Petaka Cinta: Sebuah Kabar Duka (Part 7)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
1 Agustus 2022 20:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Petaka Cinta, dok: Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Petaka Cinta, dok: Pribadi
ADVERTISEMENT
Iman tak bergeming dari tempatnya berdiri, ia enggan untuk pulang. Karena perasaannya mengatakan kalau Jemi ada di sekitar tempat itu,
ADVERTISEMENT
"Man, pulang," ujar Jumadi.
"Aku tidak akan pulang sebelum kutemukan Jemi," jawabnya bersikeras.
"Kita pulang sekarang, dan kita tunggu kabarnya. Lagi pula kau sudah dengar sendiri bukan, kalau Jemi tak berada di sini,"
"Aku tetap tidak mau pulang. Kau tidak tau bagaimana cemasnya aku saat tau kalau Jemi tidak berada di pondok. Kalau sampai Jemi kenapa-napa, apa yang akan aku katakan pada orang tuanya?!!"
"Aku tau posisimu Man. Tapi sekarang lihatlah keadaanmu. Kau terluka dan sudah menggigil seperti ini. Kalau lukamu tidak lekas diobati, nanti akan membusuk. Tolong man, jangan keras kepala," Iman menghela nafas panjang,
"Kalian pulang saja. Aku akan menunggu di sini sampai besok. Aku sudah tidak sanggup untuk berjalan," ucap Iman pelan.
ADVERTISEMENT
Mendengar perkataan Iman, akhirnya Jumadi membiarkan Iman untuk tetap tinggal di sana.
Malam itu Iman tidur di bangku bambu yang ada di depan pondok milik si lelaki berkumis tadi. Iman juga diberikan makanan dan obat herbal untuk lukanya.
Beberapa orang yang berjaga membuat api unggun di sekitar lubang, mereka nampaknya tidak terlalu mempercayai Iman. Mungkin saat itu mereka mengira Iman adalah mata-mata perampok.
Saat Iman terlelap, ia bermimpi bertemu dengan Jemi. Dalam mimpinya Jemi terlihat kurus dan pucat. Ia hanya diam sambil menatap Iman dan saat Iman akan menyentuh Jemi, tiba-tiba tubuh Jemi berubah menjadi gumpalan asap tipis dan segera menghilang.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/rasth140217]
Iman terbangun dari tidurnya.
ADVERTISEMENT
"Ya Tuhan, lindungilah Jemi di manapun dia berada. Tuntunlah dia agar bisa cepat bertemu dengan hamba," gumam Iman.
Ia tak tau apa arti mimpinya tadi, mungkin hanya sekedar mimpi biasa atau bahkan mungkin adalah pertanda, entahlah.
Keesokan harinya, suasana pertambangan emas ramai dengan orang-orang yang lalu lalang mulai bekerja. Iman menatap ke kejauhan, berharap ia menemukan Jemi di antara orang-orang tersebut. Namun harapan tinggalah harapan. Hari itu Jumadi dan Ubi berjalan melewati jalan pintas ke tambang emas milik pak Tarsim.
Jalanan yang berbatu ditutupi oleh hamparan dedaunan kering. Akar pohon terlihat menyembul keluar dari tanah.
Dan tiba-tiba braaakkk... Akkhhh
Ubi yang berjalan di belakang berteriak, ia tersandung akar pohon dan hampir saja jatuh ke dalam jurang.
ADVERTISEMENT
Untung Jumadi dengan cepat menarik tangannya, Ubi menarik nafas lega, namun sendal jepit satu-satunya yang ia miliki saat itu jatuh ke dalam jurang.
"Sendalku sangkut di situ Jum," ujar Ubi menunjuk ke bawah
"Ah, tidak apa-apa cuma sandal bekas,"
"Kau bilang sandal bekas? Iya kalau aku bawa sandal lain tidak apa-apa. Ini aku cuma bawa satu, bagaimana aku akan berjalan sampai ke lubang pak Tarsim, kalau alas kakiku tidak ada,"
"Manja. Iman saja sanggup berjalan tanpa sandal, bahkan tadi malam kakinya terluka cukup parah. Batu kerikil, tanah pasti sudah masuk ke dalam lukanya,"
"Itu dia. Bukan aku," ujarnya sembari mengambil ranting yang terdapat 'cikang'(cabang) di ujungnya. Lalu tengkurap di bibir jurang dan berusaha meraih sandalnya dengan ranting bercabang tadi.
ADVERTISEMENT
"JumJum.!" panggil Ubi tiba-tiba
"Apa?!"
"Coba lihat itu ada sobekan kain sangkut di kayu," tunjuk Ubi.
"Mana?" tanya Jumadi.
"Ituuu!!"
"Mana? tidak ada apa-apa,"
"Astaga dasar buta. Itu loh jum itu!!"
"Oh iya ya. Ah, mungkin punya orang-orangnya pak Tarsim,"
"Masa sih? Tapi aku kok seperti pernah lihat itu kain ya jum," Ubi berusaha mengingat-ingat di mana ia pernah melihat kain tersebut
"Mirip bajunya..."
"JEMI!!" ujar keduanya bersamaan
"Ya Tuhan, apa jangan-jangan,"
"Tidak, tidak. Semoga saja tidak," potong Ubi.
Meski awalnya takut, mereka berdua akhirnya mencari cara untuk turun ke bawah. Mereka berpegangan pada akar-akar pohon yang menjuntai. Mereka benar-benar harus ekstra hati-hati dalam menuruni tebing jurang tersebut.
Hingga hampir 20 menit lebih (kira2) mereka berhasil sampai di dasar jurang. Beruntung keduanya hanya mengalami luka-luka ringan akibat salah berpegangan pada tumbuhan berduri.
ADVERTISEMENT
Bau busuk yang sudah samar-samar tercium. Keduanya saling menatap satu sama lain. Mereka mengedarkan pandangan ke semua penjuru.
Sampai akhirnya Jumadi menunjuk ke sebuah pohon yang berada sedikit di atas mereka. Terlihat ada mayat seseorang yang sangkut di pohon bercabang tersebut, dan saat angin berhembus, bau busuk masuk ke dalam rongga pernafasan keduanya. Membuat mereka seketika mual dan muntah. Apalagi saat Ubi melihat ke bawah, terlihat sebuah kepala yang sudah hampir kehilangan kulit dan daging tapi masih ada sedikit rambut di sekitarnya.
Sambil menutup mulut dengan bajunya, Jumadi berusaha membalikkan kepala yang terputus itu tersebut dengan kayu. Saat kepala tersebut berhasil di balik, nampak dengan jelas wajah yang tak asing, meski kepala tersebut jauh dari kata utuh, membuat keduanya menjadi terdiam.
ADVERTISEMENT
Bibir Ubi bergetar, tak menyangka dengan apa yang ia lihat.
"Apa itu Jemi??!" tanya Ubi terbata, seolah tak mempercayai penglihatannya
"Kita harus mengabari orang-orang. Ayo!" ujar Jumadi.
"Jangan! Aku tidak mau orang-orang tau keadaan Jemi. Mereka pasti akan menyalahkan aku Jum! Ini bukan salahku. Aku tidak tau kenapa Jemi sampai jadi seperti ini!!" Ubi histeris
"Justru kau kan disalahkan kalau sampai menutupi semua ini Bi!! Mereka harus tau. Kita harus menguburkan jasad Jemi dengan layak!"
"Ini bukan salah ku," isak Ubi
"Kau harus bersikap dewasa Bi! Kalau memang kau tidak bersalah maka tak perlu takut!"
Lalu Jumadi berjalan pergi, ia mulai berusaha memanjat naik dengan kembali berpegangan pada akar-akar pohon. Beberapa kali kakinya hampir meleset dari injakan, karena pikirannya saat itu benar-benar berkecamuk.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di atas, Jumadi berjalan dengan langkah setengah berlari ke arah pertambangan emas milik pak Tarsim.
Singkatnya, saat ia sampai di tempat Iman sedang mengobrol dengan lelaki berkumis tebal itu, Jumadi tak bisa lagi membendung air matanya.
"Kenapa?" Tanya Iman
Bahu Jumadi berguncang, bibirnya gemetar tak bisa berkata-kata lagi. Rasanya berat sekali menyampaikan kabar buruk tersebut pada Iman yang masih sangat berharap kalau Jemi masih hidup dan sehat.
Bersambung...