Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Widya: Sosok yang Berbeda (Part 1)
11 Agustus 2022 20:07 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Halo Sobat Dukun, selamat malam Jumat ya, kali ini kita dapat cerita dari penulis twitter yang udah banyak banget karya cerita horornya. Yuk langsung simak cerita horornya di malam Jumat ini.
ADVERTISEMENT
***
Widya. Yah, Widya. Nama itu selalu terngiang-ngiang di benakku belakangan ini. Bukan hanya namanya saja, sosok cantiknya pun selalu menari-nari di pikiranku.
Widya, nama itu. Ah, namanya persis dengan nama aktris film favoritku, Widyawati.
Walaupun paras mereka berbeda, tapi keduanya punya kecantikan dan keanggunan tersendiri. Setidaknya itu yang terlihat di mataku, hingga aku memutuskan untuk mengidolakan keduanya.
Awalnya aku tak terlalu mengindahkan kehebohan berita itu. Berita tentang kepindahan seorang murid baru ke sekolah kami.
Seandainya kalau anak baru itu hanyalah anak yang terlihat biasa-biasa saja, mungkin murid yg lain terutama yang laki-laki, tidak akan seribut ini.
Mereka mulai membicarakan si anak baru ini, yang menurut mereka sangat cantik, anggun dan sederet pujian lainnya. Anak-anak di kelasku juga ikut membahasnya. Aku yang penasaran akan kebenaran sosok cantik itu, memutuskan untuk pergi melihatnya.
ADVERTISEMENT
Seperti biasanya, anak-anak gadis itu bergerombol di depan kelas mereka sambil mengobrol penuh keseruan. Temanku menunjuk ke salah satu dari mereka, seorang gadis manis yang tampak paling pendiam.
Aku terpana. Seketika aku terpesona.
"Namanya Widya," kata temanku. "Widya Asmara, lengkapnya," tambahnya lagi.
Saat itu juga, aku langsung jatuh hati padanya. Pada Widya.
Selain disibukkan dengan pelajaran, kini hari-hariku ku selalu diwarnai dengan khalayan akan Widya. Wajah anggunnya, rambut panjang halusnya, sifat pendiamnya, semua menjadi bahan lamunanku setiap saat.
Kadang kala aku menantikan Widya berdiri di teras kelasnya di lantai atas. Dengan begitu, aku bisa melihat wajah teduhnya dari kelasku yang ada di bawah.
Pertama kali mata kami saling bertemu kala itu, sekilas ia terlihat kaget dan buru-buru mengalihkan pandangannya. Terkadang juga aku berpapasan dgnnya saat berjalan di selasar, saat melihatku, ia akan menundukkan kepalanya dengan pipi memerah.
ADVERTISEMENT
Awalnya aku agak bingung. Oh, aku tahu. Mungkin ia malu di perhatikan oleh cowok secakep aku. Iya, kata teman-teman , aku memang yang paling ganteng di kelas di banding yang lainnya. Haha.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/adelbert_rusty]
Widya. Yah, Widya. Sekali saja melihatnya, aku tahu ada sesuatu yang lain di dirinya. Sesuatu yang mampu membuatku begitu terpikat. Paras cantiknya mungkin belum yang paling sempurna, tapi di luar itu ada hal lain yang memaksaku untuk selalu bermimpi tentangnya.
Mimpi-mimpi tentang Widya selalu berhasil menggantikan mimpi-mimpi buruk itu setiap malam kala ku terlelap.
Mimpi-mimpi ganjil nan aneh yang selalu membuat tidurku tak nyaman, kini digantikan oleh mimpi indah yang berbentuk seorang Widya. Menari-nari di pelupuk mataku dengan senyuman anggun di wajahnya.
ADVERTISEMENT
Hasrat utk mengenal Widya lebih dekat semakin menyiksa jiwa. Sayangnya, aku terlalu malu untuk mendekatinya. Padahal, sejujurnya, aku tak mau kalah bersaing dengan anak cowok lain yang berusaha untuk mendekatinya juga.
Untungnya, tak kulihat sedikitpun Widya merespon kelakuan anak-anak nakal itu. Ia lebih memilih untuk berkumpul dengan teman cewek sekelasnya, walaupun ia lebih banyak diam daripada mengobrol.
Syukurlah, batinku. Itu artinya, masih ada kesempatan bagiku utk dapat memintanya agar mau jadi kekasihku. Tapi, apa tadi? Meminta dia jadi kekasih?
Haha, sungguh bodohnya aku yang terlalu tinggi berharap. Bisa dekat dengannya sudah terlampau sulit bagiku. Apalagi memintanya untuk jadi pacar, wah.. Aku memang suka over thinking.
Rasanya sangat tidak mungkin. Tapi siapa yang menyangka kalau kesempatan itu datang juga?
ADVERTISEMENT
Siang itu, setelah bubar sekolah dan keadaan sepi, kulihat Widya sedang duduk sendiri di bangku kayu, tepat di bawah pohon Tanjung nan rindang yang tumbuh kokoh di pelataran.
Ah, rupanya Tuhan masih mendengarkan doa anak muda yang sedang jatuh cinta ini, agar bisa mendekati pujaan hatinya, batinku senang. Sadar kesempatan ini belum tentu datang dua kali, ku kumpulkan semua keberanian. Kutarik nafas panjang dan menghempasnya kuat-kuat.
Dengan sikap gagah bak Ksatria, ku mantapkan langkah untuk berjalan mendekati Widya.
"Ehh.. Belum pulang ya? " tanyaku begitu tiba di samping nya. Pandangannya beralih dari buku yang dibacanya, dan ia melihat ke diriku. Sejenak ia tampak gugup, lalu buru-buru mengangguk. Hanya mengangguk.
Kemudian ia tersenyum tipis. Senyum tipis yang sungguh manis. Senyum tipis yang terlihat penuh arti. Lalu ia melanjutkan bacaan nya. Aku terpana. Gadis ini memang beda, pikirku berkata.
ADVERTISEMENT
Jarang sekali saat ini kulihat murid-murid perempuan di sekolah ini, masih ada yang mau membaca buku di luar jam pelajaran.
Kebanyakan dari mereka memegang sebuah benda berbentuk persegi dengan ukuran kecil yang bagian depannya bisa memunculkan gambar-gambar jika di sentuh. Entah apa nama benda aneh itu.
Setidaknya itulah yang selalu kulihat, saat mereka berkumpul ataupun ketika jam kosong. Benda itu tak lepas dari tangan mereka. Tapi Widya lain. Ia memegang buku. Bukan benda itu.
Aku jadi makin kagum padanya, bukti ia tak terikut arus.
"Kamu kok belum pulang?" ulangku.
"Menunggu jemputan," jawabnya, sambil menutup buku bacaannya.
Suara yang renyah. Dan terdengar merdu si telinga. Ia menatapku, kali ini entah kenapa, tatapan itu terlihat sendu.
ADVERTISEMENT
"Hobi baca juga ya?" lanjutku bertanya. Ia menggeleng pelan.
"Gak juga. Ini novel. Kubaca pas senggang saja, seperti sekarang," jawab Widya.
Kulirik buku tebal itu di tangannya. "Dan Brown?" tanyaku lagi.
"Itu nama penulisnya," jawab Widya lagi, nadanya terdengar tak bersemangat. Mungkin aku terlalu banyak bertanya, dan ia jenuh di tanya terus. Aku hanya manggut-manggut saja.
Sebenarnya, aku juga suka baca novel. Tapi aku belum pernah mendengar nama penulis itu. Yang aku tahu hanya beberapa nama penulis dari novel favoritku, diantara nya ada nama Budi Darma, Putu Wijaya, Arswendo Atmowiloto dan beberapa lagi yang sudah kulupa.
Kalau penulis luar, kebanyakan aku tak tahu namanya, gumamku, sambil berharap Widya mendengarnya. Tapi ia tetap berdiam diri. Kembali kualihkan perhatianku padanya. Aku masih ingin terus berbincang dengannya.
ADVERTISEMENT
Kuberanikan diri untuk duduk di sampingnya. Ia menggeser sedikit agak menjauh. Yah, wajarlah ia merasa sungkan, kata batinku. Kan belum kenal akrab.
"Ehh.. sebenarnya aku sudah sering perhatikan kamu sebelum ini," kataku, membuka suara.
"Aku tahu kok! " tukasnya.
"Kamu dan teman-temanmu. Dari ruangan itu kan?" lanjut Widya sambil jarinya menunjuk ke arah kelasku berada. Aku jadi malu setengah mati.
Bersambung...