orang di pertambangan itu adalah mereka yang sedang dalam pelarian/pengejaran pihak berwajib (buronan). Kepolosan wajah bisa menipu dunia, tapi tidak dengan hati. Maka dari itu jangan hanya menilai dari luar, tapi cobalah selami isi hatinya. Maka kau akan tau dia seperti apa," ujar si lelaki tua yang masih memegangi dadanya.
ADVERTISEMENT
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/rasth140217]
"Maksudmu Eli itu adalah buronan?? Lalu di mana aku bisa menemukannya?" tanya Iman.
"Sayang sekali aku tidak tau di mana dia sekarang berada,"
Gigi Iman bergemeretak,
"Baik, aku akan mencarinya walau sampai ke ujung dunia sekalipun. Nyawa harus dibayar dengan Nyawa!" ujar Iman gusar.
"Dendam hanya akan melahirkan dendam lainnya. Emosimu sekarang sudah menyatu dengan dendamnya. Yang harus kau lakukan sekarang adalah Merelakan dia pergi. Dan biarlah karma Tuhan yang akan menghukum si pelaku," ucap si lelaki tua.
"Tidak. Aku tetap akan memburu si pembunuh itu,"
Suasana di antara mereka mulai canggung, lalu Jumadi langsung berpamitan pada si lelaki tua. Dan menarik Iman untuk segera pulang.
ADVERTISEMENT
3 hari kemudian, pagi-pagi sekali bahkan saat orang-orang masih terlelap dalam buaian mimpi, Iman keluar dari pondok. Ia berjalan tanpa penerangan menuju jalan utama untuk pulang. Ia juga mencuri beberapa emas hasil tambang yang belum sempat diserahkan pada ayahnya Ubi.
Singkatnya, saat sampai di perkampungan besar. Iman menjual emas-emas hasil curiannya.
Setelah mendapatkan uang, ia mampir ke sebuah warung untuk makan. Selesai makan, ia langsung menaiki taksi air menuju ke desa yang disebutkan adalah desa yang pernah disebutkan oleh Eli.
Namun singkatnya saat sampai di desa itu, tak ada seorang pun mengenali Eli, dan Iman yakin kalau desa itu bukanlah tempat tinggal Eli.
Kemudian dari sana ia pergi ke tempat yang cukup jauh dan info nama tempat itu juga ia dapatkan dari teman-teman kerjanya Eli.
ADVERTISEMENT
Tapi sayang, perjalanan yang memakan waktu 2 hari di kapal itu sam sekali tak membuahkan hasil.
Namun Iman tak mau berputus asa. Ia terus mencari dan mencari keberadaan Eli. Pernah di suatu malam dalam pencariannya, Iman bermimpi hal yang sama. Ia bertemu dengan Jemi yang menatap lekat kepadanya. Seolah ada yang ingin dia sampaikan.
Tahun pun berlalu, akan tetapi tak ada kabar dan tanda-tanda keberadaan Eli. Iman sudah lelah, ia sangat ingin hidup sebagaimana layaknya bertemu sanak saudara, terlebih lagi ia sudah sangat rindu pada orang tuanya.
Selama ini ia tak berani pulang membawa kabar kematian Jemi. Ia takut pada janjinya yang dulu ia ucapkan pada ayah Jemi untuk selalu menjaga Jemi, namun janji hanya tinggal janji. Nyatanya ia tak bisa menjaga Jemi.
ADVERTISEMENT
Tapi meskipun Iman tak pulang, ia kadang-kadang masih menitipkan sejumlah uang pada orang-orang yang ia kenal untuk orang tuanya dan ayah Jemi.
Di tahun keempat, saat Iman ingin menitipkan uang. Orang itu berkata kalau ayahnya Jemi sudah meninggal 1 minggu yang lalu. Sedangkan orang tuanya Iman, jatuh sakit sudah hampir 2 bulan lamanya.
Iman tertegun, setetes air mata mengalir di pipinya.
"Aku akan pulang," ucapnya berulang kali.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah 4 tahun terakhir, Iman membasuh wajahnya dengan air wudhu. Di akhir sholatnya, ia mengirimkan doa untuk Jemi dan juga ayahnya. Ia menangis, dalam doanya.
Hatinya sedikit tenang, meski masih ada rasa was-was mengikuti.
"Maafkan aku Jem, maafkan aku mang, aku tidak bisa menempati janjiku untuk menjaga Jemi," ucapnya saat kapal akan segera berangkat meninggalkan pelabuhan.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini Iman tidak pernah sekalipun bertemu kembali dengan perempuan bernama Eli tersebut. Satu yang Iman ingat, Seorang teman pernah mengatakan kalau sebelum Jemi menghilang, ia pernah melihat Jemi dan Eli sedang bertengkar di pinggir sungai.
Beberapa kata yang mereka dengar adalah, Jemi mengatakan "Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mengkhianati temanku. Sebaiknya kau jauhi kami bila kau hanya ingin menghancurkan pertemanan kami,"
Tapi entah benar atau tidaknya, tapi intinya Jemi menolak keberadaan Eli di antara mereka setelah Jemi dan Ubi terlibat perkelahian.
"Benarkah namanya Eli? Bagaimana kalau itu hanya nama samaran saja. Mengingat kata lelaki tua itu, ada kemungkinan jika nama-nama yang mereka gunakan hanyalah penyamaran saja. Orang manakah dia? Mengapa sampai sekarang aku tak pernah bertemu kembali? Mungkinkah dia sudah mati. Entahlah. Semuanya terasa begitu misteri di dunia yang fana ini,"
ADVERTISEMENT
-Tamat-