Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Mengenal Wahidin Soedirohoesodo Pelopor Organisasi Pergerakan Modern
21 Maret 2022 10:48 WIB
Tulisan dari Dyna Andriyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Kalau bangsa ini ingin terbebas dari penjajahan dan merdeka, maka rakyat dan bangsa ini harus cerdas dan pandai. Untuk itu rakyat harus bersekolah dan mengikuti pendidikan di sekolah”-Wahidin Soedirohoesodo.
Dokter Wahidin Soedirohoesodo lahir pada 7 Januari 1852 di Sleman, Yogyakarta. Ayahnya, Arjo Soediro merupakan seorang wedana atau sejenis camat dalam bidang tertentu. Arjo Soediro sangat menghargai pendidikan. Menurutnya, pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk mewujudkan sebuah pergerakan dan kemajuan bangsa. Ayahnya menyekolahkan dr. Wahidin dan kakak perempuannya di Sekolah Ongko Loro. Sekolah Ongko Loro merupakan sekolah desa yang dikhususkan untuk pribumi, anak petani, dan anak buruh. Masa pendidikan pada Sekolah Ongko Loro adalah 3 tahun dengan hal yang diajarkan yaitu membaca, menulis, dan berhitung. Pemerintah kolonial membangun sekolah ini dengan tujuan memberantas buta huruf. Kemudian, setelah lulus dari Sekolah Ongko Loro ia melanjutkan sekolah di Eurepeesche Lagere School (ELS) yang merupakan sekolah Belanda yang diperuntukkan masyarakat Belanda dan beberapa golongan pribumi. Karena ketertarikannya terhadap dunia medis, ia kemudian memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke STOVIA atau sekolah Dokter Djawa. Wahidin merupakan pribadi yang cerdas dan murah hati. Selain cerdas dalam bidang pendidikan umum di sekolah, ia juga dikenal mahir berolah seni. Ia sangat mahir dalam memainkan gamelan dan mendalang.
ADVERTISEMENT
Sejak bersekolah, dr. Wahidin sudah merasakan adanya ketidakadilan dan ketimpangan sosial antara pribumi dan warga Belanda. Timbul keinginan baginya untuk membebaskan penduduk pribumi dari penderitaan masa itu. Ia menyadari bahwa pendidikan dapat membawa pribumi menuju kebebasan itu. STOVIA merupakan tempat dr. Wahidin memulai pemikirannya untuk pergerakan bangsa Indonesia. Namun, selama masih dalam masa studi, gagasan-gagasannya memiliki keterbatasan untuk diwujudkan. Hingga akhirnya ia meraih gelar dokter, ia kembali ke Yogyakarta. Ia menjadi dokter di tanah kelahirannya. Kemudian ia menerbitkan majalah Retna Doemilah pada tahun 1895 dengan F.L. Winter sebagai redakturnya. Majalahnya memiliki banyak pelanggan dari kalangan priyayi. Gagasan mengenai kebangsaan dan uraian mengenai pentingnya pendidikan menjadi topik utama majalah ini. Sehingga, gagasan dr. Wahidin semakin meluas dan banyak menerima dukungan.
ADVERTISEMENT
Kepedulian dr. Wahidin terhadap pendidikan membuatnya berusaha untuk bertemu dengan orang-orang berpengaruh untuk mendiskusikan gagasannya mengenai “Dana Belajar” atau Studie Fonds. “Dana Belajar” ini ingin disalurkan kepada para pemuda pribumi untuk melanjutkan pendidikan. Namun, hanya segelintir tokoh yang tertarik dengan gagasan tersebut.
Pada 1907, dr. Wahidin berkunjung ke STOVIA dan diundang dalam sebuah pertemuan oleh dr. Soetomo yang saat itu menjadi pelajar. Wahidin menuangkan gagasan-gagasannya dalam pertemuan itu. Ia menyampaikan pemikirannya bahwa pendidikan harus diterima oleh masyarakat dari seluruh kalangan. Menurutnya, pendidikan akan membawa bangsa Indonesia ke arah pergerakan dan membebaskannya dari penderitaan yang selama ini diterima. Dokter Soetomo dan teman-temannya merasa tergugah dan memiliki keinginan untuk melanjutkan gagasan pergerakan oleh dr. Wahidin. Lima bulan kemudian, tepatnya pada 20 Mei 1908, dr. Soetomo dan teman-temannya mendirikan organisasi pergerakan pertama yaitu Budi Utomo. Soetomo mengakui bahwa hadirnya organisasi ini tidak lepas dari keberadaan dr. Wahidin sebagai pelopor.
ADVERTISEMENT
Organisasi ini menjadi sebuah harapan baru bagi bangsa Indonesia. Kongres pertama dilakukan di Yogyakarta pada Oktober 1908. Dokter Wahidin hadir untuk mengobarkan semangat para pemuda. Dia menyampaikan pemikirannya bahwa sangat penting dalam menyaring hal yang terjadi saat itu. Sederhananya, hal baik dari budaya Eropa dapat diterima dan diimplementasikan, tetapi hal yang buruk tentu harus ditinggalkan. Organisasi Budi Utomo berdiri di beberapa kota seperti Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, dan Surabaya. Pada kongres tersebut dibentuk badan pengurus Budi Utomo yang diketuai oleh R.A.A. Tirtokoesoemo dan dr. Wahidin sebagai wakilnya.
Keinginan lama dr. Wahidin atas gagasannya yaitu “Dana Belajar” atau lembaga beasiswa menjadi salah satu program Budi Utomo. Di beberapa daerah, program tersebut mendapatkan dukungan cukup baik sehingga dapat berkembang. Kemudian akhirnya usaha yang dilakukan menampakkan sebuah harapan keberhasilan. Dukungan besar yang ada saat itu berhasil mendorong Budi Utomo mendirikan lembaga khusus beasiswa bernama Darmawara pada 25 Oktober 1913. Dokter Wahidin sangat bangga dan bersemangat melihat keinginannya tercapai. Belasan tahun ia berjuang akhirnya membuahkan hasil dengan harapan besar untuk kemajuan bangsa Indonesia. Darmawara berhasil menyekolahkan pribumi yang pandai dan tidak memiliki biaya untuk bersekolah.
ADVERTISEMENT
Setelah Budi Utomo, lahir berbagai organisasi pergerakan lainnya. Budi Utomo merupakan organisasi pertama yang menjadi inspirasi bagi masyarakat pribumi untuk mendirikan gerakan nasional. Lahirnya Budi Utomo menjadi penanda bahwa pada masa itu pergerakan nasional dimulai hingga tercipta berbagai perjuangan dalam rangka memajukan bangsa agar terlepas dari belenggu penajajah.
Enam hari setelah peringatan ulang tahun Budi Utomo yang kesepuluh, tepatnya 26 Mei 1917, dr. Wahidin meninggal dunia dan dimakamkan di tanah kelahirannya. Pada 6 November 1973, pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional sebagai penghargaan atas jasa-jasanya sebagai pelopor pergerakan nasional. Hingga akhir hayatnya, ia memiliki semangat kebangsaan yang tidak pernah padam. Ia merupakan tokoh yang sangat berpengaruh bagi lahirnya pergerakan nasional di Indonesia.
ADVERTISEMENT