Konten dari Pengguna

Tunggu! Ada Cara Lain Mengkritisi Omnibus Law Selain Demonstrasi

Dwi Aprilytanti Handayani
Penulis konten, blogger, penggiat media sosial FMIPA UB 1994
19 Agustus 2020 21:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dwi Aprilytanti Handayani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Omnibus Law saat ini laksana sosok selebriti yang gerak-geriknya menjadi pusat perhatian dan perlu dikritisi. Pro dan kontra terus bergulir di tengah masyarakat dan politisi.
ADVERTISEMENT
Omnibus Law sebenarnya adalah Undang-undang lintas sektoral, kata orang sih Undang-undang Sapu jagad. Puluhan Undang-undang dijadikan dalam satu produk. Sehingga bisa dikatakan bahwa "sang selebriti" ini merupakan payung hukum yang mengatur aktivitas bernegara dan bermasyarakat dalam satu produk regulasi. Di masa krisis akibat pandemi, pembahasan Omnibus Law terkesan dikebut. Harapan pemerintah adalah untuk membawa angin segar bagi dunia bisnis dan investasi sehingga negeri ini tidak terjebak dalam resesi. Namun ada beberapa pasal yang dianggap perlu mendapat perhatian untuk diperbaiki.
Sebagaimana hidup berbangsa dan bermasyarakat, saya rasa pro dan kontra itu wajar, kritik, saran, pujian adalah suatu keniscayaan. Bukankah tujuan akhirnya adalah untuk kebaikan bagi bangsa dan negara. Saya mengamati, pihak yang mendukung, adalah mereka memandang Omnibus Law ini sebagai payung hukum yang konsisten melindungi dan mengembangkan UMKM dan Koperasi. Terlebih lagi, Omnibus Law diyakini sebagai cara memangkas birokrasi yang tujuan akhirnya diharapkan bisa menekan tindak pidana korupsi. Kontra muncul karena keberatan terhadap beberapa pasal pada UU Cipta Lapangan Kerja, terutama berkaitan dengan hubungan buruh dan pengusaha. Pasal-pasal tersebut dianggap merugikan pihak buruh. Maka demonstrasi dipilih pihak buruh sebagai langkah menyalurkan aspirasi dan suara hati.
sumber foto: pixabay
Meski sebagian masyarakat memandang kesal kepada kerumunan orang berdemo karena dianggap merugikan para pengguna jalan, saya bukan orang yang terlalu antipati terhadap demonstrasi. Toh masyarakat punya hak mengeluarkan pendapat, dan demonstrasi adalah salah satu cara warga negara mendapatkan haknya dalam bersuara. Tetapi, demonstrasi di tengah pandemi..bagi saya yang kok ngeri...pandemi ini belum berakhir, kurvanya masih nggak jelas kapan turun sebagai pertanda virus bisa dikendalikan.
ADVERTISEMENT
Masih ingat kan klaster-klaster penularan virus corona itu bersumber pada kerumunan massa. Di pasar, hipermarket, sekolah berasrama, bahkan rumah ibadah. Dan kalau sedang berdemonstrasi, lazimnya tak hanya mengumpulkan puluhan orang. Tetapi ribuan, bahkan mungkin puluhan ribu. Nggak ada ceritanya demo sambil jaga jarak toh? . Daan ..demo sambil mengenakan masker dan APD lengkap? Duh mustahil banget.
“Tapi saya yakin nggak bakal tertular, saya ngga merasa gejala apapun kok” mmmh duuh gimana . Sementara carrier virus bisa terjadi pada siapa saja. Jangan lupa di rumah para pendemo tengah menunggu ayah, ibu mereka yang berusia lanjut, anak yang masih balita, atau istri yang tengah hamil …dan mereka semua rentan tertular virus yang berbahaya ini. Tapi saya jomblo, tinggal di kost-an....ya salaam...teman-teman kost bisa terancam
ADVERTISEMENT
"Tetapi kan nasib harus diperjuangkan?"
Well ..Baiklah...saya merenung sejenak. Adakah cara lain menyuarakan aspirasi selain demonstrasi? Lalu kepikirlah langkah-langkah berikut ini. Berharap bisa dipertimbangkan sebagai alternatif dalam berpendapat selain berdemonstrasi:
1. Dengar pendapat
Saya awam di dunia politik. Tetapi dalam pikiran saya, jika ada rapat kerja antara legislatif dan pemerintah yang dikondisikan seperti acara dengar pendapat, kira-kira apakah tidak ada acara dengar pendapat antara legislatif yang notabene adalah wakil rakyat dengan perwakilan masyarakat? Bukankah para senator di gedung DPR dipilih oleh rakyat melalui Pemilihan Umum, sewajarnya mereka juga bersiap mendengarkan aspirasi masyarakat berkaitan dengan aktivitas berbangsa dan bernegara. Saya membayangkan perwakilan masyarakat, dalam hal ini pihak yang terkait dengan peraturan-peraturan dalam Omnibus Law bisa memberikan saran dan masukan yang memberikan win-win solution.
ADVERTISEMENT
2. Berjuang melalui akun media sosial dan dunia maya
Berjuang menyuarakan aspirasi bisa menggunakan media-media sosial. Pengamatan saya sih yang viral di media sosial bisa menjadi bahan berita di media massa. Kira-kira bisa nggak ya koordinasi dengan sesama penggiat medsos untuk mengupayakan trending topic . Tulis narasi yang memuat keberatan terhadap pasal tertentu, mention akun politisi dan wakil rakyat, tujuannya untuk menyuarakan aspirasi agar didengar dan diperhatikan. Buat petisi online agar pemerintah merevisi pasal-pasal RUU yang dianggap berat sebelah atau legislatif memberikan catatan perbaikan. Jangan sepelekan kekuatan netizen, sebab terbukti beberapa kali kekuatan netizen yang bersatu berhasil membuat perubahan menuju kebaikan di tengah hidup bermasyarakat
3. Melakukan gugatan melalui pengadilan
ADVERTISEMENT
Saya baca di sebuah artikel, warga negara punya hak dalam menggugat proses penyusunan RUU. Misalnya, menggugat melalui jalur Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Penggugatan ini bersifat memantau proses administrasinya. Misalnya mencermati proses dikirimkannya surat presiden ke DPR sebagai pengantar draf RUU. Jika ada cacat administrasi, proses pembahasan RUU menjadi UU ini bisa cacat di mata hukum dan tidak bisa dilanjutkan.
4. Melapor ke Ombudsman
Ombudsman adalah lembaga negara yang memiliki kewenangan mengawasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan maupun BUMN/BUMD. Jadi, kalau ada celah mal administrasi, sama seperti pada poin no.3, pembahasan RUU tidak bisa dilanjutkan lagi.
5. Bersiap mengajukan Judicial Review
Pada 14 Agustus 2020, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mewakili pemerintah, mengklaim bahwa penyelesaian pembahasan RUU Cipta Kerja Omnibus Law telah mencapai 75 persen. Sementara itu aAnggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno, menyatakan bahwa pembahasan RUU Omnibus Law diperkirakan akan selesai pada akhir September. Maka, saya pikir pihak-pihak yang keberatan dengan beberapa pasal di Omnibus Law harus bersiap dengan “kemungkinan terburuk” bahwa RUU ini disahkan menjadi UU. Andai terjadi demikian, sebaiknya pihak buruh sudah mulai menyiapkan Judicial Review melalui Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Persiapan mengajukan Judicial Review butuh waktu dan strategi. Jadi rasanya pihak buruh harus melakukan konsolidasi, menyiapkan berbagai dokumen pendukung, serta keterangan dari para ahli dan saksi.
sumber: pixabay
Saya bukan ahli di dunia hukum atau penggiat media sosial yang paham bagaimana meraih perhatian netizen dalam jumlah yang luar biasa agar bisa membuat perubahan pada pembahasan RUU yang dianggap merugikan salah satu pihak. Tetapi saya yakin dan berharap, demonstrasi bukan satu-satunya jalan ninja untuk menyuarakan aspirasi demi memperjuangkan cita-cita. Terlebih, saya berharap pemerintah dan legislatif juga bersedia mendengarkan keluh kesah masyarakat yang terdampak langsung dengan pasal-pasal pada Omnibus Law. Sedangkan masyarakat, dan juga pihak buruh juga hendaknya tidak tergesa menolak mentah-mentah Omnibus Law, sebab ada pasal-pasal yang berpihak pada UMKM dan Koperasi. Juga perlindungan terhadap peternak dan nelayan. Sebagai emak-emak, rasanya saya pengen ngomong pada seluruh pihak terkait "bisa nggak sih, kita bicara baik-baik, duduk bersama demi kepentingan bangsa dan negara"
ADVERTISEMENT
Sumber:
Kompas
Gresnews
Hukumonline