Konten dari Pengguna

Never Ending Story

Dwi Sapta Yuniardi
tulisan tanpa papan... facebook: yuniardi27 instagram: yuniardi27
2 Juni 2017 23:28 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dwi Sapta Yuniardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Disuatu pagi, Mukidi, Mukijo, dan Mukodam berkumpul di di pinggir kali, menikmati libur nasional sambil melempar pancing. Tiga sahabat kental yang belakangan kekentalannya agak lumer gara-gara gonjang-ganjing jagad social media saat pilkada Jakarta, nampak khusuk mengamati pelampung di permukaan air, sambil harap-harap cemas pancingnya beruntung disambar mujair.
Never Ending Story
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Bertopi hijau, tiba-tiba mukijo teringat sesuatu yang sejak adzan subuh tadi bergejolak dalam kalbu.
"Dam, ini libur opo toh? tanggalan ku kok hitam!"
Sambil menggulung senar pancingnya pelan-pelan, Mukodam menjawab ketus,
"Hmmm, makanya hape diisi pulsa, percuma hape toskrin gak punya paket data"
Mukidi mesem sambil melirik hape android berlayar besar yang tergeletak di samping kaleng susu bendera berkarat berisi cacing.
"Opo hubungane, Dam?" Sahut Mukijo kesal
Mukodam mengeluarkan hape dari kantong lepis belelnya. Setelah beberapa saat jari telunjuknya menari lincah dilayar kaca, dia menyodorkan ponsel pintar itu ke hadapan Mukijo yang duduk bersebelahan. Sama khusuknya dengan saat mengamati pelampung, mata Mukijo dengan hikmat mengamati timeline instagram milik Mukodam. Tak perlu waktu lama, Mukijo meledak.
ADVERTISEMENT
"Halahh, prettt, gayane....kalo ndak pernah kerja bakti, ndak kenal tetangga sebelah rumah, ndak mau ronda, ngomong pakai bahasa asing, ora sah ngomong saya pancasila, saya endonesia... ora mutu"
Mukodam yang ikutan gerakan tagar saya indonesia, saya pancasila, dengan memajang foto Ijasahnya dimana nilai PMP nya sembilan, sontak geram lalu menyambar Mukijo dengan serapah.
"Halah podo karo sing demo-demo kae, sholat masih bolong2, Al-Quran ndak dibaca, kerja masih korupsi waktu, jadi imam jumata'an masih pasang tarif, maksiat zina masih jalan, hati masih dengki, ndak usah pake acara bela-bela Alquran, atau bikin gerakan aksi bela islam"
Mukijo terdiam, begitupun Mukodam. Mereka berdua saling bertatapan dengan pandangan penghakiman, merasa masing-masing paling benar. Pelampung pancing keduanya bergoyang kencang, namun tak dihiraukan.
ADVERTISEMENT
Mukidi yang sejak tadi menjadi pendengar setia mencoba menjadi pemecah es.
"Opo melakukan kebaikan harus jadi sempurna dulu? bukankah kesempurnaan dan kebenaran yang hakiki hanya milik Dia. sudahlah kalian ini kerja nya cari kesalahan orang terus... merasa paling benar, sampai hal-hal yang baik tetap kalian cemooh, kalo kaya gini, kita ini bakalan jalan ditempat terus"
Mukijo dan Mukodam tetap diam.
"Rugi kalian...banyak hal yang kalian lewatkan kalau hanya sibuk mencari kesalahan orang lain.... tuh pancing kalian di bawa kabur Pak Mujair sama Ibu Gabus" lanjut Mukidi mencoba memberi pengertian.
Keduanya bengong melihat pancingnya raib kecebur kali, sejurus kemudian, Mukijo dan Mukodam kembali saling menyalahkan,
ADVERTISEMENT
"Kamu seh Jo!"
"Kamu yang mulai duluan Dam!"
"Loh kamu yang duluan bilang sok pancasila, sok indonesia"
"Tapi kan kamu yang pertama kasih lihat Instagram!!"
"Ya ampun, kamu kan yang duluan nanya ini libur opo!!
"iya, tapi kamu yang ngajak mancing"
"ya Alloh, jelas-jelas yang kamu duluan yang nyari cacing!!"
".....#&#+#+#+#(#¥¢^¢"
"+#+#(#($!!$!"
Dan cerita ini tak pernah berakhir, Mukijo dan Mukodam terus saling menyalahkan, mungkin sampai akhir zaman. Yang beruntung Mukidi, mancing tanpa pesaing.