Cerpen : Catatan Anjani

Dwi Sapta Yuniardi
tulisan tanpa papan... facebook: yuniardi27 instagram: yuniardi27
Konten dari Pengguna
23 Maret 2022 17:12 WIB
·
waktu baca 13 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dwi Sapta Yuniardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Panah Asmara

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aku Anjani. Ini adalah catatanku tentang seorang petualang yang tak pernah lelah mengajariku tetang perjuangan, semangat, harapan dan tentu saja cinta. Dia pribadi yang sangat menyenangkan, bahkan terlalu menyenangkan sehingga diminggu pertama aku bersamanya, aku tak lagi merasakan luka. Dia adalah asa.
ADVERTISEMENT
Namanya Rama. Entah sebuah kebetulan atau memang sudah direncanakan Tuhan, Rama harus bertemu Sinta di sebuah pasar tradisional Desa Reco di kaki Gunung Sindoro. Ya, akulah Sinta, orang yang sama dengan Anjani. Rama lebih suka memanggilku Anjani ketimbang Sinta, karena dia bilang, dia khawatir nanti aku diculik Rahwana, sementara senjata yang tersisa darinya hanyalah tinggal panah asmara.
"Panahku tinggal menyisakan satu sasaran lagi dan itu adalah hatimu Anjani."
Begitulah Rama, seseorang yang selalu optimis tapi tetap humoris dibungkus puitis. Aku selalu dibuatnya tertawa, tersenyum, dan berbunga-bunga. Menangis? Pernah juga tapi itu tangis bahagia.

Takdir Tak Berpura-pura

Aku beruntung bertemu Rama. Terima kasih pada Ibu yang menyuruhku membeli sayuran ke pasar. Jadi jangan pernah menolak dan menunda perintah orang tua, karena pasti ada hikmah dibalik itu semua, setidaknya kalian dapat pahala. Dan hari itu Tuhan tidak hanya memberikan aku pahala tapi sekaligus malaikatNya dalam wujud Rama.
ADVERTISEMENT
Aku sedang tidak berlebihan, kalau suatu hari kamu berkesempatan membaca ini, kuharap sayapmu tidak tumbuh ya Ram. Tetaplah jadi Rama yang aku temui di Pasar Desa Reco. Rama yang sedang memilih sawi putih sambil menggendong tas keril berwarna hijau. Rama yang bertanya pada gadis desa pemetik daun tembakau.
"Iki piro mbak?"
Masih terngiang jelas logat jawa yang dibuat-buat diikuti permintaan maafnya saat mengetahui bahwa ternyata aku juga seorang pembeli. Aku hanya membalas dengan senyum. Tapi dia malah mendekat padaku yang berdiri didepan sekeranjang tomat. Hampir kuremas buah merah itu ketika tiba-tiba dia mengenalkan dirinya.
"Aku Rama."
Ya Tuhan, apakah dia sengaja dikirim dari masa depan oleh diriku sendiri yang tak rela melihat aku merana dimasa lalu. Ataukah ini benar-benar malaikat tanpa sayap yang Kau turunkan ke Bumi untuk melipur laraku. Hatiku bergetar dihadapan tumpukan tomat-tomat segar.
ADVERTISEMENT
"Sinta."
Dia tergelak-gelak mendengar balasanku yang singkat. Beberapa pasang mata di pasar itu memandang Rama seperti melihat alien. Tapi tawanya putus seketika saat Budhe Lastri, sang penjual sayur, datang dan menyapaku.
"Ealah Dhek Sinta kapan pulang?"
Rama hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Mungkin saat itu dia mengira aku bercanda waktu kukenalkan diriku sebagai Sinta. Aku masih ingat dia menggaruk rambut ikalnya yang diikat bandana motif batik dengan mimik wajah yang menggelitik. Jujur aku terpesona saat itu. Jangan ge-er ya Ram.
Pertemuan itu terjadi tepat dua minggu setelah aku putus kuliah dan putus cinta. Saat itu aku baru saja pulang kampung ke Reco, sebuah desa di kaki Gunung Sindoro yang masuk dalam wilayah Kabupaten Wonosobo, kembali menjadi gadis desa biasa, mengurus rumah, memetik dan memilah daun tembakau, membantu bapak dan ibu. Aku harus mengalah pada adik laki-lakiku yang juga ingin kuliah. Dia baru saja lulus SMA sementara aku masuk semester tiga. Bapak, hanya sanggup membiayai satu anak, itupun terbantu hasil jual tanah warisan Si Mbah. Sedangkan Ibu berfikir lebih baik aku menikah saja.
ADVERTISEMENT
Aku sangat terpukul, ditambah pacarku di Jogja memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Alasan klasiknya sederhana, dia tak bisa menjalani LDR. Tapi aku tau sebenarnya dia malu punya pacar petani tembakau yang putus kuliah. Aku bersyukur Rama datang. Mungkin dia memang sudah diprogram untuk menjadi cahaya terang diujung terowongan gelap yang sedang aku lewati.
Oh ya, belakangan aku tau dari Rama, pagi itu ternyata dia berpura-pura menanyakan letak Basecamp pendakian Sindoro via Kledung hanya untuk mendapatkan nomer HP ku. Akupun dengan senang hati menawarkan diri untuk mengantarnya sambil berpura-pura kalau rumahku searah dengan jalan menuju Basecamp. Meskipun semuanya diawali kepura-puraan, tapi ternyata takdir tidak pernah berpura-pura. Itu kali pertama aku dibonceng motor oleh Rama, 800 meter yang tak terlupakan, awal dari sebuah keniscayaan yang membawaku menjelajah ribuan kilometer bersamanya. Diatas dua roda. Atas nama cinta.
ADVERTISEMENT

14 Hari Menunggu Cinta

Jarak dari Jogja ke Reco kurang lebih 87 Kilometer atau sekitar 3 jam perjalanan menggunakan motor. Tapi Rama butuh waktu dua minggu untuk datang mengunjungiku. Dia harus kuliah sembari menjalankan usaha Coffe Shop nya di Jogja. 14 hari yang meresahkan untuk sebuah penantian. Selama itu pula, kami sepakat untuk tidak saling kontak agar rindunya semakin berat. Dia akan tiba pada Jumat malam lalu menghabiskan akhir pekan bersamaku.
Rama selalu bercerita dia sangat menikmati keindahan alam yang memagarinya selama perjalanan dari Jogja sampai Reco. Dia sering menggoda bahwa aku bukanlah alasan utama dia datang setiap dua minggu sekali.
"Yang bikin kangen bukan kamu, tapi perjalanannya."
Asal kamu tau Ram, apapun alasanmu, tidak akan pernah mudah bagiku untuk bisa membendung rasa rindu.
ADVERTISEMENT

Cappadocia van Java

Bulan Agustus hingga Oktober adalah musim panen tembakau di desa kami. Rama datang untuk merayakan tiga tahun pertemuan sawi putih dan tomat merah. Kebetulan sekali di desa kami sedang ada festival balon udara untuk menyambut panen raya tembakau. Lagi-lagi semesta menunjukan dukungannya. Puluhan balon raksasa warna-warni menyangga langit desa Reco yang biru cerah. Seperti biasa si cantik Sindoro dan Sumbing yang gagah memastikan semuanya terlihat indah. Kami tak perlu pergi kemana-mana.
"Cappadocia van Java"
Begitu kata Rama menjuliki momen yang sempurna diakhir bulan Juli tahun 2019. Aku sendiri tak mengerti apa maksudnya. Aku hanyalah gadis desa lulusan fakultas sastra semester tiga yang sedang jatuh cinta.
Cerpen Catatan Anjani

Puisi Tomat Merah

Sejak kenal Rama, aku sering menulis apapun tentang dia. Aku pernah mengirim puisi untuk Rama. Kuselipkan di tas ransel hijau andalannya. Puisinya sederhana. Aku harap kamu suka ya Ram.
ADVERTISEMENT
Meski tak segar, kenapa tetap kau petik
Aku mau dengar, apakah aku ini cantik
Jelaskan padaku sawi putih
Kenapa aku yang kamu pilih
Mungkinkah aku ini tomat merah yang beruntung
Yang nyata kau adalah indah tanpa ujung
Terima kasih telah menemukanku
Pokoke I love you.

Tiga Poros Rindu

Tiga tahun belakang ini adalah tahun-tahun terindah dalam hidupku. Terbingkai sempurna oleh keindahan alam yang setia menjadi saksi bisu saat tiga poros rindu bertemu. Ya tiga. Cinta pertama Rama adalah alam. Dia seorang petualang. Aku ikhlas dan sukarela jadi nomer dua. Alam tak pernah cemburu dan akupun berusaha begitu.
Suatu hari kami bersua. Si cantik Sindoro mengintai dibalik cemara, nampak tersenyum merestui dua anak manusia. Sementara itu, Sumbing yang gagah seolah ingin menangkapku saat Rama mengayuh kencang tubuh mungil ini diatas ayunan besi yang menghadap ke arah gunung di pinggiran Embung Kledung. Ikan-ikan disana pun tak pernah iri melihat kami merajut kasih menikmati syahdunya pagi menanti datang matahari. Mereka semua seakan bersabda,
ADVERTISEMENT
"Kau sangat beruntung Anjani."
Puisi Daun Tembakau
Taukah engkau...
Duhai gadis cantik pemetik tembakau
Bayanganmu tak pernah mampu ku halau
Resah ini selalu datang mengacau
Petiklah… petik daun-daun rinduku
Tak perlu kau pilah, karena tak ada yang layu
Tak perlu kau pilih, karena semua warnanya tentangmu
Rama oh Rama. Bagaimana aku tidak berbunga-bunga ketika suatu pagi dia membacakan puisi ini dihamparan ladang tembakau nan hijau. Mungkin dia bermaksud membalas puisiku waktu itu. Suara lantangnya seakan menggema menabrak Sindoro lalu memantul ke arah Sumbing. Aku memeluknya dalam belai semilir angin.
"I love you Ram."

Perjuangan

Sejak pertama datang ke rumahku, Bapak dan Ibu menerima Rama dengan baik. Aku percaya Rama akan dengan mudah diterima oleh orang tua manapun di dunia. Dia sangat sopan, ramah dan rendah hati. Kisah perjuangannya untuk bisa kuliah meyakinkan Bapak dan Ibu bahwa dia adalah seorang lelaki tangguh yang bisa memperjuangkan masa depan.
ADVERTISEMENT
Jika Rama berhasil di kemudian hari, aku yakin ceritanya layak masuk dalam daftar kisah-kisah sukses orang-orang yang memulai semuanya dari nol. Pun jika takdir berkata lain, usaha dan perjuangannya telah menginspirasi banyak orang termasuk aku dan adik laki-lakiku.
Suatu hari Rama pernah mengingatkanku bahwa orang hidup harus punya tujuan untuk diperjuangkan. Aku sadar aku terlalu lemah untuk itu dan aku tak setangguh Rama. Putus kuliah pun aku pasrah. Jadi aku cuma bisa berbisik di telinganya. Lemah.
"Tujuan hidupku adalah kamu. Aku ingin menjadi wanita yang akan mendampingi perjuanganmu."
"Boleh kan Ram?"
Rama tersenyum, matanya menggodaku. Tiba-tiba dia berdiri dan melompat dari rakit bambu yang kami tumpangi di Telaga Menjer. Byurr.
ADVERTISEMENT
"Perjuangkan aku!"
Tanpa pikir panjang aku segera ikut melompat sambil berteriak.
"Aku datang!"
Melihat tingkah polah kami berdua, Pak tua pengayuh rakit bambu itu seperti sedikit menyesali masa mudanya. Aku dan Rama tenggelam dalam telaga cinta.

Semoga alam tidak cemburu

Rama telah mengubahku dari seorang gadis desa pemalu menjadi pribadi yang ceria dan bisa lebih berekspresi secara terbuka. Selain membantu Bapak dan ibu, akhir nya aku bergabung dalam kelompok Tari Topeng Lengger di Sanggar Kebudayaan Desa Reco. Rama menyarankan agar aku punya kegiatan untuk bisa membantuku melewati badai rindu selama 14 hari dalam penantian. Ternyata aku jatuh cinta. Menari bisa membuatku lebih percaya diri dan lebih tenang. Sungguh menyenangkan.
Seminggu sebelum pementasan tari perdanaku untuk menyambut kedatangan Bapak Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng, Rama mengajakku ke dataran tinggi Posong, di Temanggung. Kami berangkat pagi-pagi sekali untuk menyapa jingga yang telah menjadi bagian dari cinta pertama Rama. Posong adalah salah satu tempat terbaik untuk menikmati matahari terbit di Jawa tengah. Sang surya akan mucul dari balik kaki Gunung Sumbing dikawal 4 penjaganya yang setia, Andong, Telomoyo, Merapi dan Merbabu. Sungguh syahdu.
ADVERTISEMENT
Sebagai petualang yang tidak terlalu suka keramaian, Rama membawaku agak keatas menjauh dari spot-spot selfi di tempat wisata itu. Kami seakan mendekati Sindoro dan menghilang di tengah hamparan hijau daun-daun tembakau.
Saat wajahku diterpa rona jingga pertama dari timur, Rama mengeluarkan sesuatu dari tas ranselnya.
"Menarilah untukku"
Sebuah selendang sutra kuning tiba-tiba sudah melingkar di pundakku. Aku kehilangan kata-kata. Rama membungkukkan badan, tangannya mempersilahkan aku menari.
"Aku ingin jadi fans nomer satumu"
Gemuruh angin pagi pegunungan mengiringi tarianku yang awalnya kaku sampai aku merasa bebas dan lepas. Cuma Rama yang bisa membuatku begitu. Dia pun ikut menari mencoba mengimbangi gemulai gerak tanganku.
Kulingkarkan selendang itu dileher Rama, lalu menariknya pelan kearahku. Kecupan pertamaku mendarat hangat dibibirnya yang mulai pucat kedinginan. Semoga kali ini alam benar-benar tidak cemburu. Maafkan aku.
ADVERTISEMENT

Tangis Bahagia

Dipenghujung bulan Desember 2019, aku diajak ke Jogja. Ini pertama kalinya kencan kami tidak melibatkan poros alam. Meski punya banyak kenangan di Jogja tapi saat bersamanya aku amnesia. Aku benar-benar menikmati momenku dengan dia.
Kami berhenti di depan bangunan mirip kampus. Astaga! itu kampus tempat aku kuliah dulu.
"Kamu gak mau kuliah lagi?"
Aku diam seribu bahasa. Rama sudah tahu alasanku berhenti kuliah. Kenapa dia masih bertanya?
"Aku akan membantumu. Masalah biaya nanti aku yang tanggung jawab."
Aku memeluknya erat diatas motor. Sudut mataku seketika gelap. Hujan turun rintik-rintik. Aku menangis bahagia. Malaikatku sebaik ini, seolah mengerti semua tentang inginku.
Terima kasih telah memberiku harapan Ram. Tapi Bapak dan Ibu tak akan pernah setuju. Mereka punya prinsip untuk tidak berhutang budi pada siapapun dengan alasan apapun. Aku tidak jadi melanjutkan kuliah.
ADVERTISEMENT
Malam itu kami menghabiskan waktu di Coffe Shop milik Rama. Namanya sudah pasti Kopi Anjani. Disitulah kami merencanakan pendakian Rinjani di tahun 2020 untuk merayakan anniversary sawi putih dan tomat merah yang keempat. Aku sungguh bersemangat.
***
Segara Anak Gunung Rinjani

Paprika

Plawangan Sembalun pagi itu benar-benar mempesona. Aku termasuk salah satu yang beruntung bisa menapakan jejakku disini, masuk dalam kloter awal pendakian Rinjani paska resmi dibuka kembali dibulan Agustus 2020.
Berada di ketinggian 2700 mdpl, Plawangan Sembalun merupakan pos terakhir. Sekitar satu kilometer di bawah puncak Gunung Rinjani. Aku memang tidak ada rencana muncak karena protocol covid membatasi pendakian hanya untuk 2 hari 1 malam. Jadi lebih baik kusimpan tenaga ini untuk turun nanti.
ADVERTISEMENT
Setelah mata ini puas menikmati pemandangan puncak Rinjani dan segara anak dari atas Plawangan Sembalun, rasanya secangkir kopi akan menjadi penutup yang sempurna. Aku duduk disebuah batang pohong tumbang dan berniat kembali membuka buku cacatan itu. Tapi seseorang mengejutkanku.
"Maaf mbaknya baca apa?"
Cowok berambut ikal yang diikat bandana batik tiba-tiba sudah berdiri dihadapanku. Aku seperti mengenal dia samar-samar tapi entah dimana. Fikirku berkelebat cepat. Tapi kalah cepat dengan Cowok itu. Belum sempat aku menjawab dia melanjutkan kalimatnya.
"Itu buku aku"
Ya Tuhan, ini tidak mungkin. Benakku kembali membolak balik halaman-halaman buku catatan itu. Aku menarik nafas dalam.
"Rama?" tanyaku pelan hampir tak ragu.
Cowok itu mengangguk. Sumpah demi apa, aku lemas. Kuserahkan notebook bercover merah itu padanya. Dibagian sampul belakang buku catatan itu terlihat jelas tulisan tangan artistik berbunyi "You'll Never Walk Alone"
ADVERTISEMENT
Setelah semalam aku membaca kepingan kisah Rama dan Sinta dalam buku itu, ada dorongan kuat diujung lidahku.
"Sinta?"
Rama hanya tersenyum seolah mengerti apa yang aku tanyakan.
"Maksud aku Anjani." lanjut bibirku yang lancang ini.
"Dia di atas" jawab Rama singkat kembali diakhiri dengan senyum.
"Lagi muncak?", Aku makin penasaran. Rama terkekeh sambil menyodorkan notebook itu padaku.
"Sepertinya kamu belum selesai membacanya"
Aku gugup sekaligus hampir ragu menerima buku itu kembali. Memang aku belum tuntas karena aku bacanya secara acak.
"Langsung saja ke halaman terakhir." lanjut Rama saat melihat aku mulai membuka buku catatan itu.
Dear Rama,
Sepertinya sawi putih dan tomat merah tidak akan bisa merayakan anniversary keempatnya di Rinjani. Tapi aku harap, kamu tetap melanjutkan pendakian yang sudah kita rencanakan sejak tahun lalu. Meskipun aku tidak ikut, aku yakin kamu tetap bahagia karena cinta pertamamu akan selalu mengiringi setiap langkah kakimu disana. Kalau terjadi apa-apa denganku kamu jangan sedih ya. Aku sudah berdoa agar kamu dipertemukan dengan tomat merah yang jauh lebih segar dan jauh lebih indah dari aku. Seseorang yang akan kembali melengkapi tiga poros rindu, berpetualang bersamamu. Maaf ya, aku tidak bisa menulis panjang-panjang. Nafasku sesak. Terima kasih Ram, terima kasih untuk semuanya. Aku menikmati setiap detiknya, aku memcintaimu dengan segenap jiwa. Sampai jumpa di puncak Rinjani. Aku duluan ya.
ADVERTISEMENT
Sinta Hanjani
Aku tak bisa menahannya. Pintu air di sudut-sudut mataku jebol. Lagi-lagi dorongan itu muncul. Aku berdiri dari batang pohon tumbang itu dan langsung memeluk Rama. Dia hanya diam. Tidak menyambut pelukku tapi juga tidak menolaknya.
"Maaf aku terbawa suasana."
Aku menarik diriku mundur pelan-pelan. Rama tersenyum lagi. Aku menunduk sambil mengulurkan tanganku.
"Paprika"
Rama tergelak-gelak. Mungkin itulah mimik yang diceritakan Anjani saat pertama dia bertemu Rama di pasar Desa Reco.
"Aku Ramadhan."
Hari itu kami turun gunung bersama. Aku bercerita menemukan notebook itu saat istirahat di pos satu. Aku juga meminta maaf pada Rama karena telah lancang membaca isinya. Rama tidak mempermasalahkannya sama sekali. Dari dia aku tau Anjani telah pergi untuk selamanya. Dua minggu sebelum keberangkatan mereka ke Lombok, Anjani positif Covid-19. Dia hanya bertahan 7 hari diruang isolasi karena ternyata Anjani sebelumnya sudah mengidap Pneumonia.
ADVERTISEMENT
Kami pun bertukar kontak biar bisa terus keep in touch. Oh ya Rama memberikan Catatan Anjani itu padaku. Dia bilang, mungkin memang Anjani telah memilih aku untuk melanjutkan catatannya. Kemarin aku dan Rama bertegur sapa lewat telpon.
"Mungkin kamu pengganti poros rindu itu."
Aku tersipu malu tapi berusaha tetap cool and calm, lalu menggoda Rama.
"Tapi aku maunya jadi poros nomer satu. Alam nomer dua ya Ram"
Jakarta dan Jogja serempak tergelak-gelak.
"Hmm perkoro abot iki. Perjuanganmu akan jauh lebih berat Paprika"