Petaka Cinta: Penemuan Mayat (Part 3)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
7 Juli 2022 19:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Petaka Cinta, dok: Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Petaka Cinta, dok: Pribadi
ADVERTISEMENT
Malam hari kira-kira sekitar pukul 2-3 malam, mereka sampai di rumah bos tersebut yang kemudian akan kita panggil pak Anang saja.
ADVERTISEMENT
Mereka disuruh untuk beristirahat sampai esok pagi dan kemudian akan diantar ke tempat lubang.
Singkat cerita, pagi pun telah tiba, suara ramai sekali dari arah luar membuat Jemi dan Iman ikut terbangun. Ternyata mereka menemukan mayat seseorang yang tidak diketahui siapa di dalam jurang, yang kemungkinan karena terperosok lalu jatuh dan terhantam pada pepohonan yang membuatnya langsung meninggal seketika.
Bukan hal yang mengejutkan lagi jika ada penemuan-penemuan mayat di sana. Karena memang jalanan yang sangat curam diapit oleh jurang mengerikan. Belum lagi binatang-binatang liar seperti beruang ataupun macan dan ular yang siap menyerang ketika mulai merasa terusik.
Selain itu mayat-mayat itu biasanya tidak akan dibawa pulang ke kampung, melainkan dikuburkan di pemakaman umum yang ada di sekitar sana.
ADVERTISEMENT
Jemi melirik Iman,
"Ini pertanda man, sepertinya kedatangan kita di sini tidak disetujui," Bisik Jemi
"Ahh, Bicaramu jem. Lagi pula dari mana kau tau kalau kedatangan kita tak di setujui,"
"Itu man, ada orang meninggal yang tak wajar saat kita baru sampai di sini,"
"Ahh, Itu sih memang sudah takdirnya. Memang sudah ajal mau gimana lagi,"
Jemi menghela nafas panjang. Setelah orang-orang yang membawa mayat tersebut pergi, Jemi dan Iman juga ingin mengikuti dari belakang. Tetapi segera dihentikan oleh pak Anang.
"Orang baru tidak boleh ikut mengubur. Kalian tunggu saja di sini!" Ujar pak Anang dengan tatapan mata yang lekat menatap keduanya Iman dan Jemi mengangguk sambil tersenyum paksa.
"Baik pak,"
ADVERTISEMENT
"Nah kan. Aneh," Gumam Jemi saat pak Anak sudah jauh berjalan
"Aneh apanya? Menurutku biasa saja. Mungkin pak Anang gak mau kita kelelahan. Karena kan setelah ini kita akan di antar ke tempat Galian lubang emas," Kata Iman santai.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/rasth140217]
Sekitar jam 11 siang, barulah pak Anang pulang. Beliau nampak sangat kelelahan.
"Kalian akan diantar anakku, di sana juga ada pondok. Jadi kalian bisa tinggal di sana. Karena kalau bolak balik jaraknya cukup jauh," Ujar pak Anang.
"Tidak masalah pak yang penting kami bisa kerja," Jawab Iman.
Tidak beberapa lama setelah itu keluarlah seorang pemuda dengan rambut acak-acakan dan baju merah yang warnanya telah memudar.
"Kau antar mereka ke pondok ya, beri tau juga lubang galian di wilayah kita. Sekalian antar bahan makanan untuk Jumadi dan yang lainnya," kata pak Anang pada anaknya.
ADVERTISEMENT
Pemuda itu lantas tersenyum dan langsung mengangguk. Lalu ia kembali masuk ke dalam rumah setelah beberapa menit kemudian ia keluar lagi dengan penampilan yang lebih rapi dan bagus.
Di kedua tangannya ada tas jinjingan yang terbuat dari rotan. Melihat pemuda itu keberatan Jemi langsung membantunya.
"Nama kalian siapa?" tanya pemuda yang merupakan anak dari bos mereka itu.
"Aku Jemi, dan ini.."
"Ahmad Baiman," ujar Iman sambil tersenyum.
"Lucu namamu. Baiman," kata si pemuda.
"Tidak juga, itu pemberian nenekku dulu. Katanya nama yang dia berikan kepadaku adalah sebuah harapan. Yang sampai sekarang aku masih berusaha mewujudkannya. Agar kelakuanku tidak mengkhianati namaku,"
"Namaku malah lebih aneh, Ubi. Cuma Ubi, tidak ada sambungannya. Entah kenapa ayahku menamaiku begitu. Mungkin aku adalah anak yang didapat di kebun ubi. Atau ayahku malah berharap aku adalah juragan ubi di suatu hari nanti," kata si pemuda lalu tertawa.
ADVERTISEMENT
Iman dan Jemi ikut tertawa, jujur mereka juga merasa lucu saat mendengar nama anak pak Anang tersebut.
Ilustrasi penggalian emas, dok: Pribadi
Setelah hampir 4 km berjalan, akhirnya mereka pun sampai di wilayah pertambangan emas. Banyak sekali pondok-pondo orang di sana.
"Oy Jum," sapa Ubi pada salah seorang laki-laki berusia 30 tahunan berkulit putih dengan mata yang berwarna biru cerah mirip seperti bule.
"Oy!" sapanya.
"Kenalkan mereka ini baru masuk kerja di sini, ini Namanya Jemi, dan yang ini Baiman," kata Ubi
"Panggil Iman saja," sahut Iman tersenyum.
"Waw," Gumam Jemi saat melihat dengan jarak dekat pada Laki-laki mirip bule tersebut.
"Aku bangau (Albino) tidak usah takut. Kelainanku ini sama sekali tidak menular,"
Iman langsung menepuk punggung Jemi, membuat pemuda itu tersipu.
ADVERTISEMENT
"Maaf, aku tidak bermaksud begitu. Ini baru pertama kalinya aku melihat orang istimewa seperti kau. Maaf kalau aku membuatmu tersinggung," ucap Jemi terbata-bata.
"Mmm.. Kurasa aku harus secepatnya memberitahu kalian wilayah ayahku. Agar aku bisa langsung pulang," ujar Ubi menyela, membuat suasana yang tadi canggung sedikit mulai mencair.
Setelah Ubi meletakkan bahan makanan yang ia bawa, Ubi langsung mengajak Jemi dan Iman untuk segera mengikutinya.
"Laki-laki yang tadi itu namanya Jumadi. Dia sudah lama kerja di sini. Bisa dibilang senior. Tapi orangnya ya begitu, mudah tersinggung. Tapi aslinya baik kok dan satu lagi, dia juga memiliki gangguan penglihatan jadi kalau dia menyuruh kalian, turuti saja,"
"Buta kah?"
"Kalau buta sih tidak. Dia cuma ada gangguan penglihatan sedikit apalagi kalau di bawah terik matahari,"
ADVERTISEMENT
Iman membulatkan mulutnya membentuk huruf O sambil mengangguk. Pembicaraan ketiganya terhenti ketika seorang gadis menghampiri mereka.
"Teman baru Bi??" tanya gadis cantik tersebut dengan senyum yang sangat manis menghiasi mulut mungilnya.
"Iya El," jawab Ubi sedikit salah tingkah.
Iman dan Jemi memperkenalkan nama mereka masing-masing pada gadis itu.
"Ubi, yang tadi itu pacarmu ya?" tanya Iman.
"Calon," bisik Ubi.
Hari-hari telah berlalu, tak terasa sudah hampir 2 minggu mereka bekerja di sana. Iman dan jemi juga sudah sangat akrab dengan orang-orang di sekitarnya.
Pernah beberapa kali Jemi dan Iman diajak berburu pilanduk(kancil) di hutan, dan setelahnya mereka akan berpesta makan-makan hasil buruan.
Semenjak itu, Jemi juga Iman, Ubi sering sekali ikut tidur di pondok mereka. Mereka bertiga sudah seperti saudara.
ADVERTISEMENT
Sampai di suatu hari, Jemi jatuh sakit. Kalau menurut Jumadi, Jemi terkena Wisa. Wisa bagi mereka yang berada di sana, sangat ditakuti. Karena tidak hanya sekedar membuat sakit tapi bahkan bisa berdampak kematian. Tubuh Jemi sudah mulai menguning, bagian matanya pun mulai berwarna kuning.
Bersambung...