Mukidi dan Cinta Pertama

Dwi Sapta Yuniardi
tulisan tanpa papan... facebook: yuniardi27 instagram: yuniardi27
Konten dari Pengguna
16 Januari 2017 11:27 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dwi Sapta Yuniardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tenang langkah kaki gadis itu melaju diantara meja-meja kelas yang berdebu. Bak radar pesawat tempur yang mengunci sasarannya, mata Mukidi konstan mengikuti gerakan Karsinem dalam super slow motion. Sedari masuk pintu sampai dia duduk manis di singgasananya. Tepat dua bangku di depan Mukidi. Semerbak bedak taburnya yang kuat, bercampur dengan aroma matahari khas anak-anak kelas siang, cukup mampu memicu khayalan Mukidi hingga langit ketujuh. Ohh tapi tidak. Kenyataannya, baru sampai langit ke enam saat bel sekolah berdentang membuyarkan semua lamunan.
ADVERTISEMENT
Suram wajah pak guru benar-benar terobati oleh indah alis lentik Karsinem, yang persis lukisan batik. Hari itu, tepat hari ke enam Mukidi berseragam putih abu-abu. Selama enam hari itu pula dia mengaduk-ngaduk setiap sudut di hatinya untuk menemukan jawaban atas sebuah pertanyaan. Inikah cinta pada pandangan pertama??
“Aku tidak percaya!!”
Lantang suara Mukidi memecah keheningan kelas yang sedang khusuk mendengarkan penjelasan Pak Suwardi soal grafitasi di bulan. Sontak berpuluh pasang bola mata terfokus pada sosok Mukidi. Tidak ketinggalan patung-patung horor yang kerap digunakan dalam pelajaran Biologi seperti ikut menghakimi.
Tapi ada yang lebih horor dan menakutkan siang itu. Pak Suwardi sewot, matanya melotot, seakan mau copot.
“Apa maksud kamu? sudah sok pintar kamu?”
ADVERTISEMENT
Mukidi kaget seperti keserempet ojeg. Ternyata, dia baru saja ditendang dari bulan. Lamunannya mandeg total, dia kembali ke alam sadar, memijak bumi, seolah berdiri di tengah-tengah “persidangan”. Pak Suwardi nampak tidak sabar ingin segera mengetuk palu hukuman. Dia benar-benar naik pitam.
“Maaf pak, bukan itu maksud saya.”
Mukidi terbata mengarang pledoi-nya. Ruangan reyot itu pun akhirnya meledak. Bom tawa bergema seantero kelas. Bisa dipastikan detonatornya adalah pembelaan Mukidi yang mengungkap bahwa tadi dia terbawa ingatan akan perdebatan panjang tadi malam. Seorang teman mengajak dia brain storming mengenai ada tidaknya setan. Pak Suwardi cuma bisa geleng-geleng kepala sambil berserapah dalam hati. Dasar anak S-E-T-A-N!
Mungkin itulah hari -hari dimana Mukidi merasakan hebatnya kekuatan radiasi cinta pertama, sampai-sampai otaknya bingung, linglung, dan mirip wong gemblung.
ADVERTISEMENT
Mungkin juga, hari itu adalah awal atau cikal bakal dimana Mukidi sering dijadikan bahan cerita lucu yang mungkin sekarang ada di grup WA kamu. Teman-teman sekelas Mukidi waktu itu wajib bertanggung jawab.
K-E-C-U-A-L-I…. Karsinem. Cinta Pertama Mukidi, jauh sebelum Sri Mulyani.