Konten dari Pengguna

Tantangan Integrasi Moderasi Beragama Khawatir Hanya Menghiasi Rak Buku Kemenag

Reza Fathullah
Santri Ponpes Daarul Rahman dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
4 Februari 2025 10:06 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reza Fathullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Moderasi beragama hadir bertujuan membangun dan memperkuat toleransi aktif dalam umat beragama atau antar agama. Perlu diketahui, bahwa toleransi dapat terjadi pada perbedaan-perbedaan yang sulit dinegoisasikan. Dengan demikian, toleransi dalam moderasi beragama berarti sikap berlapang dada, adanya rasa hormat, dan partisipasi aktif kepada orang-orang yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Jika ditelusuri lebih jauh, moderasi beragama merupakan hasil modifikasi dari istilah Interreligious atau Interfaith, yang berhasil dilokalitas dalam bingkai ke-Indonesiaan. Dalam konteks pendidikan Interreligius, merujuk (Engebretson et al. 2010) dalam International Handbook of Interreligious, yaitu proses pendidikan interaktif dan bertoleransi, melaluinya masyakarat belajar dari keberagaman agama dan multi etnis.
Hal ini bertujuan untuk merubah cara pandang, sikap, dan perilaku masyarakat, “mungkin” pada awalnya bersifat mencela dan memandang orang lain yang berbeda warga kelas bawah yang patut dicurigakan, menjadi kesetaraan dan saling menolong dalam kebaikan.
Berdasarkan tiga prinsip dalam bernegara; Pertama, negara kebangsaan yang beragama, bukan sekuler dan teokrasi. Kedua, memproteksi dan memberikan proporsionalitas terhadap heterogenitas agama, ras, dan budaya. Ketiga, memberikan kebebasan, perlindungan, serta jaminan dan tanggung jawab kepada warga negara untuk menganut agama apa saja.
ADVERTISEMENT
Maka melalui buku moderasi beragama yang digagas (Tim Penyusun Kementerian Agama RI 2019), Indonesia mempresentasikan pengalaman toleransinya melalui aktivitas kearifan lokal, seperti gotong royong, tradisi upacara adat, halal bihalal, dan lainnya.
Model ini dibutuhkan selain meredam kekerasan, juga mewujudkan harmoni sosial melalui toleransi aktif, bukan saja saling memahami perbedaan tetapi berinteraksi dalam mewujudkan cita-cita bangsa.
Namun, mengintegrasikan konsep tersebut ke dalam kurikulum merupakan tantangan utama. Resistensi terhadap perubahan kurikulum dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk pendidik, sekolah, dan masyarakat.
Penyebab penolakan bermacam-macam, seperti keterbatasan sumber daya; fasilitas, waktu, atau anggaran untuk implementasinya. Permasalahan lain seperti kurang memahami tentang tujuan dan signifikansi moderasi beragama. Belum lagi masalah ketergantungan dengan kurikulum lama, karena sudah merasa nyaman dengan materi dan metode yang digunakan.
ADVERTISEMENT
Di sini dibutuhkan kerja sama aktif antara berbagai pihak, pemerintah, institusi sekolah, orang tua, dan masyarakat sebagai strategi penguatan dan integrasi kurikulum moderasi beragama, sehingga sekolah tidak menjadi tempat doktrinasi dan diskriminasi, tetapi tempat membangun peradaban yang inklusif dan dialogis.

Moderasi Beragama Warisan Founding Father yang Harus Dilestarikan

Merujuk pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kemenag di Jakarta, Menteri Agama di tahun 2019, Lukman Hakim Saifuddin memberikan pidato bertajuk “Moderasi untuk Kebersamaan Umat: Memaknai Rapat Kerja Nasional Kemenag 2019.” Ini merupakan term awal “moderasi beragama.” Ada tiga hal inti yang disampaikan, kebersamaan umat, moderasi beragama, dan integrasi data (Kemenag 2019).
Akar pemikiran tersebut sejatinya lahir dari Founding Father–tokoh-tokoh seperti Mukti Ali, Nurcholish Madjid (Cak Nur), Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sampai Nasarudin Umar, dan lainnya–di masa lalu yang terus mengalami inovasi idea di dalamnya. Gus Dur, misalnya menawarkan “Pribumisasi Islam,” Cak Nur dengan “Islam, kemodernan, dan keindonesiaan,” Mukti Ali dengan terobosan “Dialog antaragama” hingga Nasarudin Umar serupa dengan Gus Dur, yang merujuk serta menafsirkan makna “Islam Nusantara” dalam Islam Nusantara: Jalan panjang moderasi beragama di Indonesia (2021).
ADVERTISEMENT
Sikap moderasi sejatinya menekankan nilai-nilai kebaikan berbagai ajaran dan pengalaman spiritual masing-masing. Dengan sikap tersebut menjadi strategi dan pondasi dalam upaya menciptakan kondisi yang kondusif bagi keharmonisan seluruh masyarakat Indonesia, dengan mendidik manusianya–dalam hal ini peserta didik–agar menjadi anak yang mempunyai sikap inklusif satu sama lain mengenai perbedaan. Sudah saatnya seluruh elemen bangsa merancang kehidupan beragama berbasis inklusivitas dan kemanusiaan.
Dalam konteks inilah pendidikan intra-antar agama menjadi sangat strategis kedudukannya karena dengan hal tersebut diharapkan muncul kesadaran diri dari para pemeluk agama untuk secara sungguh-sungguh mempelajari agama pribadi dan mendengarkan serta menghormati tanpa menghakimi agama lain, bukan untuk membuktikan kesalahan kelompok atau agama-agama lain, tetapi mengisi diri dengan sikap penuh empati menyelami tradisi-tradisi tersebut dari dalam dan mengambil pelajaran dan manfaat darinya.
ADVERTISEMENT

Strategi Penguatan Moderasi Beragama

Penguatan moderasi beragama memerlukan kerjasama antara pemerintah, institusi pendidikan, masyarakat, dan orang tua, serta pengembangan kurikulum yang mengintegrasikan nilai-nilai multikulturalisme dan nilai-nilai toleransi. Tanpa kerjasama lingkaran tersebut, moderasi beragama sekadar tagline dan penghias rak-rak buku di Kemenag.
Ada empat hal yang harus dikembangkan lebih lanjut;
ADVERTISEMENT
Strategi lain untuk memperkuat gagasan ini diperlukan kolaborasi antara pihak-pihak terkait, seperti tokoh agama, pemangku kebijakan, dan lembaga pendidikan. Melalui kolaborasi terutama di media sosial (MedSos) dapat memobilisasi masyarakat untuk bergabung dan mempraktekan gagasan tersebut.
Dalam penelitian yang ditulis Reinikainen, Kari, and Luoma-aho (2020) berjudul “Generation Z and Organizational Listening on Social Media,” menunjukan kaum muda adalah pengguna media sosial yang aktif dan telah muncul sebagai kekuatan yang kuat untuk perubahan sosial.
Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa respon mereka sangat positif dan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi terhadap informasi yang dibagikan oleh merek tertentu, otoritas publik, dan organisasi non-pemerintah di media sosial.
Artinya, pemerintah dan lembaga keagamaan diharapkan berperan aktif melalui kebijakan yang mendukung moderasi beragama serta narasi yang menolak ekstremisme.
ADVERTISEMENT
Kampanye sosial yang mengedepankan kesadaran masyarakat tentang keseimbangan dalam beragama perlu digalakkan, termasuk mendorong praktik gotong royong lintas agama. Media juga dapat menjadi alat strategis dengan menyediakan konten edukasi yang mendukung nilai moderasi.

Kesimpulan

Moderasi beragama menekankan keseimbangan dalam beragama, menghindari ekstremisme dan liberalisme. Dalam konteks Indonesia yang plural, moderasi beragama mendorong harmoni sosial melalui pemahaman intra dan inter agama, toleransi, dialog antaragama, dan penghormatan terhadap keragaman, serta menjadi kontra-narasi terhadap ekstremisme.
Pendekatan ini memperkuat kohesi sosial dan mendukung terciptanya masyarakat damai, adil, dan seimbang. Tantangan utama yang menghambat integrasi moderasi beragama ke pendidikan meliputi penolakan berbagai pihak, kurangnya pemahaman, dan kendala kurikulum serta pelatihan guru.
Strategi penguatan mencakup revisi kurikulum berbasis toleransi dan pendidikan multukultural, pelatihan guru, dan kolaborasi dengan tokoh agama serta pemangku kebijakan, terutama dalam berselancar di MedSos.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, moderasi beragama bertujuan menanamkan nilai keseimbangan, toleransi, dan keadilan untuk menciptakan harmoni sosial serta mencegah radikalisme.