Petaka Cinta: Misteri di Lubang Galian (Part 5)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
29 Juli 2022 13:16 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Petaka Cinta, dok: Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Petaka Cinta, dok: Pribadi
ADVERTISEMENT
Keesokan harinya, Ubi masih uring-uringan di tempat tidur. Ia enggan untuk keluar rumah. Malu. Semalaman sudah ia berpikir, namun ia rasa malu untuk bertemu dan meminta maaf pada Jemi, juga Eli.
ADVERTISEMENT
Langkah demi langkah menuju pondok, jantung Ubi terasa tak karuan.
Singkatnya.
"Jemii. Jem," panggil Ubi di depan pondok, ia tau Jemi masih beristirahat hari itu. Namun setelah ditunggu beberapa saat lamanya, pintu tak juga terbuka. Ubi mengira, kalau saat itu mungkin saja Jemi masuk kerja. Ia pun berjalan kearah lubang.
"Cari siapa Bos?" tanya salah satu teman kerja Jemi.
"Jemi kemana ya? Kok di pondok gak ada,"
"Sudah sejak tadi malam dia tidak ada Bi,"
"Loh. Apa kalian tidak tau kemana dia pergi?"
"Tidak tau bi."
Ubi menatap sekeliling, jantungnya semakin berdetak cepat. Apa jangan-jangan Jemi pulang? Tidak, aku harus pastikan lebih dulu. Ubi membatin. Lalu ia pun bergegas ke pondok, ia membuka paksa pintu pondok dan menemukan pakaian serta barang-barang milik Jemi masih ada di dalam sana.
ADVERTISEMENT
Ubi mengerutkan Alis sembari memijit dahinya.
"Kemana dia?" Gumamnya lalu berjalan keluar.
Ubi terus mencari keberadaan Jemi hingga larut malam. ia juga bertanya, namun orang-orang tak ada yang tau kemana Jemi pergi.
Malam itu, Ubi menunggu di luar pondok. Beberapa orang sudah mulai terlelap karena lelah seharian bekerja. Beberapa kali Ubi mencuci mukanya agar kantuknya hilang, namun malam semakin dingin, membuat matanya semakin mengantuk.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/rasth140217]
Saat matanya mulai terpejam, antara bangun dan tidur ia dengar suara rintihan Jemi yang memanggilnya lamat-lamat. Tapi karena matanya yang sangat berat, Ubi merasa sangat susah untuk membuka matanya.
Keesokan harinya, saat Ubi masih tertidur, terdengar ramai sekali teman-temannya berdiri di depan lubang galian.
ADVERTISEMENT
"Bi. Ubi.."
"Hah.." Ubi merespon panggilan teman-temannya masih dalam keadaan mata terpejam
"Ada darah di sekitar galian bi. Tadi malam kau tak berbuat apa-apa kan??"
Mendengar hal itu, Ubi langsung terbangun. Ia mengucek-ngucek matanya dan beranjak. Memang benar adanya, di sekitar lubang galian yang tak jauh dari pondok, ada darah yang mulai mengering.
"Darah siapa ini??" Tanya Ubi menatap orang-orang di sana satu persatu
"Tidak tau,"
"Apa jangan-jangan ini darahnya hantu beranak??"
"Ah, tidak mungkin. Kalau pun iya. Pasti ada salah satu di antara kita yang kehilangan biji,"
Mereka berpendapat sesuai dengan apa yang mereka
Pikirkan.
Tapi Ubi tak setuju dengan pendapat-pendapat itu. Ia ragu darah yang berceceran tersebut adalah ulah dari hantu beranak. Karena tadi malam keadaan benar-benar tenang, tak ada tanda-tanda kemunculan mahluk itu. Tapi..
ADVERTISEMENT
"Tadi malam aku mendengar suara Jemi. Tapi, ah tidak. Mana mungkin Jemi. Itu paling hanya halusinasi ku saja," batin Ubi
Ia ragu, apakah yang ia dengar diantara bangun dan tidurnya tadi malam memang suara jemi atau hanya khayalannya saja yang sudah terlalu memikirkan Jemi.
"Mungkin kalian benar. Bisa saja itu ulah hantu beranak. Untunglah kita tidak kenapa-napa. Tutupi saja darahnya dengan pasir," ujar Ubi akhirnya.
Hari itu, Ubi masih mencari Jemi. Namun, kali ini ia memberanikan diri ke pondok Eli.
Ia lihat gadis itu dengan mata yang sembab telah bersiap-siap akan turun/pulang.
"El. A, aku minta maaf masalah kemarin. Aku, aku benar-benar khilaf. Dan sekarang aku menyesal," ucap Ubi.
Eli masih sibuk merapikan barang-barangnya, ia sama sekali tak menggubris keberadaan Ubi di sana.
ADVERTISEMENT
"El, aku benar-benar minta maaf,"
"El, apa kau tau di mana Jemi??"
Eli terdiam. Ia menatap Ubi dengan tatapan tajam yang sulit diartikan.
"Kau bertanya tentang Jemi padaku???" ujar Eli balik bertanya.
Ubi terdiam, ia tak tau harus berkata apa. Nampaknya Eli benar-benar marah padanya.
"Pergii!!" usir Eli pada Ubi.
Mau tak mau, pemuda itupun terpaksa pergi.
5 hari sudah Jemi tak pernah muncul, Eli sudah pulang sedangkan Ubi, ia masih berada di area pertambangan emas milik ayahnya dan masih mencari keberadaan Jemi yang sampai detik itu belum juga kembali.
Ilustrasi pondok tukang, dok: pribadi
Seperti malam-malam yang lalu, lagi-lagi saat Ubi tertidur, ia kembali mendengar suara rintihan Jemi. Namun ketika dicari asal suara itu, sama sekali tak ada siapapun. Anehnya lagi, di setiap pagi, di depan galian lubang atau pun pintu pondok pasti ada bekas-bekas darah berceceran yang sampai saat itu belum diketahui milik siapa.
ADVERTISEMENT
Beberapa orang yang bekerja di pertambangan emas milik Pak Tarsim mengaku pintu pondoknya pernah diketuk oleh seseorang pada saat tengah malam. Saat salah satu di antara mereka mengintip melalui celah, terlihat seorang laki-laki dengan wajah yang penuh darah dan dada yang masih tertancap kayu. Kakinya mengambang dan terus merintih. Tentu saja tak ada yang berani membukakan pintu. Cerita itu akhirnya sampai ke telinga Ubi. Ia penasaran, namun juga takut. Apa benar ada mahluk seperti itu di sekitar pertambangan. Walaupun jarak antara pertambangan emas milik ayahnya dan pak Tarsim cukup jauh, tapi Ubi khawatir kalau-kalau mahluk itu akan sampai ke tempat mereka.
Tepat di hari ke 15, Jumadi dan juga Iman akhirnya kembali. Saat Iman menanyakan tentang Jemi, Ubi masih ragu untuk mengatakan kebenarannya.
ADVERTISEMENT
"Jemi mana Bi??" tanya Iman seraya membongkar oleh-oleh yang ia bawa dari kampung
"Ada apa Bi?" tanya Jumadi yang mencium gelagat aneh dari Ubi.
"A, aku. Aku tidak tau harus memulai dari mana. Tapi sungguh bukan aku yang mengusirnya," ucap Ubi.
"Apa sih??" tanya Iman bingung.
"Je jemi. Jemi sudah tidak pulang selama setengah bulan ini. Terakhir aku ketemu dia di sini," jawab Ubi terbata.
"Hah?? Maksudnya gimana bi?? Ada masalah apa??" tanya Iman beruntun.
"Aku pikir dia berpacaran dengan Eli. Saat itu pikiran ku benar-benar buntu, aku dan dia berkelahi. Tapi dipisahkan oleh orang-orang, dan setelah itu aku pulang. Lalu, lalu aku tidak melihatnya lagi,"
"Bangsaattt!!! Aku benar2 tidak habis pikir. Kalian itu teman, kita berteman. Kenapa hanya gara-gara perempuan kalian sampai berkelahi!! Asal kau bi, Jemi tidak pernah sekalipun menaruh hati pada Si Eli! Dia menghargaimu, dia menghormatimu sebagai bos. Tapi. Tapi
ADVERTISEMENT
Aahhkkk!!! Sial kau!!"
Braaakkk.. Iman menyerang Ubi sampai dinding pondok ambruk.
Jumadi berusaha melerai, namun ia malah kena pukulan oleh Iman.
"DI MANA JEMI???!!!!" teriak Iman.
Ubi diam saja, jelas sekali matanya terlihat berkaca-kaca. Ia bahkan tak melawan sedikitpun.
Beberapa orang yang kebetulan istirahat, hanya menonton, tak ada yang melerai. Jumadi masih terduduk sambil memegang rahangnya.
Iman tak main-main, semakin Ubi diam, semakin pula ia memukulinya.
Plaaaakkkk.. Sebuah tamparan mendarat di kepala Iman, otomatis kedua tangannya yang mencekik leher Ubi terlepas. Ubi terbatuk beberapa kali wajahnya merah akibat cekikan.
Bersambung...