Antara Senioritas, Bullying, dan Moral Value

Dyota Maitri
Coffee & cats.
Konten dari Pengguna
12 Januari 2017 14:11 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dyota Maitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bullying (Foto: Dokumen Pribadi)
Amirullah dan teman-temannya baru saja selesai latihan marching band pada sore hari itu. Ketika beberapa senior memanggil mereka untuk berkumpul, Amirullah dan kelima temannya pun patuh.
ADVERTISEMENT
Namun siapa sangka kalau sore itu akan berubah menjadi sore yang kelam di sekolahnya, Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta.
Tanpa perlawanan dan tak ada kejelasan, Amirullah dan kelima temannya mendapat bertubi-tubi pukulan di perut, dada, dan ulu hati dari para seniornya. Amirullah akhirnya terjatuh dan tak sadarkan diri. Si senior tak peduli dan tetap memberikan pukulan terakhirnya.
Amirullah, ketika itu, sedang berjuang menghirup sisa nafas terakhirnya. Hingga akhirnya ajal menjemput: Amirullah tewas.
Sekolah Tinggi Pelayaran (Foto: Johanes Hutabarat/kumparan)
Tragedi kekerasan dan senioritas yang merenggut nyawa Amirullah lagi-lagi menjadi tamparan keras untuk sistem pendidikan naungan Kemenhub ini.
Seperti yang dilansir kumparan, tindak kekerasan berujung maut juga pernah terjadi pada tahun 2008 dan 2014 di STIP Jakarta. Semuanya dilakukan oleh senior kepada junior.
ADVERTISEMENT
Melihat peristiwa tersebut, saya jadi penasaran tentang asal-usul senioritas.
Bullying (Foto: Giphy)
Dulu, yang saya paham dari senioritas adalah ‘respect sama kakak kelas’. Mulai dari menyapa kakak kelas saat mereka lewat, sampai dengan aksi labrak kecil-kecilan di kamar mandi yang sebenarnya juga tidak jelas alasannya.
Tapi belum pernah saya temukan teman saya sampai babak belur dipukulin kakak kelas.
Sistem senioritas ini mungkin terkait dengan ‘hierarki komando’ yang biasanya digunakan oleh militer. Adanya kebutuhan untuk patuh tanpa pertanyaan dari junior pada seniornya pada institusi militer pun disalahgunakan oleh institusi non-militer, seperti institusi pendidikan.
Ilustrasi bullying (Foto: Pixabay)
Anak-anak yang berada dalam ‘sindrom senioritas’ menggunakan status mereka sebagai senior untuk menindas juniornya – untuk alasan apa? Tradisi? Mungkin.
ADVERTISEMENT
Mem-bully junior akhinya menjadi peraturan tak tertulis yang diwariskan secara turun menurun kepada tingkatan berikutnya. Yang dulu pernah dibully sama seniornya akan merasa para junior juga harus merasakan apa yang mereka alami dulu.
A vicious cycle, it is.
Belum lagi faktor peer pressure – takut dikucilkan atau bahkan jadi korban bully selanjutnya kalau tidak ikut membully si junior. Tapi siapa yang tahu pasti motivasi utama para senior memukuli Amirullah dan teman-temannya?
Amirullah hanyalah satu dari banyak korban kejahatan manusia. Senioritas tidak seharusnya menjadi tempat untuk melampiaskan dendam, atau bahkan untuk mendapatkan kesenangan dari menyakiti orang lain.
Stop Bully! (Foto: Giphy)
Ada satu quote menarik dari Douglas Preston: “We all have a Monster within; the difference is in degree, not in kind."
ADVERTISEMENT
Yes, we all ain’t saints. And the world we live in isn’t the utopian fantasy it is made out to be.
Hanya saja, seberapa jauh kita bisa berbuat jahat yang kadang masih menjadi misteri. Apakah kita tidak mau menyakiti orang lain karena takut dihukum? Atau, karena basic moral value kita sebagai manusia yang seharusnya tidak saling menyakiti – terlepas adanya hukuman atau tidak?
Apapun itu, sangat disayangkan jika seseorang harus kehilangan nyawanya karena moral yang sudah rusak.
Stop Bully (Foto: Giphy)
Selamat jalan Amirullah, semoga engkau tenang di sana.