Konten dari Pengguna

Trotoarku, Trotoarmu Juga

13 November 2017 9:52 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dwi Herlambang Ade Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Woy, minggir dikit!"
"Kayak nggak ada kuping aja nih orang pada!"
ADVERTISEMENT
"Susah amat nih orang pada, nggak ngerti apa lagi buru-buru!"
Lengkingan suara pengguna roda dua itu memecah keramaian malam di trotoar Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Para pejalan kaki yang sedang ramai sontak terkejut mendengar kerasnya suara klakson ini. Namun pengendara roda dua itu sekan tak peduli, malah lebih melaju kendaraannya, memisah para pejalan kaki tanpa rasa bersalah.
Hal tersebut merupakan pemandangan yang lumrah di Ibu Kota yang setiap harinya dihiasi hiruk pikuk kendaraan dan pejalan kaki. Asap kendaraan, senandung klakson, raungan suara mesin kendaraan dan pijakan pejalan kaki menjadi potret keseharian Ibu Kota Jakarta.
Sudah menjadi tradisi bagi warga Ibu Kota untuk menempuh jarak dekat dengan berjalan kaki. Namun, semakin ke sini banyak pejalan kaki yang merasa kehilangan haknya untuk tempat yang biasa ia lewati.
ADVERTISEMENT
Trotoar yang seharusnya menjadi lapak khusus para pejalan kaki kini direnggut oleh para pedagang, dan pengendara motor yang semena-mena. Beberapa kalangan mempertanyakan, ke mana hak pejalan kaki? Apakah pejalan kaki sudah tak memiliki tempat lagi untuk berjalan dengan aman?
Mungkin Anda masih ingat, insiden 4 bulan yang lalu, saat para ojek pangkalan beradu mulut dengan Koalisi Pejalan Kaki di trotoar kawasan Kebon Sirih, Gondangdia, Jakarta Pusat? saat itu komunitas tersebut hanya menginginkan supaya trotoar bersih dari PKL dan ojek pengkalan, sehingga pejalan kaki dapat berjalan dengan aman.
Dalam video tersebut terlihat dua pengendara sepeda motor dengan emosi memukul sebuah helm dan berteriak kepada para peserta aksi. Dari hal ini dapat dilihat masalah kecil pun bisa berdampak besar bagi sebagian orang.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya kasus tersebut, kami ingin melihat lebih jauh apa saja masalah yang terjadi antara masyarakat Jakarta dan jalur pedestrian. Kenapa trotoar seolah menjadi lahan serbaguna untuk melakukan segalanya?
Trotoar sejatinya memiliki fungsi utama sebagai fasilitas bagi pejalan kaki. Dengan adanya trotoar, pejalan kaki dapat berjalan dengan leluasa tanpa harus mengganggu kenyamanan lalu lintas karena masyrakat berjalan di badan jalan.
Lalu bagaimana syarat-syarat trotoar yang baik menurut aturan Dinas Pekerjaan Umum?
Pertama, penempatan yang tepat menjadi salah sau syarat trotoar yang baik. Trotoar seharusnya dibangun di kawasan yang memiliki potensi penyebab pejalan kaki, seperti perumahan, sekolah, pusat perkotaan, pusat akses, terminal bus, dan lain sebagainya. Jalur pejalan kaki dapat diatur pada ruas jalan dengan volume pejalan kaki di atas 300 orang per 12 jam, dan volume lalu-lintas di atas 1000 kendaraan per 12 jam. Trotoar dibuat sejajar dengan jalan, namun, jika keadaan topografi tidak bisa sejajar dengan jalan trotoar bisa ditempatkan berdampingan atau sejajar dengan jalur bus.
ADVERTISEMENT
Syarat kedua, trotoar harus memiliki dimensi yang tepat, yaitu area di mana tidak ada gangguan atau benda yang menghalangi. Jalur pejalan kaki disarankan memiliki lebar minimal 2 meter. Ketiga, stuktur dan kemiringan harus sesuai. Trotoar harus diperkeras dengan blok beton, beton, perkerasan aspal, atau plesteran. Permukaan trotoar harus rata dan memiliki kemiringan 2-4%. Kemiringan ini bertujuan agar tidak terjadi genangan air.
Syarat keempat, trotoar haruslah nyaman dan aman. Jalur pedestrian perlu dipasangi tiang pembatas agar kendaraan bermotor tidak bisa menerobos melewati trotoar. Trotoar juga perlu ditanamai pepohonan yang rindang, sehingga menjadi lebih sejuk, teduh, dan pejalan kaki tidak kepanasan.
Untuk mengetahui kelayakan trotoar bagi masyarakat, kumparan (kumparan.com) sempat seharian mengikuti para pejalan kaki di trotoar Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (10/11). Seorang pejalan kaki bernama Sean Fadillah (22), seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jakarta ini menuturkan, bahwa fasilitas trotoar yang disiapkan untuk pejalan kaki masih kurang dari kata baik.
ADVERTISEMENT
Dari pantauan kumparan di lapangan, tampak kondisi trotoar di Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan, di beberapa bagian terlihat tak rata. Ada pohon yang menghalangi jalan dan dibeberapa sudut trotoar terlihat ada lubang-lubang besar yang terbuka, entah karena galian kabel, atau karena trotoarnya sendiri yang sudah rusak. Hal ini menjadi momok bagi pejalan kaki, karena untuk berjalan di trotoar saja, begitu banyak tantangannya.
“Kalau yang selama ini saya rasain sebenernya masih kurang ya. Kayak yang sekarang kita lewatin aja misalnya. Banyak batu yang keangkat dan tidak rata. Kalau begini kan bahaya juga bisa saja kita tersandung nantinya,” kata Sean.
Berjalan kaki di atas trotoar sepanjang kurang lebih 500 meter itu menjadi menarik saat ada satu pohon yang menghalangi jalur di tengahnya. Bagaimana tidak? pohon tersebut berada tepat di pinggir kali dan sangat membahayakan bagi pejalan kaki yang lewat. Pejalan kaki yang ingin lewat harus menundukkan kepalanya dan memiringkan badannya untuk lewat.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya untuk pohon dan pot-pot bunga gini ada plus minusnya sih. Kalau sisi positifnya, ini (pohon) sebagai perlindungan kita juga saat panas terik dan hujan sebagai pejalan kaki. Kalau negatifnya, ada beberapa pohon besar yang mengganggu jalan. Nah, kayak ini misalnya, (menunjuk pohon yang menghalangi jalan). Kan ini (pohon) malang (menghalangi) jalan kita ya, udah gitu sebelahnya kali kalau kita enggak hati-hati, bisa saja kita kecebur,” kata Sean.
Pendapat yang serupa juga dilontarkan oleh Dwi Purwanto (23). Pria yang bekerja sebagai konsultan jasa di salah satu perusahaan ini mau berbagi cerita tentang hal-hal yang ia dapati selama berjalan kaki di jalur pedestrian. Menurutnya, di sepanjang trotoar Jalan Raya Pasar Minggu, ada beberapa faktor yang menjadi halangan bagi pejalan kaki untuk berjalan di trotoar.
ADVERTISEMENT
Pertama, ada perbaikan di beberapa bagian jalan, hal itu menyebabkan trotoar bagi pejalan kaki sedikit terganggu. Kedua adalah pohon yang besar dan memakan sebagian jalan dari trotoar itu sendiri.
“Kalau kondisi trotoar sering terjadi perbaikan atau pekerjaan dari pemerintah. Sedikit terganggu sih,” katanya.
Pria yang akrab disapa Dwi ini, menilai fungsi dari trotoar di Jakarta belum maksimal digunakan oleh pejalan kaki. Hal ini cukup beralasan karena masih banyak pedagang dan pengendara roda dua yang memasuki trotoar. Hal ini sangat mengganggu kenyaman pejalan kaki.
“Bagi pedagang dan pengendara motor khususnya bisa menghargai pejalan kaki. Coba pikir lah kalau trotoar difungsikan oleh pemerintah buat pejalan kaki. Mau alasan untuk mencari rezeki kan sudah ada tempatnya masing-masing,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Semrawutnya trotoar diperparah saat jam-jam sibuk misalnya di pagi hari atau sore hari saat jam pulang kerja. Kumparan berhasil berbincang dengan Adila Safitri (20), pejalan kaki yang pernah merasakan terampasnya hak pejalan kaki di atas trotoar. Menurutnya, trotoar yang berada di kawasan Jalan Raya Pasar Minggu sudah baik karena sudah ada beberapa kali perbaikan.
Adila, sapaan akrabnya menceritakan pengalaman pahitnya saat berada di atas trotoar. "Untuk kenyamanan kadang terganggu, apalagi kalau jam sibuk kan pasti macet ya, pengendara roda dua kadang-kadang seenaknya naik ke atas trotoar. Udah gitu ngelakson lagi kan aneh siapa yang salah siapa yang di omelin,” kata Adila sembari berkelakar.
Namun menurutnya, saat itu dia tidak bisa berbuat banyak dan hanya bisa mengalah dan menepi. Ia juga berharap agar pengendara motor dan PKL menghargai hak pejalan kaki.
ADVERTISEMENT
“Buat pengendara roda dua dan pedagang ya coba dong kalian rasain jadi pejalan kaki yang haknya diambil. Kita kan punya tempat masing-masing,” katanya.
Lalu bagaimana dengan 'pemilik' jalur pedestrian lainnya? Ya, kumparan juga sedikit berbincang kepada para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang masih saja berjualan di atas trotoar.
Kumparan berbincang dengan salah satu Pedagang Kaki Lima (PKL), yang berjualan di trotoar Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan, namanya Sumi (50), seorang penjual buah. Diakuinya, alasan ia berjualan buah di atas trotoar karena baginya trotoar adalah tempat yang sangat strategis untuk dilalui pembeli, terutama masyarakat yang keluar ataupun masuk stasiun. Wanita asal Pemalang itu mengaku sudah belasan tahun berjualan di trotoar.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak pernah sekalipun ia tertangkap oleh petugas Satpol PP. Ia menggelar dagangannya pada siang hingga sore hari. Tak hanya Sumi yang berjualan di atas trotoar, ada juga Tiko (30), tukang jasa ganti jok motor. Tarif kontrak ruko yang mahal adalah alasan kenapa dia terpaksa melanggar peraturan.
*Bayar uang 'administrasi' demi bisa berjualan di trotoar*
Angin malam yang merebak menusuk tulang menjadi teman Saripin (50), selama 17 tahun belakangan. Tukang tambal ban di kawasan Cikini Raya tersebut,bertahan hidup di tengah kerasnya Ibu Kota, dengan mencari nafkah di atas trotoar.
"Waktu tahun 2000 itu, di sini masih sangat sepi yang buka lapak, tapi sekarang sudah banyak. Tuh, ada yang jualan martabak baru tahun kemarin," sebut Saripin seraya meneguk segelas kopi.
ADVERTISEMENT
Pria asal Kuningan, Jawa Barat ini sejak hijrah ke Jakarta rela melakoni berbagai macam pekerjaaan. Namun apa daya, pria yang hanya memiliki ijazah SD tersebut hanya mampu membuka sebuah lapak untuk tambal ban, belum ada perusahaan yang mau menerimanya.
Bapak beranak tiga ini kadang merasa tak enak karena pejalan kaki yang melintas di trotoar tempat dirinya menawarkan jasa tambal ban harus meminta izin terlebih dahulu. Ucapan 'misi pak', 'maaf mengganggu', 'punten pak', kata itulah yang sering didengarnya.
Namun dirinya merasa tak terganggu dengan kata tersebut, sudah 17 tahun lalu kata tersebut ia dengarkan, sehingga dirinya sudah tidak mengubris lagi ucapan tersebut.
"Terkadang saya juga merasa tidak enak dengan pejalan kaki, tapi mau bagaimana lagi, udah di sini tempat saya mencarikan nafkah buat keluarga buat buka lapak tambal ban," sebut Saripin.
ADVERTISEMENT
Dirinya mengakui, awalnya buka lapak di sini memang harus bayar ke preman setempat, pada awal di tahun 2000 lalu. Seingatnya dirinya harus bayar Rp 300 ribu rupiah, dan itu harus dibayar di awal untuk mendapatkan lapak yang kini menjadi tempatnya mengais rezeki.
Selain uang muka yang harus dibayarkan ke preman, ia juga harus membayarkan iuran harian kepada pihak keamanan setempat, setoran itu berlaku dari awal dibukanya tambal ban hingga kini.
"Kalau sekarang mereka yang minta biaya keamanan juga udah ngerti dengan kita, kadang buat makan aja enggak cukup, ya kita bilang aja belum ada yang tambal ban ini, mereka juga udah ngerti dengan kita," kata dia.
Dirinya paham, pekerjaannya mencari nafkah di trotoar mengganggu pejalan kaki, kadang dia pun suka merasa berdosa karena telah merenggut hak pedestrian. Tapi lagi-lagi, kurangnya pilihan untuk mencari pekerjaan hidup lain menjadi alasan Saripin untuk melanggar aturan tersebut.
ADVERTISEMENT
"Memang salah, tapi apa mungkin tukang tambal ban harus di relokasikan ke Pasar Cikini? siapa yang mau tambal ban ? jika memang mengganggu saya minta maaf, tapi apa daya, saya hanya berijazakan SD untuk mencari nafkah di jalan yang halal ini," ujarnya dengan raut wajah sedih.
Dirinya juga bersedia harus dipindahkan ke tempat yang tidak mengganggu pejalan kaki di atas trotoar jalan. Namun harus tetap di pinggir jalan, karena tambal ban ini bersifat darurat bagi yang bocor ban dan kempes ban saja, dan tak selalu dibutuhkan.
"Saya siap dipindahkan ke tempat yang lebih bagus, namun harus ke samping jalan juga. Memang ada orang tiap hari tambal ban, kagak juga kan ? ini kan hanya kebutuhan mendesak saja, misalnya seperti kempes ban, trus lagi bocor ban, dan itu sifatnya hanya butuh saat mendesak para pengguna roda dua saja, bukan setiap harinya," sebutnya.
ADVERTISEMENT
Bila Saripin mengaku menyesal, pendapat yang berbeda disampaikan oleh seorang penambal ban di kawasan Karet, Setiabudi. Pria yang sudah menjadi penambal ban sejak 1987 tersebut sudah bekerja jauh sebelum adanya trotoar di kawasan tersebut. Dia mengaku, tak ada pejalan kaki yang terganggu dengan usahanya.
“Selama saya buka lapak di sini belum ada yang ngeluh dengan adanya lapak tambal ban. Malahan sangat membantu bagi pengguna roda dua dan roda empat, jadi kok malah saya yang salah,” sebutnya.
Namun dirinya kadang suka mengeluh, karena harus menyetor biaya 'administrasi; ke pihak RT dan kelurahan Rp 5 ribu perharinya.
"Itu karena kita menggunakan lahan pemerintah (di atas trotoar)," akunya.
Menurutnya, selama ini setiap ada pedagang yang ingin berjualan harus setor ke pihak RT atau kelurahan untuk mendapatkan izin agar dapat berjualan di trotoar jalan. Berjualan pun diberlakukan aturan, hanya diperbolehkan membuka sejak pukul 17.00 WIB hingga pukul 05.00 WIB.
ADVERTISEMENT
“Iya mungkin saja itu uang tambahan buat orang kecamatan atau kelurahan, saya tidak bisa jawab untuk apa kepastiannya. Jadi setiap pedagang hanya kasih sesuai dengan aturan di kelurahan untuk berdagang di sini,” sebutnya.
Jika trotoar nyaman untuk berjalan kaki, tentu bukan hal yang mustahil bila nantinya banyak orang yang senang berjalan kaki untuk menempuh perjalanan dekat, dibandingkan harus bergelut dengan kemacetan di jalanan. Trotoar yang nyaman dan aman juga merupakan salah satu solusi untuk mengurangi kemacetan di Jakarta.
Masyarakat Jakarta khususnya para pejalan kaki, sangat berharap agar haknya dikembalikan sebagaimana mestinya. Bagi sejumlah oknum yang saat ini masih melanggar hak pejalan kaki dengan menerobos trotoar atau berjualan di atasnya untuk segera sadar, bahwa trotoar merupakan milik pejalan kaki.
ADVERTISEMENT
Karena sejatinya, trotoarku adalah trotoarmu juga.
Dofa Aliza | Dwi Herlambang | Eka Nurjanah