Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Melacak Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Indonesia
23 Februari 2023 14:25 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Dwi Ardiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Data dari Komnas Perempuan pada tahun 2015-2021 menunjukkan bahwa perguruan tinggi menjadi jenjang penyumbang angka kekerasan seksual tertinggi dengan 35 kasus dari total 67 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Rata-rata korban berjenis kelamin perempuan dan rata rata pelaku yang terlibat merupakan tenaga pendidik dan kependidikan.
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual ternyata menjadi salah satu momok bagi kampus dan cenderung pihak kampus menyatakan bahwa kasus semacam ini sangat sulit dilacak keberadaanya, Namun hal ini tidak mengubah kewajiban bagi kampus untuk menjamin lingkungan pendidikan yang aman, nyaman dan kondusif bagi pembelajaran. Dalam tulisan ini penulis akan mengulas langkah panjang pengentasan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi Indonesia.
Beleid Baru sebagai Upaya Tekan Kekerasan Seksual
Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemdikbud Ristek, Rusprita Putri Utami menyampaikan bahwa bersama dengan berjalannya Permendikbud saat ini, Kemdikbud berkomitmen untuk mencegah dan menangani banyaknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi dengan berkolaborasi bersama banyak pihak yang ada. Jika dibaca dengan saksama, Permendikbud 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) berisi 58 pasal yang di antaranya berisi definisi kekerasan seksual, bentuk bentuk perilaku, langkah pencegahan, sanksi bagi pelaku hingga upaya pemulihan korban.
ADVERTISEMENT
Permendikbud ini dinilai sudah cukup lengkap dan dapat diterapkan di perguruan tinggi di indonesia. Upaya kolaborasi yang diwacanakan pun bukan hanya perguruan tinggi sebagai pelaksana peraturan menteri namun juga perguruan tinggi diikat dengan beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan. Contoh dari beberapa kewajiban tersebut adalah dibentuknya Satuan Tugas PPKS yang bertugas dalam menegakkan peraturan menteri tersebut di lapangan.
Menariknya adalah komposisi satuan tugas PPKS terdiri dari dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa. Juga diatur bahwa 2/3 dari satgas harus berjenis kelamin perempuan. Hal ini tidak mengherankan karena sebagian besar korban kekerasan seksual merupakan perempuan.
Banyak Kampus Masih Abai
Peran kampus melalui Permendikbud nomor 30 tahun 2021 dijelaskan secara komprehensif dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, mulai dari fungsi edukasi, pendampingan hukum, pemulihan korban sampai dengan perannya dalam pengusulan rekomendasi sanksi. Namun secara instrumen peran lainnya, sebenarnya ada kewajiban yang tidak boleh dilupakan oleh kampus dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yaitu pembentukan satuan tugas dan regulasi yang relevan dengan misi pemberantasan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Saya melihat kampus masih belum menyadari sepenuhnya tentang urgensi pembentukan satgas PPKS dan regulasi yang sesuai. Bahkan di lapangan ditemukan kampus baru mengimplementasikan kedua hal tersebut setelah ada kasus yang viral di media sosial.
Seolah sesuai dengan kondisi terkini, survei yang dilakukan oleh BEM Nusantara (2022) terkait implementasi Permendikbud 30 tahun 2021 menunjukkan 1 dari 3 sampel menyatakan pernah terjadi kasus kekerasan seksual di lingkungan kampusnya dan sebanyak 77 persen dari 26 kampus pengisi survei masih belum memiliki satuan tugas PPKS.
Hasil temuan tersebut seolah-olah masih jauh dari harapan pemerintah yang tertuang dalam Permendikbud pasal 56 poin 2 yang berbunyi "Perguruan Tinggi yang belum memiliki Satuan Tugas harus membentuk Satuan Tugas berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri ini paling lama 1 (satu) tahun."
ADVERTISEMENT
Dalam upaya optimalisasi peran kampus dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, Kemdikbud seharusnya melakukan monitoring implementasi peraturan menteri ini di lapangan. Sehingga bagi kampus yang tidak adaptif dan tidak mau terlibat dalam penanganan KS satu tahun setelah permendikbud disahkan dapat dikenakan sanksi sebagaimana pasal 55 yaitu teguran tertulis bahkan penghentian pimpinan kampus dari jabatannya.