Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Compassion Fatigue?
13 Desember 2022 15:55 WIB
Tulisan dari Dwi Sri Rahayu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berbahayakah dalam Proses Konseling?

Istilah compassion fatigue mungkin masih asing dalam dunia bimbingan dan konseling. Karena memang istilah ini mulai muncul di dunia nurse. Istilah ini dikenalkan oleh seorang Professor bidang psikologi yang menekuni tentang mental health di Amerika Serikat, Charles R. Figley pada tahun 1990an. Untuk memahami apa sebenarnya compassion fatigue Anda perlu mengatahui definisi secara harfiahnya terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Compassion fatigue berasal dari dua kata, yakni compassion dan fatigue. Compassion memiliki arti welas asih, sedangkan fatigue memiliki arti kelelahan. Jadi bisa dimaknai compassion fatigue adalah kelelahan welas asih. Figley dalam bukunya yang berjudul Treating Compassion Fatigue (2002) mendefinisikan “Compassion Fatigue is Secondary Traumatic Stress. Experienced indirectly the primary traumatic stressor through helping those who lad experienced these traumas”. Artinya bahwa compassion fatigue diakibatkan oleh faktor eksternal, yakni pengalaman trauma yang dibawa oleh klien saat proses konseling. Dinamika Compassion fatigue terjadi manakala seorang konselor yang harusnya bisa menunjukan empati pada klien, justru tidak mampu melakukan itu karena berada pada kondisi lelah secara fisik dan emosional. Empati merupakan kondisi dimana seseorang mampu memposisikan diri seolah mereka diposisi orang lain.
ADVERTISEMENT
Anda bisa bayangkan ketika konselor tidak mampu lagi untuk merasakan perasan kliennya. Apakah konseling akan berjalan efektif? Tentu tidak. Hal ini dikarenakan konselor mengalami exposure secara terus menerus oleh klien yang memiliki pengalaman negatif mendalam, misalnya korban pelecehan seksual, kehilangan orang terdekat, korban bencana, dan sejenisnya. Luka batin klien yang "diambil" oleh konselor ini bagaikan autoimun yang akan menggerogoti kemampuan berempati konselor. Secara berangsur-angsur konselor mengalami defisit rasa empati sampai pada kondisi terparahnya adalah konselor tidak mampu lagi memberi rasa peduli pada klienya.
Kenapa demikian? Anda tentu tahu bahwa sudah menjadi kewajiban konselor untuk bisa berempati pada klien yang ditangani. Bahkan dalam beberapa penelitian menyatakan bahwa empati adalah aspek kepribadian kunci yang harus dimiliki oleh konselor. Jika konselor tidak bisa menampilkan sikap empati, konseling yang efektif adalah sebuah keniscayaan. Namun demikian, empati yang berlebih bukan pula hal yang baik dalam proses konseling. Pada kondisi ini jika konselor tidak mampu membatasi diri antara apakah harus “mengambil" masalah klien atau “memahami” masalah klien. Konselor yang cenderung “memahami” kondisi klien, cenderung akan mampu menunjukan respon empati yang tepat. Namun, jika konselor cenderung “mengambil” masalah konseli, maka compassion fatigue tidak akan bisa dihindarkan.
ADVERTISEMENT
Apakah compassion fatigue hanya dialami oleh konselor? Jawabannya adalah tidak. Compassion fatigue bisa dialami oleh seluruh pihak yang bekerja sebagai helping professional, termasuk diantaranya adalah nurse, childcare, caregiver, teacher, doctor, counselor, bahkan police.
Bagaimana Anda bisa menghindari compassion fatigue? Yang harus Anda lakukan adalah mengenali gejala-gejala compassion fatigue. Bila terdapat gejala-gejala yang nampak pada berbagai aspek, mulai dari apek kognitif, emosi, perilaku, spiritual, hubungan antar pribadi, fisik, serta performa kinerja kemungkinan Anda mengalami compassion fatigue.
Dalam aspek kognitif, konselor akan mengalami kesulitan konsentrasi, penurunan harga diri, dan lebih perfeksionis. Pada aspek emosi, konselor mengalami cemas, depresi, ketakutan, lebih sensitif, penurunan kekuatan emosi, dan lebih gampang marah. Sementara pada aspek spiritual, konselor akan mengalami kehilangan tujuan hidup, lebih skeptis terhadap agama yang dianutnya, kehilangan kepuasan terhadap diri sendiri. Konselor juga akan mengalami gangguan tidur, mimpi buruk, dan waspada berlebihan pada aspek perilakunya. Hubungan antar pribadi menjadi buruk karena konselor mengalami penurunan minat pada relasi sosial, menaik diri dari lingkungan, bahkan enggan berhubungan intim dengan pasangan. Hal ini juga nampak pada performa kerja yang semakin buruk. Konselor tidak termotivasi untuk bekerja, merasa tidak dihargai, kualitas kerja semakin buruk, dan cenderung terlibat masalah dengan rekan kerja.
ADVERTISEMENT
Nah, bahaya apa jika konselor mengalami compassion fatigue dalam menjalankan peranannya sebagai profesional? Tentu hal ini akan sangat berbahaya apabila konselor tidak ada upaya kuratif yang dilaksanakan untuk mereduksi compassion fatigue ini, kondisi akan semakin buruk dan bisa mengakibatkan luka emosional yang dalam hingga upaya bunuh diri. Oleh sebab itu konselor perlu mengenali gejala-gejala compassion fatigue agar bisa secepat mungkin melakukan intervensi baik pada tataran preventif maupun kuratif.