Malapetaka Lima Belas Hari Pada Masa Orde Baru 1974

Dwika Anugerah Putranto
Mahasiswa Universitas Jember
Konten dari Pengguna
6 Mei 2024 17:48 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dwika Anugerah Putranto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi kerusuhan. foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi kerusuhan. foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Krisis beras tahun 1972-73 berkontribusi pada meningkatnya ketidakpuasan di seluruh Indonesia pada 1973 yang meledak dalam kerusuhan Malari yang dramatis di Jakarta dan kota-kota besar lainnya pada Januari 1974. Selama beberapa hari kerusuhan tersebut, ribuan mahasiswa turun ke jalan dalam demonstrasi anti-pemerintah, menyebabkan banyak kerusakan termasuk penjarahan dan pembakaran kendaraan, dan tentara serta tank-tanknya dipanggil untuk mengembalikan ketertiban. Meskipun pemicu resmi adalah kunjungan Perdana Menteri Jepang Tanaka ke Jakarta, penyebab lain meliputi ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi, terutama kenaikan harga, serta ketidakpuasan terhadap pengaruh komersial Jepang di Indonesia dan konflik dalam militer Indonesia (Wanandi 2012: 112).
ADVERTISEMENT
Kerusuhan Malari dengan cepat mengubah suasana di Indonesia, terutama di kalangan pemerintah. Presiden Soeharto dengan tegas memperkuat kekuasaannya dengan memindahkan personel militer kunci dan melarang sejumlah surat kabar dan majalah. Wanandi (2012: 119) mencatat bahwa setelah kerusuhan Malari, Soeharto tidak lagi memberikan kebebasan sebanyak sebelumnya kepada menteri, jenderal, dan penasihatnya. Kebijakan ekonomi pun mengalami penyesuaian cepat, dengan mengencangkan aturan investasi asing dan memeriksa peran investasi Jepang di Indonesia. Langkah-langkah tersebut bertujuan untuk menunjukkan bahwa kebijakan liberalisasi investasi asing pada awal Orde Baru telah direvisi secara signifikan.
Refrensi
Peter Mc Cawley: THE INDONESIAN ECONOMY DURING THE SOEHARTO ERA Arndt-Corden Department of Economics, College of Asia and the Pacific. Australian National University
ADVERTISEMENT