Komersialisasi Pendidikan Dasar Islami

Dumas Radityo
bukan #pengaduanmasyarakat #dumas | #sesdilu62 | jika sopir berbahaya hubungi @lunamanda | jangan pipis berdiri di toilet duduk, terima kasih
Konten dari Pengguna
20 November 2018 14:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dumas Radityo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pelajar Sekolah Dasar. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pelajar Sekolah Dasar. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahun ajaran baru memang belum dimulai. Meski belum musimnya, sejumlah sekolah dasar di seputaran Ibukota telah mulai membuka pendaftaran. Misalnya di Petukangan Utara, Jakarta. Setidaknya sudah ada tiga Sekolah Dasar Islam yang telah membuka pintu pendaftaran jauh-jauh hari sebelum tahun ajaran baru dimulai.
ADVERTISEMENT
Berduyun-duyunlah para orang tua calon murid, mendaftarkan anak-anaknya untuk menjadi peserta didik. Sebuah animo yang tidak ragu muncul dari keinginan orang tua untuk memberikan bekal kehidupan yang terbaik khususnya berupa akhlak melalui pendidikan yang islami.
Komersialisasi Pendidikan Dasar Islami (1)
zoom-in-whitePerbesar
(Foto: Pribadi/Istimewa - Pengalaman Mengantre Pendaftaran Sekolah Dasar)
Adalah hal wajar bila orang tua menghendaki yang terbaik bagi anaknya, untuk menunjang masa depan mereka kelak. Namun terlepas dari upaya orang tua untuk membekali akhlak bagi sang buah hati melalui pendidikan yang islami, pertanyaan yang muncul adalah, apakah pendidikan islami dimaksud sudah benar-benar mencirikan upaya pemenuhan kebutuhan dasar yang paling hakiki, bersekolah dasar?
Apakah pendidikan islami tersebut tidaklah ubahnya sebagai sebuah komersialisasi produk komodifikasi memanfaatkan gejala sosial masyarakat Indonesia dewasa ini yang semakin menunjukan keinginan untuk berhijrah?
ADVERTISEMENT
Pendidikan Islami dan Komodifikasi
Santri tadarus di pesantren (Foto: Arif Firmansyah/ANTARA)
zoom-in-whitePerbesar
Santri tadarus di pesantren (Foto: Arif Firmansyah/ANTARA)
Dalam dunia ekonomi, banyak dikenal istilah komoditas. Komoditas adalah barang atau jasa yang sengaja diproduksi dan kemudian dipertukarkan melalui mekanisme pasar dengan tujuan memenuhi kebutuhan para pencarinya. Dalam dimensi dimaksud, komoditas memiliki nilai guna dan nilai tukar yang menjadikan harganya berfluktuatif sesuai mekanisme pasar.
Lantas apakah itu komodifikasi?
Komodifikasi adalah perubahan barang, jasa, dan gagasan yang sebelumnya tidak ada atau tidak diperlukan menjadi komoditas atau objek dagang. Ambil contoh adalah produk tongkat narsis (tongsis), dahulu sebelum lahirnya telepon seluler berkamera, tidak ada keperluan manusia untuk ber-selfie ria. Sekarang dengan adanya telepon seluler dan budaya selfie-nya, munculah pula tongsis untuk mengakomodir budaya dimaksud dan laku diperjualbelikan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, apa korelasinya dengan dunia pendidikan?
Adalah keniscayaan ketika dunia pendidikan dipenuhi dengan unsur komodifikasi. Pendidikan sebagaimana telah dilatari adalah bentuk dari investasi berupa bekal bagi masa depan anak, tentu saja akan diwarnai oleh komodifikasi dari penyedia jasa investasi pendidikan dimaksud.
Investasi pendidikan, yang ditujukan untuk setidaknya menjaga status kelas atau lebih baik lagi memperbaiki status kelas sang buah hati, memang mudah disusupi segudang komodifikasi. Pendidikan tidak lagi hanya pemenuhan kebutuhan mendasar, tapi sudah menjelma menjadi suatu industri.
Komersialisasi Pendidikan Dasar Islami (3)
zoom-in-whitePerbesar
(Foto: Ilustrasi Pendidikan Dasar - www.pixabay.com)
Di sinilah asal muasal pula bermunculannya pendidikan dasar Islami. Atas dasar tanggung jawab memenuhi pendidikan akhlak yang baik, pendidikan dasar Islami mulai meresapi ruang pikir orang tua untuk memodali anak-anaknya tentang sebaik-baiknya watak manusia ke depannya nanti.
ADVERTISEMENT
Jargon pengembangan watak tersebut juga banyak diiklankan oleh penyedia pendidikan dasar islami yang sebenarnya perlu disyukuri karena sejalan dengan jiwa pelaksanaan Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Menjaga Pendidikan Dasar Islami dari Komersialisasi Berlebihan
Lantas, dengan mudahnya komodifikasi pendidikan dasar Islami, yang mungkin kiranya perlu dijaga adalah pembatasan komodikasi tersebut dari komersialisasi berlebihan. Masih teringatkah dengan sindiran massal yang terjadi di kala kemunculan ide liberalisasi dunia pendidikan tinggi? “Orang miskin dilarang sekolah”, itulah sindiran yang awam digunakan dalam banyak unjuk rasa anti-komersialisasi pendidikan.
Lalu, apa prakondisi dari sebuah pendidikan dasar Islami yang bebas dari komersialisasi terlepas dari masuknya komodifikasi dalam sendi-sendi ajarnya?
ADVERTISEMENT
Nampaknya jawabannya justru terletak pada tujuan komodifikasi tersebut. Bila penyedia jasa pendidikan dasar islami memang berorientasi untuk mengajarkan dan mengembangkan akhlak, besar kemungkinan jasa pendidikan dasar Islami yang diberikan akan bermuara pada peserta didik yang Islami.
Sebaliknya, jika penyedia pendidikan dasar Islami tersebut hanya berorientasikan pada keuntungan pasar. Besar pula kemungkinan penyediaan pendidikan dasar Islami yang dikehendakinya akan tercecer, tersasar, dan tidak tercapai.
Inilah yang dikhawatirkan dapat terjadi. Sebut saja permintaan wakaf atas nama biaya pembangunan sekolah. Bilangan wakaf yang seharusnya merupakan bentuk ibadah sunah sudah bertransformasi menjadi persyaratan untuk dapat masuknya seorang anak menjadi peserta didik.
Penyebutan wakaf nampaknya sudah digunakan sebagai penyelubungan permintaan biaya gedung sekolah dengan nominal yang telah ditentukan besarannya.
Komersialisasi Pendidikan Dasar Islami (4)
zoom-in-whitePerbesar
(Foto: Pribadi/Istimewa - Pelajar Sekolah Tapal Batas di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara)
ADVERTISEMENT
Semoga saja penyedia jasa pendidikan dasar Islami yang tumbuh menjamur tidak bergerak ke arah kekhawatiran tersebut. Sehingga, maksud hakiki membekali sang buah hati dengan watak Islami tidak tercerabut justru oleh sekolah yang seharusnya menyediakannya.
Mungkin pula ada peranan negara untuk mengaturnya. Negaralah yang seharusnya paling mengingat ucapan proklamator bangsa ini, Ir. Soekarno di tahun 1963 merefleksikan keinginannya terhadap dunia pendidikan untuk melepaskan diri dari penghambaan:
“Men kan niet onderwijzen wat men wil men kan niet onderwijzen wat men weet, men kan alleen onderwijzen wat men is,-dus: de natie onderwijst zichzelf”
***