Konten dari Pengguna

Sumpah Pocong (Part 3)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
9 Mei 2020 11:23 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pocong, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pocong, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba HP ku bergetar di saku celana. Kulihat ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Karena aku berpikir tidak penting jadi aku matikan saja, namun nomor tersebut terus-menerus menelepon. Aku mohon izin keluar sebentar untuk mengangkat telepon.
ADVERTISEMENT
"Halo? Siapa ini?"
"Dengar-dengar rupanya kamu sudah pulang kampung ya? Pasti kamu terkejut, wanita jalangmu sudah mati. Kamu lihat saja kedepannya akan lebih mengerikan," ucap seorang laki-laki di seberang.
"Halo halo siapa ini? Jangan macam-macam sama saya!" bentakku.
[Tuut tuut tuut] namun sambungan telepon terputus begitu saja. Aku bersikap setenang mungkin agar tidak membuat orangtuaku khawatir. Aku pun kembali masuk ke ruang tengah rumah bu Sri.
Namun saat aku kembali, warga dan orangtuaku termasuk bu Sri tidak ada disana. Yang tersisa hanyalah kakek tua dan wanita yang dikafani.
"Masuklah ke kamar kalau nggak pengin kebawa-bawa," ucap kakek itu kepadaku.
Aku pun bergegas masuk ke kamar yang ternyata sedari tadi ada bapak menunggu di pintu kamar sambil melambaikan tangan kepadaku.
ADVERTISEMENT
Aku dan yang lain bersembunyi di kamar itu sambil sesekali mengintip ke ruang tengah. Karena kamar tempatku bersembunyi memang ada di ruang tengah.
Beberapa saat kemudian ada suara wanita berteriak kencang, lebih terdengar seperti nada marah. Samar-samar ku dengar kakek tua ketakutan.
"Keluarlah, pulanglah, pergilah! Ini bukan tempatmu, ini bukan duniamu! Salahmu sendiri sudah menyalahi takdir Tuhan, salahmu sendiri sudah berani menantang sumpahmu."
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/niskala_sekala]
Sekarang tidak perlu lagi di kejar-kejar. Sumpahmu sudah mati, siapa yang menanam pasti akan menuai!" bentak sang kakek kepada entah siapa dia yang tengah berteriak.
Sejenak aku dan yang lain mengintip dari celah pintu saking penasaran. Ternyata wanita yang dikafankan tadi tengah melayang dengan suara yang meraung-raung penuh amarah.
ADVERTISEMENT
Terlihat wanita itu seperti hendak menyerang si kakek, namun selalu terpental mundur ketika dirinya menyodorkan benda seperti tasbih namun aku yakin itu bukan tasbih, ke depan wajah wanita itu.
Ilustrasi wanita berteriak, dok; pixabay
Namun, wanita itu tak gentar. Justru sosoknya semakin membesar dan kian tambah besar. Sekarang tingginya sampai menyentuh langit-langit rumah. Kakek terlihat semakin ketakutan. Ruang tengah sudah hancur berantakan.
"Mbah ke sinilah kalau sudah tidak kuat!," bapak mencoba memanggil Mbah tua dari celah pintu kamar.
Mbah tua berlari ke arah kami, setelah Mbah tua masuk, Bapak segera mengunci pintu kamar. Wanita tadi pun terdiam. Tidak lagi terdengar suaranya.
Bapak perlahan membuka pintu kamar, dan mengintip dengan satu mata. Tidak ada siapa-siapa di ruang tengah. Entah ke mana wanita itu pergi.
ADVERTISEMENT
Namun...
"Aaaargggg!!!" teriak wanita itu mengejutkan kami semua.
Dengan wajahnya yang dia hadapkan langsung di depan wajah Bapak. Wajahnya yang telah memerah dengan urat-urat yang menonjol, mata yang melotot dan darah yang terus keluar dari mulutnya. Bapak sangat kaget dan membanting pintu keras-keras.
[Dug..dug..dug]
Bunyi pintu seperti di pukul-pukul menggunakan kepala.
"Gimana ini mbah?," tanya pak Soni salah satu warga kepada si kakek.
"Sudah, sabar dulu. Sebentar lagi Narti akan sadar, Sulis tidak akan bisa merasuki tubuh manusia lama. Tunggu saja," jawab sang kakek tenang.
"Narti? Ternyata wanita yang dikafan bernama Narti. Siapa dia," batinku.
perempuan menyeramkan, dok: pixabay
Benar saja. Beberapa saat kemudian terdengar suara dari luar kamar.
[Brukkk]
Kakek tua membuka pintu dan Narti sudah tergeletak pingsan. si kakek memerintahkan untuk segera melepas kain kafan dari badan Narti.
ADVERTISEMENT
Narti dibaringkan di sofa, lalu diminumi air putih. Mendadak hening. Tidak satupun yang berkata-kata.
"Sri. Setelah ini, saya tidak bisa membantu apa-apa lagi. Anakmu sudah kelewat batas. Anakmu sudah menyalahi takdir Tuhan. Perbanyaklah berdoa kepada Tuhan supaya anakmu bisa tenang di alam gaib," celetuk kakek membuyarkan kesunyian di rumah bu Sri.
Bu Sri hanya mengangguk pasrah, ada raut kesedihan di wajahnya. Kami pun segera membubarkan diri. Mbah tua menggendong Narti yang belum terlalu sadar.
Sesampai di rumah aku membuka obrolan dengan ibu yang hendak memasak.
"Bu, tolong jangan di tutup-tutupi lagi. Sebenarnya apa yang terjadi kepada Sulis? kok bisa gini?" tanyaku mendesak ibu.
Awalnya ibu masih menolak untuk bercerita. Namun aku terus memaksa. Akhirnya, ibu menceritakan apa yang terjadi kepada Sulis.
ADVERTISEMENT
[Sudut pandang ibu]
Sulis, ibu tau betul bahwa dia adalah teman dekat anakku. Mereka sudah bersama-sama sejak mereka umur 2 tahun. Bahkan dulu ketika aku dan bu Sri hamil anak kami, kami sempat punya rencana untuk nantinya ketika anak kami dewasa, kami akan menjodohkan mereka.
Bersambung...