Konten dari Pengguna

Mau Belajar Menjadi Pendengar yang Baik? Bekerjalah Sebagai Petugas Call Center

Dwi Handriyani
Pranata Humas Ahli Muda di Kementerian Kesehatan. Suka berwisata kuliner. Gemar mengamati dan berinteraksi di lingkungan sekitar.
11 Agustus 2021 15:37 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dwi Handriyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto meja supervisor call center. Foto: Pavel Danilyuk, pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto meja supervisor call center. Foto: Pavel Danilyuk, pexels.com
ADVERTISEMENT
Di era pandemi COVID-19, layanan informasi dan pengaduan di instansi saya bekerja sangat laris-manis diakses oleh masyarakat. Memonitori, menyemangati, hingga saling berbagi informasi dengan 10 petugas informasi dari salah satu contact center (telepon, SMS, WA, surel, datang langsung) di bidang kesehatan menjadi pekerjaan saya sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari yang lalu, Martin, salah satu petugas informasi menghubungi saya. "Mbak, saya mau bertanya terkait vaksinasi Covid ini di bawah naungan siapa ya, mba? Baru saja, ada penelepon yang mengamuk soal sertifikat vaksin," tanya Martin, seorang petugas call center di kantor kepada saya melalui WA. "Bukan kita lah. Tapi, call center tetangga sebelah. Karena mereka yang bisa mengakses sistemnya," jawabku.
"Iya, orangnya mengamuk, mbak. Bahasanya sampai di luar dugaan. Dia tidak menerima kondisi ini, sampai meminta nomor telepon atasan kita. Karena menurutnya layanan ini penuh kebohongan, cuma untuk menipu publik," ungkap Martin. "Ya, mau bagaimana lagi. Sepertinya call center sebelah itu sedang over load melayani pelanggan," jawabku singkat.
Lanjutku di dalam percakapan di-WA, "Akhirnya, kita cuma bisa menjelaskan bahwa tempat kita tidak diberikan kapasitas dan kewenangan untuk mengubah sistem vaksinasi COVID-19. Dan, tugasnya sementara hanya bisa menampung dulu dengan menginformasikan seperti itu."
Ilustrasi foto petugas call center sedang melayani pelanggan. Foto: Halo Kemenkes
24 jam/7 hari, tak kenal waktu, tak kenal lelah, bahkan tak kenal susah, dengan pembagian waktu kerja menjadi 3 shift, para petugas harus stand by melayani kebutuhan informasi, saran, dan pengaduan masyarakat. Khususnya, bagi agen yang bertugas melalui telepon harus bersiap menerima telepon tidak boleh lebih dari dering ketiga.
ADVERTISEMENT
Perasaan suntuk, sedih, ataupun terlalu gembira tidak boleh diperlihatkan saat operator call center sudah mengangkat telepon dan mengucapkan salam. Dengan intonasi suara yang jelas dan tegas, namun hangat dan lembut saat menerima penelepon dan siap menyediakan kebutuhan informasi, menampung saran, dan menindaklanjuti keluhan/pengaduan.
Tak jarang pula, petugas informasi harus menegarkan hatinya, saat menerima keluhan masyarakat yang kesulitan mencari RS, obat-obatan untuk perawatan isolasi mandiri di rumah selama masa wabah Corona ini, hingga persoalan vaksinasi COVID-19.
Belum lagi, mendengar cemoohan, sumpah-serapah para penelepon jika layanan call center belum bisa memenuhi kebutuhan pengaduan karena di luar kapasitas dan kewenangan layanannya.
Tak terbayang rasanya, jika saya yang langsung berhadapan dengan masyarakat yang resah dan haus informasi itu melalui telepon. Service level agreement bukan sekadar angka kesepakatan capaian layanan, tetapi bagaimana keseimbangan antara kecepatan dan jumlah SDM yang berbanding lurus dengan ketersediaan informasi dan solusi yang diberikan.
ADVERTISEMENT
Pelanggan adalah Raja. Monitoring-evaluasi dan perawatan yang berkesinambungan, baik dari sisi sistem IT, sarana-prasarana, SDM, dukungan pimpinan, dan otorisasi pemecahan masalah merupakan amunisi untuk mencapai target kepuasan masyarakat yang optimal.
Namun, perlu diingat para petugas call center bukan semata-mata harus bisa bekerja dengan baik dan mencapai target pelayanan, tetapi juga kebijakan instansi/organisasi yang mumpuni untuk bisa menjaga kesehatan jiwa dan pendengaran SDM call centernya.
Risiko kerusakan pendengaran dengan berjam-jam telinga menggunakan headphone/earphone untuk mendengarkan segala keluh kesah dan kebutuhan informasi dari para penelepon.
Menurut Dr. dr. Fikri Mirza Putranto, Sp.THT-KL(K) dari PP PERHATI-KL (Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis THT Bedah Kepala Leher Indonesia) penggunaan earphone in ear dapat langsung menggetarkan gendang telinga secara langsung, apabila volume berlebihan dan dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan kerusakan pendengaran secara permanen.
ADVERTISEMENT
Namun, jika sudah telanjur, dapat lakukan sejumlah upaya penanganan. "Pertama batasi pemakaian, 60 persen 60 menit. Kalau Anda butuh lebih, istirahatkan dulu," ujar Dr. Mirza. Lebih lanjut, Dr. Mirza menjelaskan bahwa telinga kita butuh waktu untuk beristirahat atau sebagai recovery.
Sedangkan, jika Anda pekerja profesional yang setiap hari mengharuskan Anda menggunakan earphone dalam jangka waktu yang lama, ada cara lain."Pakai earphone yang mempunyai noise cancellation. Dengan begitu Anda tidak perlu menaikkan volume suara meskipun suasana di luar besar," paparnya (Sumber: suara.com).
Coba pikirkan, mereka sudah menggunakan earphone berjam-jam, lalu dicomplaint setiap hari, tetapi harus selalu bersabar melayani pelanggan.
ADVERTISEMENT
Dan, bagi para petugas call center segera berkonsultasi ke dokter keluarga atau dokter ahli THT-KL apabila mengalami keluhan yang berkaitan dengan telinga seperti nyeri pada telinga, keluar cairan, telinga terasa penuh, sering berdenging pada telinga, pendengaran berkurang, atau pusing berputar.
Mengapa para operator call center juga perlu rutin dicek kesehatan jiwanya? Karena mereka kerap kali menerima penelepon yang mengeluh sambil marah-marah, ada pula yang menelepon meratap/menangis, panik agar segera diberikan pertolongan.
Kekhawatiran dengan pekerjaan sehari-hari akan berdampak kepada permasalahan kesehatan jiwa masing-masing petugas tersebut. Masih teringat dalam pikiran saya, bagaimana aktor (alm) Toro Margens memerlukan terapi kejiwaan akibat sering memerankan tokoh antagonis dan berdampak pada perilaku kesehariannya.
Hal itu, juga dirasakan para agen call center di instansi tempat saya bekerja. Dalam sebulannya, mereka menangani 50% pengaduan, 30% permohonan informasi, dan 20% saran/masukan publik. Tingginya pengaduan yang harus dilayani tak ayal, para agen menjadi lebih baperan, perasaan semakin moody dalam keseharian.
ADVERTISEMENT
Apalagi jika ditekan publik untuk memberikan jalan keluar, namun di luar kapasitas dan kewenangan unit kerja pengelola call center. Dan, memang sepertinya terapi kejiwaan bisa menjadi treatment bagi para petugas tersebut.