Konten dari Pengguna

Teror Pocong Hitam (Part 8)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
1 Juli 2020 21:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pocong, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pocong, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Selain dari Banjarnegara, kisah pocong hitam juga ternyata sangat melegenda di daerah Pemalang.
ADVERTISEMENT
Pemalang, Tahun 1985, Desa M. Saat itu, kebudayaan menjadi hal yang sangat relevan dan bersifat dinamik di daerah ini. Karena itu, narsum mengawalinya dengan pengenalan budaya di daerahnya.
"Dulu, kalau ada kawinan, tari selendang jadi acara intinya," tari selendang adalah ciri khas dari daerah Pemalang ini sendiri. Penggabungan dari ragam gerak daerah Sunda, Banyumas, Yogyakarta dan Surakarta.
Namun, di tengah merebaknya kesenian dan kebudayaan di pemalang, terdapat teror yang mengerikan.
"Kalau ada yang mengetuk pintumu malam-malam, jangan di hiraukan," ucap Mak Sri.
Mak Sri mempunyai anak perempuan yang baru saja menikah, namanya Lili. Selang 3 bulan pernikahannya, Lili dikabarkan mengandung bayi hasil pernikahannya dengan pemuda asal Jakarta bernama Bram.
Ilustrasi perempuan hamil, dok: pixabay
Mungkin nikah muda bukan hal yang lumrah untuk zaman dulu, asalkan ada kemantapan di antara keduanya, pernikahan bisa dilangsungkan atas dasar suka sama suka.
ADVERTISEMENT
Mak Sri mengingatkan kepada Bram agar menjaga Lili ketika magrib mulai bergema. Saat itu, orang yang hamil sangat mempercayai mitos yang beredar.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/restupa71830252]
Pocong ireng sendiri baru diketahui ketika salah satu warga yang tak sengaja melihatnya di depan rumahnya. Pocong ireng itu mencari tumbal, incarannya yang terutama adalah bayi yang dikandung oleh ibu-ibu hamil di desa itu sendiri.
Banyak wanita hamil yang stres, ada yang keguguran, kontraksi yang berlebihan, bahkan memutuskan untuk pindah rumah dan hidup di daerah lain agar teror itu tidak merebak dan mengganggunya secara terus-menerus.
Secara berkala, mereka yang percaya akan pesugihan mengira, pocong ireng ini jadi-jadian dan hanya bisa dilepaskan kedoknya jika kedapatan perbedaan di antara kehidupan sosialnya.
ADVERTISEMENT
Konon, si pelaku (pocong ireng) ini memainkan perannya dari kejauhan dan mengambil tirakat dari luar kota. Bisa dibilang, dia melakukan persetujuan dengan mengorbankan seseorang untuk awal terjadinya kerjasama di antara demit dan juga dirinya.
Apa persyaratannya?, si pelaku harus mendiami dan bertirakat di salah satu gunung di Jawa Barat, lalu dia harus menyetubuhi putrinya secara keji.
Ilustrasi pemerkosaan, dok: pixabay
Sesudah itu, dia memaksa putrinya untuk meminum darah ayam cemani hitam yang digorok lehernya menghadap timur di tempat yang tak pernah diketahui letaknya.
Jika sudah, si putri (anaknya) itu tidak boleh keluar dari rumahnya sebelum waktu yang ditentukan. Isu teror ini sudah berkelanjutan dari mulut ke mulut, namun hanya sedikit saja yang tahu. Itu pun hanya beberapa yang ingat, karena urban legend ini memang sudah tersohor di awal tahun 2000-an.
ADVERTISEMENT
Mak Sri selalu membuat pagar gaib di depan rumahnya dengan menyipratkan air dari bekasan cuci beras dengan menggunakan 4 helai batang padi yang belum tua warnanya.
Hal itu supaya si pocong tidak mendekat dan hanya tertahan di depanan rumah saja. Namun, beberapa warga lainnya sempat kesal dengan tingkah Mak Sri.
"Kamu mau percaya itu?," berbagai fitnah dilontarkan oleh para warga terkait kemunculan pocong ireng.
"Mak Sri itu yang bikin perpecahan," tanpa dirasa, hal ini terdengar ke telinga Lili dan Bram. Mereka agak resah mendengarnya.
"Mak, sudah, selesaikan! Itu mitos!," ucap Lili.
Mak Sri hanya terdiam sambil terus melanjutkan pekerjaannya untuk menyipratkan air itu di depan rumah Lili dan Bram. Namun, siapa sangka si Lili termakan buaian para tetangga rumahnya, kalau si ibunya telah gila dan mempercayai mitos akan kemunculan pocong ireng.
ADVERTISEMENT
"Sudah, mak! Aku tidak butuh itu! Itu mitos!," Lili mendorong ibunya hingga terjatuh, baskom / wadah pun terlempar hingga tangannya terkilir.
"Li, kamu kenapa, ini ibumu!" jelas Bram.
Bram membantu membangunkan ibu mertuanya, tangannya yang terkilir dia urut dengan menggunakan minyak lentik (goreng). Lili masih tak perduli, masa bodoh dengan mitos kuno yang beredar.
"Nduk, itu bukan mitos," ucap Mak Sri.
"Mak, Lili malu jadi omongan tetangga," jelasnya.
Mak Sri hanya menundukkan pandangannya, begitu pula mas Bram yang tampak kecewa dengan tingkah Lili yang berada di luar batas.
Bersambung...