Konten dari Pengguna

Laki - Laki Boleh Menangis

DWI NISRINA ZAM ZAM FIRDAUSY
Mahasiswa Universitas Jember - Freelancer Content Writer
11 Juni 2024 9:37 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari DWI NISRINA ZAM ZAM FIRDAUSY tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber gambar : Microsoft Bing
zoom-in-whitePerbesar
sumber gambar : Microsoft Bing
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
SejakSejak usia dini, banyak anak laki-laki diajarkan untuk menahan emosinya dan tidak menunjukkan kelemahan. Stigma bahwa laki-laki tidak boleh menangis telah mengakar dalam budaya kita, menciptakan beban emosional yang berat bagi banyak pria. Mereka diajarkan bahwa menangis adalah tanda kelemahan dan bahwa pria sejati harus selalu kuat dan tangguh. Akibatnya, banyak pria tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka harus selalu menyembunyikan perasaan mereka, yang pada akhirnya bisa berdampak buruk pada kesehatan mental mereka. Seiring bertambahnya usia, beban ini semakin berat. Laki-laki diharapkan untuk menjadi penopang utama keluarga, baik secara finansial maupun emosional. Tuntutan ini sering kali membuat mereka merasa tertekan dan terbebani. Namun, karena stigma yang melekat, mereka merasa harus menyembunyikan perasaan stres dan kecemasan mereka. Alih-alih mencari bantuan atau berbicara tentang masalah mereka, banyak pria memilih untuk memendam perasaan tersebut, yang bisa menyebabkan masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan semakin parah. Selain dampak pada kesehatan mental, stigma ini juga mempengaruhi hubungan interpersonal pria. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi secara terbuka dapat menghalangi komunikasi yang sehat dan jujur dengan pasangan, keluarga, dan teman. Pria yang merasa tidak dapat menunjukkan kelemahan mereka mungkin mengalami kesulitan dalam membangun dan mempertahankan hubungan yang dekat dan mendalam. Mereka mungkin tampak kuat di luar, tetapi di dalam, mereka bisa merasa kesepian dan terisolasi karena ketidakmampuan untuk berbagi perasaan mereka yang sebenarnya. Namun, perlahan-lahan, ada perubahan dalam persepsi masyarakat mengenai emosi pria. Kampanye kesadaran kesehatan mental dan cerita-cerita pribadi dari tokoh publik telah membantu mengubah pandangan bahwa menangis adalah tanda kelemahan. Banyak pria mulai merasa lebih nyaman untuk menunjukkan emosi mereka dan mencari dukungan saat mereka membutuhkannya. Ini adalah langkah positif menuju masyarakat yang lebih empatik dan mendukung, di mana setiap orang, terlepas dari gender, bisa mengekspresikan perasaan mereka tanpa takut dihakimi. Mengatasi stigma ini memerlukan upaya berkelanjutan dari berbagai pihak. Pendidikan tentang pentingnya kesehatan mental dan penerimaan emosi sejak usia dini bisa membantu mengubah persepsi ini. Keluarga, sekolah, dan masyarakat harus mendorong anak laki-laki untuk terbuka tentang perasaan mereka dan mencari bantuan ketika mereka membutuhkannya. Dengan mendukung laki-laki untuk mengekspresikan emosi mereka, kita tidak hanya membantu mereka menjadi lebih sehat secara mental, tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan inklusif bagi semua orang.
ADVERTISEMENT