Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cerita dari Ladang: Para Pejuang Sinyal, Mendaki demi Edukasi
22 Mei 2022 7:05 WIB
Tulisan dari Vara Dwikhandini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Selama pandemi, seluruh sekolah di Malaysia menerapkan pembelajaran daring, tak terkecuali sekolah Indonesia maupun Community Learning Center (CLC). CLC adalah tempat pelayanan pendidikan dasar (SD dan SMP) bagi anak-anak pekerja ladang sawit berkewarganegaraan Indonesia yang berada di Malaysia.
ADVERTISEMENT
Pembelajaran daring menjadi tantangan tersendiri bagi guru dan siswa Indonesia di ladang sawit di Sabah, Malaysia. Pasalnya, tidak semua siswa memiliki smartphone. Padahal materi dan tugas sekolah dikirim melalui aplikasi WhatsApp yang hanya dapat digunakan di smartphone. Alhasil guru harus berkorban dengan mengirimkan materi cetak kepada siswa yang tidak memiliki smartphone.
Karena siswa dengan kategori ini banyak, prosesnya memakan waktu dan energi. Bayangkan jika guru harus mengantar materi satu-satu ke tiap rumah siswa. Alangkah melelahkan dan memakan waktu! Untunglah siswa juga rela berkoban. Sebagian dari mereka berinisiatif mengambil sendiri materinya ke sekolah. Pihak ladang juga cukup membantu. Mereka bersedia dititipkan materi untuk diantar ke rumah siswa.
Bagi siswa yang memiliki smartphone, persoalan juga tidak lantas usai. Sinyal adalah kemewahan di tengah ladang sawit. Seperti kemewahan pada umumnya, sinyal tidak mudah didapatkan. Seringkali siswa harus pergi ke bukit hanya untuk mendapatkan sinyal. Dapat dibayangkan, mereka harus berjalan kaki cukup jauh menyusuri jalan setapak penuh semak hanya demi sinyal!
Bagi orang-orang kota yang menganggap sinyal sama mudahnya didapat dengan oksigen, perjuangan tersebut tentu tidak pernah terlintas dalam pikiran. Namun perjuangan mencari sinyal ini riil dan benar-benar terjadi, bukan sekedar cerita fiksi.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya siswa, mendaki bukit ala ninja Hattori ini juga harus dilakukan oleh para guru. Karena penerapan pembatasan oleh pemerintah Malaysia, rapat tatap muka tidak dapat dilakukan. Para guru harus menggunakan Zoom atau Google Meet untuk mengadakan rapat. Aktivitas tersebut memerlukan sinyal yang kuat dan stabil. Sebenarnya mereka dapat pergi ke kota untuk mencari sinyal. Namun pembatasan ketat yang diterapkan pemerintah menjadi penghalang. Maka solusi yang paling “gampang” adalah pergi ke bukit.
Jadilah baik siswa maupun guru sama-sama merupakan pejuang pencari sinyal.
Bagi para guru yang berasal dari Indonesia dan tidak menetap di sana, rasa rindu terhadap tanah air juga menambah berat perjuangan yang harus dilakukan. Sebelum pandemi, mereka bisa mengobat kerinduan terhadap keluarga dengan pulang ke Indonesia setiap libur semester atau hari raya.
ADVERTISEMENT
Namun selama pandemi, praktis hal tersebut tidak dapat dilakukan. Pemerintah setempat membatasi dengan ketat arus orang keluar masuk Malaysia. Saat itulah apa yang dibilang Dilan benar-benar terasa, bahwa rindu itu berat. Tidak semua orang kuat menanggungnya. Apa mau dikata, para guru itu tidak punya pilihan. Tidak ada Dilan yang menanggung rindu buat mereka. Maka kuat tidak kuat harus tetap ditanggung.
Namun betapa sulit pun kondisinya, pandemi tidak menyurutkan semangat para guru dan murid di sana untuk terus melanjutkan pembelajaran. Mereka sadar betul bahwa pendidikan adalah kunci masa depan siswa. Para siswa itu mayoritas berasal dari keluarga yang secara ekonomi kurang mampu. Jika ada peluang untuk meningkatkan status ekonomi mereka di masa depan, maka itu adalah melalui pendidikan.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, pandemi yang hanya sementara tidak boleh mengorbankan masa depan mereka yang akan panjang. Maka seberat apapun upaya yang harus dilakukan tetap dilakukan.
Begitulah, selama berbulan-bulan para guru dan murid di sekolah Indonesia di ladang sawit Malaysia harus berjibaku sekedar untuk melanjutkan pembelajaran, memastikan para murid tetap mengenyam pendidikan selama pandemi. Jika orang-orang kota mengeluhkan pembelajaran daring dengan alasan orang tua kesulitan membagi waktu, mereka mungkin tidak menyadari di luar sana ada anak-anak, orang tua, dan guru yang jauh lebih berhak untuk mengeluh. Orang-orang yang harus berjalan kaki mendaki bukit untuk sekedar mendapatkan sinyal.
***