Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Mengulik Transformasi Telemedicine di Indonesia Menuju Metaverse Medicine
6 Januari 2022 15:55 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Dwi Handriyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Awal tahun 2022 pekerjaan rumah penanggulangan COVID-19 masih terus bergulir karena pandemi ini belum berakhir. Berbagai varian coronavirus terus bermutasi, sebagaimana varian baru SARS-CoV-2, B.1.1.529 atau Omicron yang diumumkan WHO sebagai Variant of Concern (VoC) atau varian yang menjadi perhatian pada tanggal 26 November 2021. Meski menurut pakar epidemologi, varian ini tidak mematikan, tetapi tingkat penularannya 500x dari varian delta
ADVERTISEMENT
Berdasarkan update kasus konfirmasi Omicron, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, ada tambahan 92 kasus konfirmasi baru pada 4 Januari 2021. Kini, total kasus Omicron menjadi 254 kasus, terdiri dari 239 kasus dari pelaku perjalanan internasional (imported case) dan 15 kasus transmisi lokal.
Sebagai refleksi bersama terhadap penanggulangan coronavirus yang akan memasuki tahun ketiganya, kita perlu mengingat kembali, bagaimana menyedihkannya kondisi di Indonesia menghadapi tsunami COVID-19 kedua lalu oleh varian delta. Berbagai kebijakan pengendalian Covid ini digelontorkan pemerintah untuk mengatasi segala skenario buruk yang terjadi.
Salah satunya adalah menggandeng sektor swasta, para penyedia layanan telemedicine untuk bergotong-royong menangani para pasien yang menjalani isolasi mandiri (isoman) di rumah, maupun karantina terpusat di pusat isolasi. Hal tersebut dilandasi dengan Keputusan Menteri kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/4829/2021 tentang Pedoman Pelayanan Kesehatan Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Pemanfaatan Layanan Telemedicine
Kita berdoa dan berusaha bahwa Omicron ini tidak akan menimbulkan tsunami Covid yang ketiga seperti yang terjadi pada Juni-Agustus 2021 yang mengakibatkan para pasien bergelimpangan di tenda-tenda perawatan RS dikarenakan over kapasitas. Di sisi lain, pemanfaatan layanan telemedicine menjadi pilihan prioritas bagi para pasien isoman. Melalui layanan ini, dokter bisa mengidentifikasi pasien berdasarkan hasil konsultasi, untuk selanjutnya dilakukan penanganan berdasarkan kondisi pasien.
Tak dipungkiri memang telemedicine menjadi 'primadona’ layanan kesehatan virtual selama pandemi Covid. Berdasarkan data dari BPS, informasi dan komunikasi (infokom) dan kesehatan merupakan dua sektor yang mengalami percepatan digitalisasi paling paling cepat di masa pandemi dilihat secara tahun ke tahun (YoY), di mana infokom tumbuh 10,58% dan kesehatan 11,6%. "Maka dari itu, pengembangan ekosistem kesehatan digital di Indonesia jadi penting untuk mendukung kesehatan yang merata bagi masyarakat, termasuk mempercepat proses vaksinasi nasional," ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Kominfo Mirra Tayyiba dalam konferensi pers virtual peluncuran layanan Good Doctor, Senin (1/3/2021).
ADVERTISEMENT
Kebijakan PPKM membatasi mobilitas penduduk menjadi salah satu alasan para warganet di Indonesia menggunakan berbagai platform layanan telemedicine. Namun, pada situasi pengendalian COVID-19 yang mulai kondusif ini, meskipun ancaman mutasi varian virus corona juga menghantui, terus menuntut dan mendorong masyarakat untuk beraktivitas secara ‘normal’ kembali.
Pasca gelombang kedua COVID-19, data kunjungan pasien secara langsung, khususnya pasien rawat jalan (rajal), mengalami peningkatan di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), seperti puskesmas, klinik, RS, dll. Sebagaimana disampaikan Subkoor. Humas RSUP Fatmawati, Atom Kadam, kepada saya pada September 2021 lalu, bahwa pasien rajal mulai kembali berdatangan berobat ke RSUP Fatmawati pasca gelombang kedua dan pasien Covid hanya segelintir orang.
“Waktu Covid memuncak lalu dan RSUP Fatmwati ditetapkan sebagai RS khusus Covid, poliklinik tetap kami buka. Tetapi, pasien tidak berani ada yang datang, sehingga untuk pasien lama kami fasilitasi telekonsultasi melalui WA dengan para dokter,” ungkap Atom.
ADVERTISEMENT
Kembalinya masyarakat berobat atau memeriksakan diri secara langsung ke berbagai faskes apakah merupakan suatu ‘kemunduran’ dari layanan kesehatan berbasis digital ini? Padahal di masa pandemi COVID-19 mensyaratkan masyarakat agar mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang cepat dan semakin canggih.
Tantangan Tranformasi Metaverse Medicine
Pada 28 Oktober 2021, di tengah skandal surat kabar Facebook, ketika Facebook mengubah namanya menjadi "Meta" dan merilis video di mana CEO Mark Zuckerberg mengatakan, "Saya percaya metaverse adalah bab berikutnya untuk internet." Nama baru ini dirancang untuk mencerminkan fokus di luar platform jejaring sosial Facebook, dan ke dalam metaverse-perpanjangan internet ke dalam ruang virtual reality (VR) tiga dimensi.
Soal metaverse, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku pernah menerima bocoran dari Mark Zuckerberg pada 2016. "Dia bilang, 'Presiden Jokowi, 10-15 tahun lagi akan terlihat seperti kita sedang bermain pingpong. bisa beli lahan virtual, bisa bangun bisnis virtual sendiri, nanti juga ada virtual mall, virtual gym, virtual tourism,'," kata Jokowi saat meresmikan Gerakan Percepatan Generasi Digital di Jakarta, Rabu (15/12).
ADVERTISEMENT
Isu metaverse juga turut dibahas oleh para pakar kesehatan dan medis untuk digitalisasi layanan kesehatan dan medis. Metaverse, konvergensi ruang virtual dan fisik yang dapat mengubah pengobatan. Misalnya, perusahaan perangkat medis menggunakan mixed reality (MR) untuk merakit alat bedah dan merancang ruang operasi, WHO menggunakan augmented reality (AR) dan ponsel cerdas untuk melatih para petugas kesehatan dan medis untuk COVID-19, psikiater menggunakan VR untuk mengobati stres pasca-trauma (PTS) di antara tentara tempur, dan sekolah kedokteran menggunakan VR untuk pelatihan bedah seperti yang ditunjukkan oleh Seoul National University Bundang Hospital (SNUBH).
SNUBH membangun platform metaverse di ruang operasi yang cerdas. Pada tanggal 29 Mei, Asian Society for Cardiovascular and Thoracic Surgery (ASCVTS) memberikan pelatihan operasi kanker paru-paru melalui platform metaverse pada konferensi online. Operasi berlangsung di ruang operasi pintar SNUBH, dan lebih dari 200 ahli bedah toraks Asia menerima pelatihan di lingkungan virtual. Semua peralatan yang mereka butuhkan adalah head-mounted display (HMD) (sumber: koreabiomed.com).
ADVERTISEMENT
Mengutip dari Journal of Virtual Worlds Research Vol. 7, No. 1 (2014), berdasarkan definisi Riva (Riva, 2003), bahwa ada 4 area utama yang dikembangkan pada realitas virtual di dunia medis. Diantaranya 1) komunikasi antar muka: kehadiran dan avatar; 2) pendidikan kedokteran: pelatihan; 3) simulasi bedah: bedah saraf, laparoskopi dan endoskopi, simulator, dll; 4) Terapi: fobia, gangguan stres pascatrauma, rehabilitasi, manajemen klinis dan nyeri.
Di dalam implementasi digitalisasi layanan kesehatan, kecepatan internet seringkali menjadi kendala. Menurut Speedtest, situs penyedia layanan uji koneksi internet di seluruh dunia melaporkan Speedtest Global Index bulan September 2021, bahwa Indonesia menjadi negara terlemot kecepatan internetnya di Asia tenggara. Untuk kecepatan internet mobile download Indonesia rata-rata mencapai 23,12 Mbps dan kecepatan internet fixed broadband download Indonesia hanya rata-rata 27,83 Mbps, beda tipis dengan Kamboja di atasnya.
ADVERTISEMENT
Belum lagi penerapan digitalisasi layanan kesehatan dapat berbenturan dengan berbagai regulasi hukum, seperti klasifikasi alat kesehatan, instrumen penelitian kesehatan, hingga masalah keamanan data dan informasi bagi penyedia layanan dan konsumen. Misalnya, aplikasi kesehatan yang bisa mengukur detak jantung dari smartphone, menurut peraturan Kemenkes, tidak bisa diklasifikasikan sebagai perangkat medis. Pedoman Klasifikasi Alat Kesehatan yang diatur oleh KEmenkes menyebutkan bahwa alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin, perkakas, dan/atau implan, reagen in vitro, dan kalibrator, perangkat lunak, bahan, atau bahan yang digunakan sendiri atau dalam kombinasi, untuk manusia dengan satu.
Saat ini, layanan kesehatan digital semakin populer, artinya diperlukan penggunaan komputasi dan perangkat IT yang lebih luas. Solusi keamanan dapat memantau kontrol atas infrastruktur TI yang kompleks dan memastikan semua perangkat yang memiliki akses ke jaringan perusahaan terlindungi. Oleh karena itu, pengembangan digitalisasi layanan kesehatan dan medis menjadi metaverse medicine memerlukan payung hukum yang kuat dengan dukungan anggaran yang sangat besar, infrastruktur yang memadai, sumber daya manusia yang handal dan kompeten, serta kerjasama public-private partnership berskala internasional.
ADVERTISEMENT