Petaka Cinta: Sebuah Kesalahpahaman (Part 4)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
27 Juli 2022 16:38 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Petaka Cinta, dok: Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Petaka Cinta, dok: Pribadi
ADVERTISEMENT
Saat itu Ubi, Iman dan kawan-kawan sangat khawatir dengan keadaan Jemi. Tapi mereka tak tau apa yang harus dilakukan. Malam itu, Jumadi baru pulang setelah berjam-jam pergi. Ia membawa daun pisang yang kemudian akan digunakan untuk alas tidur Jemi.
ADVERTISEMENT
Karena biasanya memang begitu, bila seseorang terkena wisa dan sudah 'masak'(parah) akan di baringkan di atas daun pisang.
"Coba cari pampijit (sejenis hewan berkaki pengisap darah, gak tau bahasa indonesia nya apa, tapi biasanya hewan itu bersembunyi di lipatan-lipatan Kasur atau pun kelambu, kalau kena gigitnya badan jadi merah2 dan gatal/ mungkin serupa dengan tumbila) kalau menurut mang imul, pampijit itu harus ditelan agar wisa pada si jemi ini hilang,"
"Uweeekk.. Hii. Apa gak ada obat lain??" Ujar Iman menyela ia jijik, benar-benar jijik. Karena memang hewan Itu selain penghisap darah, juga memiliki bau yang sangat tidak enak.
"Kalau mau sembuh ya dicoba. Kalau gak mau berobat ya jangan sakit," Kata Jumadi.
ADVERTISEMENT
"Memangnya sakit itu pilihan Jemi?! Yang namanya sakit gak bisa ditentukan!" Balas Iman.
"Aahh.. Sudah-sudah!! Kalian ini kenapa sih hah?!! Apapun itu lakukan saja! Yang penting Jemi bisa sembuh!" ujar Ubi sembari berdiri.
Iman menunduk, namun hatinya masih tidak setuju kalau sahabatnya harus dikasih makan Pampijit.
Ubi dibantu Eli mencari pampijit di lipatan-lipatan kasur tipis yang sebelumnya digunakan oleh Jemi untuk tidur. Setelah beberapa saat, Eli dan Ubi mendapat cukup banyak binatang penghisap darah tersebut.
Ada sekitar 10 ekor lebih yang besar-besar. Saat Ubi akan membawanya kepada Jumadi, tangannya dicekat oleh Iman.
"Kau yakin Bi?? Tega ngasih beginian ke Jemi! Jemi itu teman kita!"
"Astaga Man! Apa salahnya dicoba?? Lagi pula ini bukan naga, bukan binatang berbahaya,"
ADVERTISEMENT
Iman menghela nafas panjang, ia melepaskan tangan Ubi. Lalu duduk bersandar pada dinding pondok.
Dalam hatinya Iman terus bergumam, "Awas saja nanti kalau tidak ada hasil! Kalau sampai Jemi makin parah setelah di kasih binatang sialan itu!"
Tiga hari kemudian, keadaan Jemi benar-benar semakin membaik. Warna tubuhnya juga sudah mulai normal. Namun ia masih tidak dibolehkan masuk ke pondok dan harus menunggu benar-benar sembuh baru bisa masuk ke dalam.
Iman dan Ubi juga Eli yang sering tidur di luar sambil menjaga Jemi. Meski Eli tidak bekerja pada ayahnya Ubi, namun karena mereka sudah sangat akrab, makanya Eli sering sekali berada di sekitaran wilayah milik ayah Ubi dan Ubi tentu saja senang, karena ia sudah cukup lama naksir pada gadis itu.
ADVERTISEMENT
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/rasth140217]
Setelah Jemi sudah benar-benar sembuh dan bisa kembali bekerja seperti biasa, Iman mengatakan kalau dirinya akan pulang sebentar untuk memberikan uang pada orang tuanya.
"Kau mau ikut sekalian gak jem?"
"Uangku yang aku kumpulkan masih sedikit, sepertinya aku belum bisa pulang. Tapi kalau kau pulang, aku mau menitipkan kiriman untuk ayahku."
"Ahh. Malas aku kalau sendirian jem. Belum lagi di jalan nanti aku berjalan sendirian malam-malam lagi. Kalau aku diculik hantu beranak kau mau tanggung jawab?"
"Loh. Bukan nya mau pulang itu kemauanmu. Kenapa jadi menyalahkanku. Dasar kutu,"
"Pulang saja ya jem. Biar ramai-ramai jalannya,"
"Kau takut??"
"Tidak. Siapa bilang aku takut."
Jemi menggelengkan kepalanya, lalu memasang baju 'tilasan' untuk segera memulai pekerjaan. Ia berjalan keluar pondok dan meninggalkan Iman Diikuti oleh Jumadi, yang baru saja selesai sarapan.
ADVERTISEMENT
"Jangan manja. Laki-laki kok takut hantu," ejek Jumadi.
Iman menatap Jumadi dengan mata melotot, ia kesal mendengar ejekan yang ditujukan padanya tersebut.
"Sayang dia tua coba kalau masih muda. Sudah ku hih!" gerutu Iman sembari mengepalkan tangan.
Iman keluar pondok untuk bekerja hari itu, namun saat baru sampai di depan galian, ia terdiam melihat Eli dan Jemi sedang mengobrol.
"Kerja Jem!" ujar Iman sembari menarik tangan sahabatnya tersebut.
"Jem. Ini makanannya gimana?" kata Eli.
"Tau nih Iman. Main tarik-tarik aja. Seenggaknya hargainlah Eli sudah membuatkan makanan untuk kita. Dari pada mubazir. Kau juga kan tau gimana sulitnya orang-orang membawa bahan makanan ke sini,"
Iman menghela nafas panjang, lalu mengikuti Jemi yang kembali duduk untuk menyantap makanan yang dibawa oleh Eli.
ADVERTISEMENT
"Jumm.. Sini makan dulu," panggil Iman.
"Gak ah, sudah kenyang, sebentar lagi Ubi datang. Yok kerja dulu," jawab Jumadi.
Iman menghentak-hentakan kakinya ke tanah beberapa kali, ia takut jika nanti akan terjadi kesalahpahaman antara kedua sahabatnya, sebisa mungkin Iman membuat jarak antara Jemi dan Eli yang terlihat sudah mulai menaruh hati pada Jemi.
"Kau suka dengan si Eli itu Jem??" tanya Iman.
"Loh, bukan nya Eli calon nya Ubi. Kalau masalah suka, ya memang aku suka. Tapi hanya sebatas teman, tidak lebih,” Iman menghela nafas lega.
"Syukurlah, kalau begitu berarti tak ada yang perlu aku khawatirkan. Lagi pula kau harus ingat Jem, biar penampilannya urakan, tapi si Ubi itu yang sudah mencarikan pampijit untuk obatmu. Jadi jangan mengkhianati pertemanan kita ini,"
ADVERTISEMENT
"Ckck.. Kau berpikir sampai sejauh itu man. Memangnya aku ini terlihat seperti pengkhianat kah sekarang,"
Sebulan telah berlalu, Hari itu Iman sudah benar-benar akan pulang bersama dengan Jumadi.
Tapi Jemi lagi-lagi tak mau ikut dan masih tetap ingin bekerja. Padahal uang yang ia dapat sudah cukup banyak.
"Ya sudah, aku pulang dulu ya Jem. Kau jaga diri baik-baik dan ingat-ingat pesanku," ujar Iman.
Jemi cuma mengangguk sambil tersenyum.
"Oh iya man kalau kau naik, aku titip, tolong belikan permen ya," kata Jemi yang langsung ditanggapi Iman dengan anggukan.
Iman dan Jumadi juga beberapa orang lainnya mulai berjalan meninggalkan tempat tersebut. Jemi menatap mereka semua dengan senyuman dan setelah rombongan Iman tak terlihat lagi, Jemi pun masuk ke dalam pondok untuk kembali tidur.
ADVERTISEMENT
Namun baru beberapa saat ia memejamkan matanya, ada sebuah suara lembut memasuki gendang telinganya. Saat Jemi membuka matanya, terlihat Eli sedang duduk di dekatnya.
"Kukira kau tidur Jem," ucapnya
"Ngapain kamu el??" tanya Jemi seraya duduk.
"Ini, aku, aku membawakan makanan untukmu. Karena aku tau kau pasti lagi malas memasak,"
"Ah. Itu, seharusnya kau tak usah repot-repot el. Aku bisa memasak sendiri," ucap Jemi
Eli tersenyum, gadis itu memang cantik dan juga baik sekali. Andai saja Ubi tak lebih dulu menyukai gadis itu lebih dulu, mungkin sekarang adalah waktu yang tepat bagi Jemi untuk mengutarakan isi hatinya pada Eli.
"Jem. Kau tak ikut pul...”
"Eli.."
Ubi terdiam, matanya lekat menatap Jemi yang masih berbaring di atas kasur.
ADVERTISEMENT
Tanpa berkata apa-apa lagi, Ubi langsung keluar dari pondok. Jemi langsung beranjak dari duduknya dan langsung berlari mengejar Ubi. Ia tau kesalahpahaman telah terjadi di antara mereka.
Ilustrasi perkelahian, dok: Pribadi
"Ubiii.. Biiii.." panggil Jemi.
"Tidak kusangka kau orangnya begitu Jem! Kukira kau sahabat, tapi ternyata, kau adalah musuh!!"
"Antara aku dan Eli tak ada hubungan apa-apa bi! Dia hanya mengantarkan makanan untukku,"
"Tak ada hubungan?? Kalian berduaan di dalam pondok tertutup dan kau masih berada di atas kasur. Apa itu yang di sebut tak ada hubungan?!! Padahal kau tau, aku yang lebih dulu mengincar Eli!! Tapi kau.." ujar Ubi lalu menyerang Jemi.
Perkelahian tak bisa di hindari lagi, berkali-kali Ubi memukul wajah Jemi, namun untungnya pukulan-pukulan itu berhasil dihindari olehnya.
ADVERTISEMENT
"Stoooppp!!! Stoop!!" teriak Eli
Mendengar teriakan dari Eli, beberapa orang yang bekerja tak jauh dari tempat itupun langsung berlarian untuk melihat apa yang terjadi, dan beberapa di antaranya berusaha melerai.
Nafas keduanya tersengal.
"Itu semua hanya salah paham, antara aku dan Eli tak ada hubungan apa-apa. Juga tak mungkin bagiku untuk berkhianat. Sementara ayahmu sudah berbaik hati memberikan pekerjaan untukku. Tapi terserah padamu Bi, kau mau percaya atau tidak,"
"Sekalinya anjing ya tetap anjing!"
"Ubi Cukup!! kukira kau itu orang yang baik! Ternyata kau tak ubahnya singa ganas yang bertopeng kan anak kucing!! Kau gila!! Biar bagaimana pun aku tak akan sudi menjadi kekasihmu!!!" Ujar Eli dengan emosi.
"Kau menuduh tanpa bukti!! Apa kau tak sadar perkataan mu itu seolah-olah menunjukan bahwa aku ini seorang pel*cur yang bisa digilir oleh laki-laki!! Kau bajingan!!" Eli terisak.
ADVERTISEMENT
Ubi terdiam, nafasnya masih turun naik. Ia menyadari kesalahannya. Ia sangat menyesal, namun semuanya sudah terlambat, Eli sudah benar-benar marah dan membencinya.
Ubi berjalan dengan langkah gontai.
Bersambung...