Petaka Cinta: Restu Orang Tua (Part 1)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
24 Mei 2022 18:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Petaka Cinta, dok: Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Petaka Cinta, dok: Pribadi
ADVERTISEMENT
"Paman, beli pentol sama tahunya 5k," kata seorang anak kecil berusia 9 tahunan pada Jemi, teman satu sekolahku dulu, yang sekarang berprofesi sebagai penjual pentol keliling.
ADVERTISEMENT
"Gimana jem?" tanyaku setelah anak kecil tadi pergi.
Jemi duduk sambil menghela nafas panjang, matanya menerawang jauh ke depan.
"Aku belum tau Man. Belum punya ongkos untuk pergi. Kau kan tau sendiri seperti apa keadaanku sekarang. Sehari belum tentu upahku dapat 20 ribu. Apalagi pentol yang kubawa ini cuma 200 biji dan tidak tentu hari ini bisa habis terjual. (Di jaman tersebut pentol harganya 3 biji 1000. Kalau sekarang sudah rata2 sebiji 1000)" jawab Jemi.
"Lalu kapan? Kalau kau terus menundanya, kapan kau akan keluar dari keadaanmu sekarang ini jem. Beranilah dalam mengambil langkah. Masa depanmu ada di tanganmu, kalau bukan kau siapa lagi yang akan merubah masa depanmu. Ayolah, kita mulai perjuangan ini sama-sama," ujarku saat itu.
ADVERTISEMENT
Terus membujuk Jemi agar mau ikut bersamaku merantau, Jemi menunduk, helaan nafasnya terdengar.
"Beri aku waktu seminggu lagi Man. Aku janji akan segera mendapatkan uang untuk ongkos ku pergi," ucap Jemi akhirnya, yang membuatku tersenyum.
"Begini saja Jem, aku kan punya tabungan yang lumayan. Kau bisa berhutang dulu padaku dan bayar nanti, jika kau sudah mendapatkan uang,"
Jemi menatap kearah Iman, matanya sedikit berkaca-kaca.
"Ah, tak usah menangis Jem, kita kan teman bahkan sudah seperti saudara, wajarlah kalau saling bantu. Toh nanti juga kau akan membayarnya,"
Jemi menunduk sambil tersenyum, lalu mengangkat kepalanya sambil menatapku. Entah apa yang ia pikirkan saat itu.
Sekitar pukul 8 malam, aku membantu Jemi mengantar gerobak pentol ke rumah bosnya.
ADVERTISEMENT
Aku juga menyuruhnya untuk berhenti saja dari pekerjaan nya itu. Agar besok atau lusa kami berdua bisa berangkat ke tempat tambang emas lokal yang kami tuju.
[Diadaptasi dari Cerita Twitter/@rasth140217]
Sesampainya di rumah si bos, lelaki paruh baya yang bernama pak Beni tersebut, panci pentol yang dibawa Jemi lantas langsung dibuka olehnya. Alis pak Beni mengerut ketika melihat masih banyak pentol-pentol yang bersisa.
"Tidak habis lagi jem?! Makanya kau kan kusuruh keliling. Cari tempat ramai. Bukannya duduk diam di tempat sepi. Mana mungkin bisa laku pentol-pentol ini kalau kau hanya duduk merenung seperti anak gadis!!" semprot pak Beni.
"Tapi pak, saya sudah berkeliling. Sudah ke sana kemari dan saya istirahat pun cuma sebentar," jawab Jemi.
ADVERTISEMENT
"Huh! Jangan banyak alasan! Besok kalau sampai pentol-pentol ini tidak habis kau akan ku pecat!!"
"Tidak usah repot-repot memecat teman saya ini pak karena mulai malam ini, detik ini dia berhenti bekerja di tempat bapak!! silahkan bapak jual pentol-pentol ini sendirian agar bapak tau bagaimana rasanya!!" ujar Iman tak terima jikalau temannya di bentak-bentak seperti itu oleh orang yang tak bisa menghargai usahanya.
"Baik! Saya juga tidak membutuhkan orang pemalas seperti kamu untuk menjual pentol-pentolku!!" ujar pak Beni seraya memberikan uang 3000 rupiah secara kasar pada Jemi.
Jemi ingin mengambil uang tersebut namun segera ditarik oleh Iman.
"Sudah jem! Jangan diambil!"
"Tapi itukan uangku Man"
"Cih, dengarkan kata-kataku! Pulang!" ujar Iman menarik keras tangan Jemi, ia tak ingin temannya diperlakukan begitu oleh Beni, ia tidak terima.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di rumah Jemi yang merupakan peninggalan neneknya dulu. Ia tinggal di rumah itu bersama dengan sang ayah, yang menjadi penyemangat satu-satunya yang saat ia miliki.
"Kamu pulang Jem, aku juga baru sampai rumah. Jagung kita di ladang habis Jem diserang hama," ujar sang ayah dengan raut wajah sedih.
Jemi terduduk lesu, jagung yang seharusnya beberapa minggu lagi akan siap panen malah rusak oleh hama.
"Apa tidak bisa ditolong lagi mang?" tanya Iman.
"Tidak bisa Man, semuanya sudah hancur, rusak. Mungkin kalau sudah dapat bibitnya lagi, akan amang tanam ulang,"
"Wah, sayang sekali," gumam Iman.
Dua hari telah berlalu, hari keberangkatan kedua sahabat itu masih terhalang izin dari orang tua Jemi. Ayahnya sangat khawatir dan masih masih belum bisa mengizinkan si Jemi untuk pergi bersama Iman merantau.
ADVERTISEMENT
"Jemi akan saya jaga kok mang, saya tau sifat jemi. Makanya saya berani mengajak dia karena saya tau Jemi itu orangnya seperti apa,"
"Berat Man, rasanya amang ini berat sekali mengizinkan si Jemi pergi. Kau kan tau dia ini tidak pernah berpisah lama dengan amang. Amang takut jika nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan padanya."
"Amang tenang saja, Jemi kan sudah dewasa, sudah tau mana yang baik dan buruk lagi pula dia ini orangnya pemaaf, dan penyabar. Jadi Jemi tidak akan kenapa-kenapa di perantauan," ayahnya Jemi menghela nafas panjang.
"Kau yakin akan merantau? Kau tau kan resiko di perantauan seperti apa. Cobalah pikirkan sekali lagi, aku tidak mau terjadi apa-apa terhadapmu,"
ADVERTISEMENT
"Aku yakin bah, aku ingin merubah kehidupan kita agar menjadi lebih baik. Aku tidak ingin melihatmu terus-terusan berladang di hari tuamu. Aku ingin membahagiakan abah. Sangat ingin bah," ucap Jemi.
Tatapan lelaki paruh baya tersebut nampak sedih.
"Baiklah Jem, aku mengizinkanmu pergi, tapi dengan satu hal. Kau harus ingat semua nasihatku dan tetaplah 'mambawa ayam bini haja, ayam bini kada pangalahian'(seperti ayam betina, tidak suka berkelahi/membuat masalah)"
Jemi dan Iman tersenyum.
"Baik bah, aku berjanji," ucap Jemi
"Jemi pasti akan jadi orang sukses mang. Dia pasti akan membahagiakan amang," sela Iman.
"Aamiin Ya Allah."
Iman tersenyum menatap kapal-kapal yang merapat di pelabuhan. Akhirnya sebuah perjuangan akan dimulai di titik ini. Mereka berdua berjalan ke arah kapal bersama dengan penumpang lainnya.
ADVERTISEMENT
"Karcis ranjang pak," ujar seorang anak buah kapal.
"Iya, dimana yang kosong ya?"
"Ini pak no 6. Berdua kan? 2000 ribu ya pak,"
Iman mengangguk seraya mengeluarkan uang logam dari kantongnya dan membayarkan pada anak buah kapal tersebut.
Singkat cerita perjalanan panjang pun dimulai. Jemi yang memang mudah akrab dengan orang, terlihat sedang mengobrol dengan seorang pasutri paruh baya. Iman yang melihat sahabatnya itu cuma bisa tersenyum, lalu kemudian ia melanjutkan rebahan santainya.
Hari-hari telah berlalu, singkatnya kapal yang dinaiki Jemi dan Iman itu pun sudah bersiap-siap untuk merapat di pelabuhan.
Saat akan keluar dari kapal, Jemi masih sempatnya membantu pasutri tua untuk membawakan barang-barang mereka keluar dan membantu seorang ibu-ibu yang kesusahan membawa anak-anaknya. Iman melihat semuanya sambil geleng-geleng kepala.
ADVERTISEMENT
Bersambung...