Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Para Pahlawan di Perbatasan
13 November 2018 6:40 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Dyah Dinanti Puspitasari Peserta Sesdilu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penulis bersama dengan Ibu Suraidah, Kepala Sekolah Sekolah Tapal Batas; seorang guru wanita pengajar Sekolah Tapal Batas; dan tentara perbatasan RI-Malaysia, beserta rekan Sesdilu (Sekolah Staf Dinas Luar Negeri) Angkatan ke-62 di Sekolah Tapal Batas, Pulau Sebatik. (Foto: Dok. Pribadi/Istimewa)
ADVERTISEMENT
Tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Ada istilah yang mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan menghormati jasa pahlawannya. Oleh sebab itu, kita wajib menghormati para pahlawan yang rela mengorbankan hidupnya demi menjaga dan mempertahankan negara Indonesia.
Jika di masa lalu makna kepahlawanan berarti angkat senjata, mengusir penjajah agar bangsa Indonesia merdeka, maka makna pahlawan di masa kini adalah mereka yang terus berupaya mengisi kemerdekaan dengan hal-hal bermanfaat dan ikut memajukan bangsa.
Itulah sebabnya, saya merasa sangat bangga dapat bertemu para pahlawan di perbatasan saat berkunjung ke Pulau Sebatik beberapa waktu yang lalu.
Pulau Sebatik yang terletak di Kalimantan Utara merupakan pulau yang unik karena terbagi menjadi dua wilayah kenegaraan Indonesia dan Malaysia. Pulau Sebatik sebagai salah satu pulau terluar, merupakan perbatasan kita dengan negara tetangga, Malaysia.
ADVERTISEMENT
Di sinilah saya bertemu dengan para pahlawan di perbatasan. Para pahlawan di perbatasan adalah mereka yang terus berperan meningkatkan pendidikan dan kemakmuran serta menjaga perdamaian di perbatasan.
1. Ibu Suraidah, pendiri sekolah Tapal Batas
Ibu Suraidah adalah seorang bidan kelahiran Sidrap, Sulawesi Selatan yang memilih untuk hijrah ke Pulau Sebatik dan mendirikan sekolah tapal batas pada tahun 2012. Sekolah Tapal Batas Darul Furqan berada di Jalan Asnur Daeng Pasau RT 12 Dusun Kampung Barru, Desa Sungai Limau, Kecamatan Sebatik Tengah, Kalimantan Utara.
Ibu Suraidah tergerak untuk mendirikan sekolah karena melihat banyaknya anak-anak para Buruh Migran Indonesia (BMI) yang orang tuanya sehari-harinya bekerja di perkebunan kelapa sawit, tetapi anak-anak ini kesulitan mendapat akses pendidikan yang layak di perbatasan. Sebelum ada sekolah tapal batas, banyak anak yang tidak bersekolah dan buta aksara.
Ibu Suraidah bersama Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Luar Negeri (Pusdiklat Kemlu) dan Direktur Sekolah Staf Dinas Luar Negeri (Sesdilu). (Foto: Dok. Pribadi/Istimewa)
ADVERTISEMENT
Saat berbincang dengan Ibu Suraidah yang sederhana ini, beliau menyampaikan bahwa awalnya untuk membuka sekolah tapal batas bukanlah hal yang mudah. Banyak hal yang dilakukan untuk meyakinkan para BMI untuk menyekolahkan anaknya, termasuk mendatangi kebun kelapa sawit dan permukiman BMI di sana, mengajak anak-anak masuk kelas.
"Pertanyaan orang tua mereka cuma satu: sekolahnya bayar tidak?" kata Ibu Suraidah. Setelah mengetahui bahwa ini tidak dipungut biaya, maka mereka pun mendaftarkan anaknya ke sekolah tapal batas.
Kami pun menanyakan apa motivasi beliau mendirikan sekolah di Sebatik. Dengan tersenyum, beliau menyampaikan “Pendidikan sangat penting. Saya ingin para anak BMI ini bisa seperti anak yang berada di kota, bisa mengenyam pendidikan juga.”
Ibu Suraidah bersama para murid Sekolah Tapal Batas. (Foto: Dok. Pribadi/Istimewa)
ADVERTISEMENT
Saat ini, Sekolah Tapal Batas berkembang menjadi tiga program pembelajaran, yaitu PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), Madrasah Ibtidayah (MI), dan Madrasah Diniyah (MD), serta mendapat dukungan langsung dari Pemerintah dan Pertamina EP. Sekolah ini fokus pada pemberantasan buta aksara, memberikan pendidikan bagi anak TKI dan pendidikan pemberdayaan usaha mandiri bagi masyarakat Sebatik. Sekolah ini hanya memiliki tenaga pengajar sukarela sebanyak 3 orang, dengan jumlah siswa siswi 48 orang yang terbagi dalam 5 kelas.
2. Para Tentara yang menjadi guru relawan di Sekolah Tapal Batas
Melihat keterbatasan pengajar di sekolah Tapal Batas, Satgas Marinir Ambalat XXIII Thn. 2018 yang ditempatkan di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara pun tergerak untuk membantu.
Satgas Marinir yang dipimpin Kapten Marinir Yusuf Muchram Pribadi berinisiatif membantu Sekolah Tapal Batas dengan menjadi tenaga pengajar sukarela serta membantu pembangunan sarana dan fasilitas sekolah.
Para tentara yang membantu pendirian fasilitas Sekolah Tapal Batas berupa taman. (Foto: Dok. Pribadi/Istimewa)
ADVERTISEMENT
Saat ini, ada empat prajurit anggota TNI penjaga perbatasan Indonesia-Malaysia yang diperbantukan menjadi guru sukarela di Sekolah Tapal Batas. Setiap harinya, mereka bertugas mengajar dua hingga empat jam, sebelum memulai sesi tugas patroli setiap harinya. Pembagian tugasnya adalah dua orang mengajar satu kelas, sehingga 4 orang tentara dapat membantu dua kelas di Sekolah Tapal Batas.
Para tentara yang menjadi guru relawan ini rela mengorbankan waktu dan tenaga dengan satu tujuan mulia, membantu anak-anak Sekolah Tapal Batas memperoleh pendidikan dan pengetahuan yang cukup dan layak.
Interaksi antara anak-anak Sekolah Tapal Batas dan para tentara ini pun terlihat begitu cair dan akrab. Saat kami berkunjung ke sana, terlihat para tentara bersenda gurau dengan anak-anak Sekolah Tapal Batas. Tidak heran jika para anak-anak ini pun saat ditanya cita-citanya, mereka ingin menjadi tentara yang mereka idolakan.
Interaksi antara para murid Sekolah Tapal Batas dengan para tentara yang tidak berjarak dan penuh canda tawa. (Foto: Dok. Pribadi/Istimewa)
ADVERTISEMENT
3. Anak-anak pelajar Sekolah Tapal Batas
Anak-anak pelajar Sekolah Tapal Batas, they are the real heroes!
Untuk bersekolah di Sekolah Tapal Batas bukan hal yang mudah karena sebagian besar dari mereka tinggal di wilayah Malaysia dan anak-anak ini harus melewati perbatasan Indonesia-Malaysia setiap hari, yang berarti harus menempuh perjalanan panjang dan berurusan dengan aparat di perbatasan.
Sebagian dari mereka harus berjalan kaki hingga dua jam lebih untuk pergi ke sekolah. Semua upaya dan perjalanan tersebut seringkali dilakukan tanpa didampingi orang tua mereka yang sedang bekerja di ladang perkebunan kelapa sawit.
Penulis bersama sebagian murid-murid sekolah Tapal Batas di Pulau Sebatik. (Foto: Dok. Pribadi/Istimewa)
Jangan sekali-kali sepelekan semangat anak-anak ini karena mereka punya impian setinggi langit.
ADVERTISEMENT
Saya dan beberapa rekan berkesempatan mengajar siswa kelas 1 SD Tapal Batas dan sangat terharu melihat semangat pantang menyerah adik-adik ini. Mereka menunjukkan bahwa walaupun di tengah berbagai keterbatasan dan tantangan yang mereka hadapi di perbatasan tapi mereka punya cita-cita hebat.
Salah satunya adalah Wulansari, siswi yang baru duduk di kelas satu SD Tapal Batas yang ingin menjadi guru, sedangkan Wawan, si ketua kelas juga punya impian jadi dokter dan di sudut lain, murid lainnya bernama Akmal bilang ingin jadi combat Indonesia. Combat adalah istilah mereka untuk tentara penjaga perbatasan di Pulau Sebatik.
Penulis bersama rekan Sesdilu 62 sesaat setelah mengajar murid-murid SD kelas 1 di Sekolah Tapal Batas Pulau Sebatik. (Foto: Dok. Pribadi/Istimewa)
ADVERTISEMENT
Anak-anak di perbatasan sesungguhnya adalah aset besar bangsa ini dan jika mendapat perhatian dan akses pendidikan yang layak, tentu mereka akan tumbuh dengan kebanggaan terhadap Indonesia dan turut menjaga wilayah NKRI di perbatasan.
4. Para Penjaga Perbatasan
Peran para penjaga perbatasan sangat penting bagi keamanan dan perdamaian, khususnya dalam mengatasi kejahatan lintas batas negara seperti illegal logging, penyelundupan narkoba ataupun tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Saat berkunjung ke Sebatik, kami berkesempatan berkunjung ke Patok Tiga dan Pos Penjagaan Sei Panjang.
Penulis saat berada di Patok Tiga Perbatasan Pulau Sebatik. (Foto: Dok. Pribadi/Istimewa)
Patok Tiga yang terletak di Desa Aji Kuning adalah gerbang perbatasan paling tenar di Pulau Sebatik.
ADVERTISEMENT
Dibandingkan patok-patok perbatasan yang lainnya, Patok Tiga tak ubahnya primadona lantaran posisinya yang unik dan tidak jauh dari kota. Di sini yang paling terkenal adalah sebuah rumah yang terletak di dua negara, di mana ruang tamu berada di Indonesia, tetapi dapurnya berada di Malaysia.
Saat di Patok Tiga, kami pun bertemu dengan tentara penjaga yang menempati pos penjagaan yang bertuliskan Yonif Linud 433/JS Kostrad tepat di depan rumah warga. Di perbatasan Desa Aji Kuning, perbatasan Indonesia dan Malaysia hanya dibatasi oleh jalan setapak. Sepanjang pengamatan kami selama di sana, terdapat sejumlah pos pengamanan di Desa Aji Kuning yang beranggotakan lima sampai tujuh personel di setiap posnya.
Papan Penjelasan Mengenai Patok Penanda Perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Sebatik. (Foto: Dok. Pribadi/Istimewa)
ADVERTISEMENT
Selain ke Patok Tiga, kami juga mengunjungi Pos Penjagaan Sei Panjang. Pos penjagaan ini terbilang unik karena memiliki jalanan lurus yang mengarah hingga tengah laut.
Di sini Sei Panjang, saya pun berkesempatan berbincang dengan beberapa penjaga perbatasan yang menyampaikan bahwa rata-rata mereka telah bertugas selama sembilan bulan.
Penulis bersama penjaga perbatasan di pos Sei Panjang. (Foto: Dok. Pribadi / Istimewa)
Saya menjadi sangat salut kepada dedikasi para penjaga perbatasan kita karena selain berbahaya, kehidupan menjaga perbatasan juga pastinya berat karena jauh dari keluarga dan kadang kala mengalami kejenuhan. Inilah mereka pahlawan sesungguhnya, yang tanpa mengenal lelah dan tanpa dipublikasikan media, setiap harinya menjaga perbatasan kita aman dan damai, agar NKRI selalu jaya.
ADVERTISEMENT
Bercermin dari para pahlawan kita di perbatasan, janganlah kita jadikan Hari Pahlawan ini sebagai unsur seremoni belaka tanpa menghayati nilai-nilai perjuangan dari pahlawan kita.
Rombongan Sekolah Staf Dinas Luar Negeri (Sesdilu) Angkatan ke-62 bersama para penjaga perbatasan kita. (Foto: Dok. Pribadi/Istimewa)
Kita memang tidak ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan, tetapi sebagai generasi muda penerus bangsa sudah sepatutnya memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang berarti.
Bangsa ini membutuhkan banyak pahlawan untuk mewujudkan Indonesia yang damai, makmur dan maju.
Jadilah pahlawan dengan berprestasi dan berkontribusi.
Jadilah pahlawan dimulai dari diri sendiri dan dalam kehidupan sehari-hari.