Konten dari Pengguna

Belajar Bersama di Dunia Penuh Warna: Multikulturalisme dalam Pendidikan

Reza Fathullah
Santri Ponpes Daarul Rahman dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
10 Februari 2025 17:04 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reza Fathullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar by canva/Kumparan/meidyna-dwi-handayani
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar by canva/Kumparan/meidyna-dwi-handayani
ADVERTISEMENT
Beberapa dekade terakhir, pendidikan bertujuan untuk merekatkan perdamaian bukan hanya sebagai manajemen konflik saja, namun semakin diakui eksistensinya sekaligus aspek penting dalam masyarakat yang multikultural, demokratis, dan progresif.
ADVERTISEMENT
Dunia penuh warna yang dimaksud adalah Indonesia. Negara tersebut memiliki 17.500 pulau dengan beragam etnis, bahasa, agama, dan budaya. Bangsa itu berhasil menciptakan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika (berbeda tetapi tetap satu) sebagai dasar harmonisasi dan perdamaian dalam segala perbedaan. Praktik kerukunan tersebut telah diwariskan turun temurun.
Di dalamnya meliputi tradisi dialog antar budaya-agama, gotong royong, musyawarah, dan lainnya yang menjadi aset bangsa dan harus dirawat dengan baik serta dilanggengkan untuk memperkuat toleransi di masyarakat.
Prinsip ini telah mendarah daging dari tingkat lokal hingga nasional. Kedamaian sosial menjadi anugerah untuk memastikan keberagaman tetap menjadi kekuatan dalam membangun bangsa yang damai dan tentram.
Sejatinya, karakter bangsa ini sudah sangat multikulturalisme, bahkan melebihi paham tersebut. Misalnya, prinsip persatuan dalam Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 1945 mencerminkan komitmen Indonesia membina kedamaian dalam heterogenitas masyarakatnya, artinya multikulturalisme telah menjadi etos hidup bangsa ini dengan prinsip saling menerima dan menghormati perbedaan budaya, etnis, gender, bahasa, dan agama.
ADVERTISEMENT
Menurut Nurcholis Madjid (Cak Nur) dalam Islam kemodernan dan keindonesiaan pernah bertutur, bahwa budaya Indonesia merupakan rangkuman puncak dari berbagai budaya daerah. Ia mencontohkan bahasa Jawa dan Sunda, misalnya, kurang lebih sebanding dengan perbedaan bahasa Spanyol dan Portugis, dua bahasa dari dua bangsa yang berdiri sendiri.
Cak Nur sama seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Islam Kosmopolitan: Nilai Keindonesiaan dan Transformasi Kebudayaan, yang menyarankan kosmopolitanisme harus dikedepankan daripada sifat Nativisme, karena paham ini hanya melahirkan daerahisme atau berakhir pada sukuisme.
Semakin natural pergaulan antar masyarakat yang berbeda, maka semakin tumbuh nilai-nilai keindonesiaan yang egaliter antar kelompok.Namun, di balik harmoni tersebut, keberagaman juga memiliki tantangan. Tidak jarang, perbedaan justru memicu konflik yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
ADVERTISEMENT
Menurut penelitian Julita Widya dalam jurnal Ilmu Pendidikan PKn dan Sosial & Budaya, “Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Multikultural dalam Pembinaan Keberagaman Masyarakat Indonesia,” konflik-konflik, seperti Poso (1998), Bom Bali (2000), Sampit (2001), Mesuji (2003), dan di tahun 2014 sampai 2016, kasus intoleransi beragama meningkat juga disertai konflik berbasis suku, agama, dan ekonomi – tidak membuat bangsa ini lemah, tetapi selalu belajar dari keberagaman dan konfliknya. Di sinilah pentingnya pendidikan, ia menyarankan model PKn berbasis multikulturalisme berperan dalam mencegah konflik dan memperkuat persatuan dalam Bhineka Tunggal Ika.
Latvia bisa menjadi contoh lain, penelitian (Dzintra Iliško 2010) menyatakan, Latvia negara multikultural dengan keberagaman etnis, bahasa, dan agama. Mayoritas penduduknya Kristen, namun ada juga ateis dan kelompok lain, dengan tiga aliran utama: Katolik, Lutheran, dan Ortodoks. Berbagai etnis, termasuk Latvia, Rusia, Belarusia, dan Ukraina, hidup berdampingan, dengan perkawinan campuran cukup umum. Namun, intoleransi masih ada, terutama terhadap etnis Rusia terkait kebijakan kewarganegaraan dan bahasa, serta prasangka terhadap Gipsi, Muslim, minoritas seksual, pasien HIV, dan penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
Keberadaaan heterogenitas suku, budaya, dan agama, serta memiliki multikulturalisme yang tinggi menjadikan keberagaman ini sebagai aset penting, namun di sisi lain bisa memicu konflik jika tidak mampu merawat toleransinya.
Penting untuk membangun pendidikan multikultural dalam bingkai kebangsaan dengan melibatkan lembaga, organisasi, individu, tokoh masyarakat, dan gerakan grassroots untuk bersama mendidik tanpa diskriminasi sebagai kekuatan bangsa ini.
Upaya ini tidak hanya relevan dalam konteks nasional, tetapi juga berkontribusi dalam mengatasi permasalahan global. Oleh karena itu, gagasan ini juga bertujuan untuk mempromosikan pendidikan multikulturalisme sebagai alat menjaga toleransi dan menghindari kekerasan

Pendidikan Multikulturalisme di Mata Dunia

Melihat urgensi pendidikan multikulturalisme di Indonesia, penting juga untuk memahami bagaimana konsep ini berkembang di tingkat global. Untuk itu, mari kita lihat bagaimana multikulturalisme dipahami dalam perspektif dunia.
ADVERTISEMENT
Istilah multikulturalisme digunakan di Kanada pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an. Dalam konteks Ilmu Sosial & Politik menurut Michel Wieviorka, “Is Multiculturalism the Solution?,” dalam Ethnic and Racial Studies, term “multicultural” menggambarkan masyarakat atau negara, yang sekaligus sebagai upaya menerima dan mempromosikan keberagaman budaya dalam Masyarakat.
Konsep ini menyoroti ketidaksetaraan antar budaya sebai isu utamanya. Multikulturalisme dipahami sebagai gerakan sosio-intelektual yang menekankan keberagaman dan kesetaraan antarbudaya.
Sedangkan dalam konteks pendidikan, menurut James A. Banks dalam International companion to multicultural education, paham ini bertujuan mereformasi sekolah dan lembaga pendidikan lain hingga setiap murid dari berbagai kelompok etnis, ras, dan kelas sosial mendapatkan kesetaraan pendidikan.
Artinya, multikulturalisme dalam pendidikan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap siswa dari berbagai latar belakang untuk mendapatkan akses pendidikan dan pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Di dalamnya meliputi, kurikulum; bahan pengajaran; gaya mengajar dan belajar; sikap, persepsi, dan perilaku guru serta administrator, serta tujuannya, yaitu norma, dan budaya sekolah. Sebagaimana prinsip awal, kembali ke-khittah konsepsi pendidikan multikultural, yaitu reformasi kurikulum yang menjadi fokus utama dari gerakan ini pada tahun 1960-an dan 1970-an.
Di Australia, menurut Nadine Liddy dalam Handbook of Interreligious Education “Multifaith Multicultural Youth Mentoring: Young People Creating a New Agenda for a Diverse Australia,” telah menjalankan Multifaith Multicultural Youth Mentoring (MMYM), program yang memperkuat dialog pemuda lintas budaya dan agama dengan mentor dari berbagai sektor. Program ini membangun modal sosial, meningkatkan inklusi, dan mendorong kepemimpinan pemuda melalui interaksi lintas budaya.
Di Selandia Baru, Kevin Wanden and Lyn Smith menulis “Finding a Way Forward: Interreligious Education and Religious Education in Aotearoa New Zealand,” bahwa pendidikan bikultural berbasis Perjanjian Waitangi berkembang, terutama dalam pedagogi yang responsif terhadap keberagaman agama. Model ini dapat menjadi acuan bagi pendidikan antaragama.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, di Inggris, Toni Tidswell and Majella Franzmann mengutip Lynne Broadbent (2002) – peneliti di bidang pendidikan agama (Religious Education/RE) perspektif Multikulturalisme di Inggris, yang menyoroti bahwa sekalipun kurikulum Pendidikan Keagamaan telah beralih ke paradigma multikulturalisme, sekadar mengajarkannya saja tidak cukup mengubah sikap. Dibutuhkan interaksi langsung dan pemahaman mendalam untuk mendorong perubahan sosial.
Sedangkan Indonesia dengan keberagaman alam dan budaya merupakan anugerah yang harus dikelola sebagai potensi pembelajaran multikultural. Namun, mewujudkannya butuh komitmen pendidikan sesuai UUD 1945.
Masyarakat multikultural menghadapi tiga tantangan utama: konflik kronis antar kelompok, persepsi konflik sebagai perang total, dan integrasi yang cenderung didominasi satu kelompok.
Pengalaman konflik terutama berbasis agama dan budaya menunjukkan bahwa kerukunan memiliki harga mahal, sehingga menjaga kebersamaan menjadi tantangan utama dalam mencegah konflik.
ADVERTISEMENT
Menurut (Baidhawy 2013) dalam “Building Harmony and Peace through Multiculturalist Theology-Based Religious Education,” Indonesia lebih cocok menerapkan Pendidikan Agama berbasis Teologi Multikulturalis (MTBRE) yang menekankan toleransi aktif, harmoni sosial, kematangan emosional, partisipasi setara, dan rekonsiliasi melalui pendidikan.
Pendekatan ini mendorong penghormatan terhadap perbedaan, menolak kekerasan, serta menyeimbangkan kebebasan dan kebersamaan. Dengan hubungan yang setara antaragama, MTBRE berupaya mengatasi konflik masa lalu dan membangun harmoni melalui komunikasi dan rekonsiliasi kreatif. Hasilnya adalah peningkatan keterampilan berpikir kritis, penyelesaian konflik, serta kolaborasi dan empati antaragama.

Kesimpulan

Pendidikan multikultural bertujuan menciptakan kesetaraan dalam pendidikan bagi semua kelompok masyarakat, terutama dalam konteks keberagaman budaya, etnis, dan agama. Konsep ini menekankan reformasi kurikulum, perubahan kelembagaan, serta peningkatan kesadaran dan keterampilan multikultural di kalangan pendidik dan peserta didik.
ADVERTISEMENT
Hal ini menjadi bagian penting dalam membentuk kewarganegaraan yang toleran dan demokratis. Melalui pendekatan multikultural, pendidikan dapat menjadi sarana efektif dalam membangun persatuan serta mencegah diskriminasi dan kekerasan berbasis identitas.