Konten dari Pengguna

Melihat Fenomena "Gunung Sampah" di TPA Rawa Kucing Kota Tangerang

Rico Dwi Cahya
Saya merupakan mahasiswa program studi S1 Ilmu pemerintahan di UNTIRTA. fokus kajian saya mengenai isu sosial humaniora, politik pemerintahan, dan lingkungan hidup.
16 September 2024 16:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rico Dwi Cahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lingkungan hidup menjadi penting dan salah satu fokus utama bagi pemerintah Indonesia, berbagai permasalahan lingkungan hidup yang terjadi dewasa ini begitu kompleks. Sampah merupakan isu yang masih menjadi polemik tersendiri di Indonesia, baik dalam hal volume sampah yang dihasilkan, pengelolaan, hingga pemanfaatan sampah Fenomena menumpuknya sampah di berbagai Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang ada di Indonesia menjadi tanda bahwa masih buruknya sistem pengelolaan sampah yang diterapkan. Sampah merupakan material yang tidak terpakai baik yang asalnya dari manusia, hewan, ataupun tumbuhan dan dilepaskan kembali ke alam berupa benda padat, cair, maupun gas yang selalu melekat pada kehidupan sehari-hari manusia. Problem besar dalam pengelolaan sampah di Indonesia yakni kurang masifnya upaya pengurangan sampah dari sumbernya sebelum masuk ke TPA, padahal TPA merupakan tempat pemrosesan sisa-sisa sampah yang harus dipilah sebelum masuk pada pemrosesan akhir.
ADVERTISEMENT
Sumber gambar: Rico Dwi Cahya (penulis). Tumpukan sampah memenuhi hingga sisi jalan di sekitaran Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Rawa Kucing
Pengelolaan sampah telah diatur dalam UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, sampah yang dihasilkan selayaknya diproses terlebih dahulu menuju Bank Sampah dan dan juga pada Tempat Pengolahan Sampah dengan prinsip Reduse, Reuse, dan, Recycle (TPS 3R). Proses pemilahan ini dapat mengurangi volume sampah melalui pemanfaatan kembali sampah yang dapat digunakan kembali ataupun sampah yang didaur ulang sesuai dengan prinsip 3R Namun kendala yang dihadapi oleh beberapa daerah di Indonesia terkait efektifitas TPS 3R adalah banyak diantara TPS 3R yang tidak berfungsi, yang kemungkinan disebabkan karena masalah kepemilikan lahan, akses yang sulit, serta perawatan yang kurang terhadap TPS 3R. Peningkatan jumlah penduduk juga akan berdampak pada peningkatan jumlah volume sampah yang dihasilkan
ADVERTISEMENT
Salah satu daerah di Indonesia yang masih berupaya terhadap pengelolaan sampah adalah Kota Tangerang. Dengan kepadatan penduduk mencapai 1,9 juta jiwa pada 2023. Hal ini sejalan dengan produksi sampah yang dihasilkan. Per-harinya sampah yang dihasilkan bisa mencapai 1.600 ton yang akan menuju tempat pemrosesan akhir di TPA Rawa Kucing. TPA rawa kucing memiliki luas area hampir 35 hektare saat ini timbul permasalahan terkait pengelolaan sampah. Sampah yang masuk hampir memenuhi kapasitas dari TPA, ini dibuktikan dengan sampah-sampah yang menggunung di kawasan TPA rawa Kucing. Akibat penumpukan sampah ini menimbulkan berbagai permasalahan seperti pencemaran tanah, dan juga bau yang menyengat di sekitaran yang mengganggu pemukiman warga sekitar.
Sumber Gambar: Rico Dwi cahya (penulis). Gunung sampah yang berada di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Rawa Kucing
Pengelolaan sampah di TPA Rawa Kucing saat ini menggunakan sisrem sanitary landfill. Sistem ini memungkinkan sampah dimuat dalam suatu cekungan lalu dipadatkan dan ditimbun dengan tanah. Meskipun begitu sistem ini baru diresmikan pada 2019 lalu oleh Kementerian PUPR. TPA Rawa Kucing juga masih menerapkan sistem open dumping. Pembuangan sampah dilahan terbuka dengan menumpuk sampah hingga menggunung. Sistem ini memiliki beberapa kelemahan yakni berpotensi menghasilkan gas dan cairan berbahaya akibat timbunan sampah sehingga membahayakan kesehatan dan lingkungan. Selain itu dengan membiarkan sampah menumpuk dan tanpa penimbunan tanah juga memiliki risiko kebakaran seperti yang terjadi pada 2023 lalu di TPA Rawa kucing. Penggunaan sistem sanitary landfill nampaknya belum begitu optimal untuk mengurangi jumlah volume sampah yang menumpuk di TPA sebab membutuhkan lahan yang luas. Kondisi TPA Rawa Kucing dengan luas hampir 35 hektare pun hampir penuh dengan sampah yang menggunung setinggi 25 meter.
ADVERTISEMENT
Variasi komponen sampah yang masuk ke TPA Rawa Kucing didominasi oleh sampah organik, terlebih sampah sisa makanan dan sampah sisa pasar. Berdasarkan pendataan dari SIPSN, per-2022 komposisi sampah berdasarkan jenisnya di Kota tangerang 57% didominasi sampah sisa makanan, disusul oleh sampah plastik 19% dan sampah kertas/karton 13%. Tentu saja sampah yang masuk di TPA Rawa Kucing dapat dimanfaatkan baik secara ekonomis dan ramah lingkungan. Pemanfatan sampah organik basah di TPA Rawa Kucing dilakukan dengan merubah menjadi pupuk kompos, untuk sampah anorganik seperti plastik dan loga dibakar dan abu hasil bajaran dimanfaatkan menjadi batu block, adapun sampah B3 yang masuk akan ditimbun di TPA.
Langkah antisipasi penumpukan sampah di TPA Rawa Kucing terus digencarkan melalui program-program pemerintah baik dari level pusat hingga daerah. Pemerintah pusat melalui Perpres 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) menginisiasi pembangunan PSEL yang fokus pada 12 daerah kab/kota dan salah satunya adalah Kota Tangerang. Selain untuk mengurangi volume sampah, manfaat lain yang ditawarkan adalah konversi sampah menjadi energi listrik atau waste to energy. Konsep PSEL secara umum yakni menjadikan sampah sebagai bahan bakar untuk membangkitkan energi listri melalui pemanfaatan teknologi, sehingga PSN ini masuk pada Proyek Strategis Nasional (PSN). Selain untuk upaya pengurangan jumlah volume sampah juga sebagai upaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Dalam penerapannya di Kota Tangerang bekerjasama dengan pihak ketiga selaku mitra pemerintah yakni PT. Oligo Swarna Nusantara.
ADVERTISEMENT
PSEL yang akan dilakukan di Kota Tangerang akan menggunakan teknologi Material Recoveru Facility (MRF) guna memilah dan mengolah sampah organik dan anorganik. Kemudian untuk sampah organik akan diproses melalui Anaerobic Digister (AD) yang akan menghasilkan gas metan dan akan dirubah menjadi listrik dengan daya 13,5 MW. Sedangkan sampah non organik yang diolah menjadi Refuse Derived Fuel (RDF) akan diolah di mesin pembangkit dan menghasilkan energi listrik dengan daya 25 MW, namun proyek pengerjaan PSEL ini masih terhalang ijin dari KLHK, penyelesaian perijinan saat ini masih diupayakan oleh Pemerintah Kota Tangerang agar perijinan segera rampung dan pembangunan dapat berjalan hingga PSEL dapat dioperasikan. Tentunya dengan adanya PSEL di Kota Tangerang dapat menjadi harapan baru bagi masyarakat serta pemangku kebijakan dalam upaya bersama-sama mengatasi polemik sampah yang sudah terjadi sejak lama khususnya di TPA Rawa Kucing.
ADVERTISEMENT