Pembalap F1: Atlet yang Terlupakan

Dyota Maitri
Coffee & cats.
Konten dari Pengguna
23 Januari 2017 7:06 WIB
comment
17
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dyota Maitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bayangkan, seorang teman kita bernama Agus. Dia sedang duduk di sofa ruang TV — menonton Formula 1 di hari Minggu. Sambil memegang keripik singkong di tangannya, Agus marah ketika driver favoritnya menabrak tembok pada kecepatan 300 kmph. Dia berteriak-teriak dan mengumpat. Katanya, si pembalap itu bodoh. Ia pun yakin kalau ia bisa menyetir lebih baik dari si pembalap.
ADVERTISEMENT
Well, Agus, I’ll have to disagree with you and this is why.
Sebuah impact atau tumbukan dalam kecepatan 320 kmph, seperti pada kasus Fernando Alonso di Australia tahun 2016, bisa menyebabkan adanya g-force sebesar 46G. Artinya, Alonso merasakan hantaman 46 kali lebih besar dari berat tubuhnya. Pada saat kecelakaan, posisi badan Alonso memang tidak kemana-mana karena sistem pengamanan dan seatbelt yang canggih. Tapi, apakah organ dalamnya bisa juga aman? Sayangnya engga. Pada kecepatan 300 kmph, tabrakan itu tetap menghantam tulang rusuk Alonso. Ia pun harus absen satu balapan setelah kecelakaan itu karena mengalami retak tulang rusuk.
Itu Alonso. Bagaimana dengan si Agus? Mungkin kecelakaan itu bisa menghilangkan nyawanya dalam sekejap. So, sorry Agus, you tried your best.
ADVERTISEMENT
Alonso crashed at Australian GP (Foto: Sutton Images)
Formula 1 memang identik dengan kemewahannya. Namun, di balik mobil-mobil canggih seharga jutaan dollar itu, ada para pembalap yang mempertaruhkan nyawanya. They push their bodies to extreme limits for their passion and our entertainment. Sayangnya, para pembalap F1 masih sering terlupakan dan cenderung diremehkan. Padahal dibutuhkan kekuatan fisik dan mental yang kuat untuk bisa mengendarai mobil F1- dan tentunya mencetak waktu yang cepat.
Berbagai sesi latihan fisik dan diet pun dilakukan untuk menjaga kebugaran mereka. Kenapa? Karena jika kecelakaan seperti tadi terjadi, mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk selamat. Mempunyai otot leher yang kuat adalah salah satu hal penting bagi pembalap F1. Di balapan mobil kecepatan tinggi, g-force ditemukan di setiap teknis balapan, baik saat melintasi tikungan, meningkatkan kecepatan di lintasan lurus, maupun saat mengerem.
ADVERTISEMENT
Apa itu g-force? Simplenya, ketika pembalap berpacu di lintasan lurus , tubuh dan kepalanya akan tertekan kebelakang. Sebaliknya, saat mengerem, tubuh dan kepalanya akan merasa berat ke depan. Saat mereka akan berbelok, mereka harus mengurangi kecepatan dari 320 kmph ke 68 kmph dalam 3 detik. Di sini, leher dipaksa untuk menahan tekanan kuat dengan g-force sebesar 5G – atau 5 kali lipat lebih berat dari tubuhnya.
Helm dan HANS (Hand and Neck Support) seorang pembalap rata-rata seberat 7 kilogram. Jadi, kebayang gimana rasanya memikul 35 kilogram karung sambil fokus nyetir? Yes, itu yang dirasakan para pembalap ini selama 1.5 jam balapan.
ADVERTISEMENT
Para pembalap bekerja di dalam cockpit yang sempit, panas, dan berisik. Mereka terikat pada kursi dan seatbelt yang ketat. Pada balapan di kondisi panas seperti Malaysia dan Singapura, suhu di dalam cockpit mobil bisa mencapai 40 derajat celcius dan kelembapan bisa mencapai 80 persen. Rata-rata, pembalap dapat membakar 600 kalori di setiap balapan. Dan di sirkuit negara tropis seperti dua negara itu, mereka bisa kehilangan 4 kilogram dalam satu balapan.
Wah, enak dong bisa turun berat badan segitu banyak dalam dua jam? Not really.
Sudah ada beberapa pembalap yang hampir pingsan ketika mereka keluar dari mobil karena dehidrasi dan suhu yang panas. Walaupun mereka bisa minum dari selang pada kantong minum yang tersambung ke dalam helm, kantong minum itu hanya berupa 1.5 liter energy drink untuk menggantikan cairan yang hilang karena keringat.
ADVERTISEMENT
F1 Mercedes AMG Petronas (Foto: Sutton Images)
Bagaimana dengan jantung mereka? Detak jantung normal manusia adalah 60-100 kali per menit. Sedangkan selama balapan, adrenalin bisa membuat detak jantung seorang pembalap naik hingga 190 kali per menit. Rata-rata detak jantung mereka ketika balapan pun sekitar 170 kali per menit— hampir sama dengan 3 kali denyut per detik. Bayangkan itu berlangsung selama 1.5 jam balapan.
Pembalap juga harus memiliki lengan dan kaki yang kuat. Muscle is good, but bulk is bad. Kita gak akan pernah lihat pembalap F1 punya otot besar. Kenapa? Karena semakin berat pembalap, maka waktu yang ia cetak di lintasan bisa menjadi lebih lama.
Ketika pembalap harus mengerem di tikungan, ada tekanan besar yang membebani pedal rem mereka. Mantan pembalap F1, Martin Brundle, pernah bilang kalau tekanan yang ada saat mengerem itu bisa mencapai 80 kilogram. Itu sebabnya, untuk mengurangi kecepatan mobil F1 dari 300 kmph dibutuhkan kekuatan besar pada kaki untuk menahan beban yang juga besar. Again, it’s the law of physics.
ADVERTISEMENT
Sekarang, coba saja taruh benda dengan total 80 kilogram di kakimu. Angkat lalu turunkan kaki, dan ulangi itu terus menerus selama 1.5 jam. Gimana rasanya?
The art of multitasking
Ada banyak hal yang harus pembalap pikirkan dan lakukan ketika balapan. Mereka harus mengerti puluhan tombol yang ada di setir mobil mereka. Belum lagi data-data rumit yang muncul di layar setir mereka.
Sauber Streering Wheel (Foto: nph/Dieter Mathis/picture-alliance/dpa/AP Images)
Konsentrasi mereka terbagi ketika ada pembalap lain di depan dan belakang yang harus mereka waspadai. Mereka harus memikirkan garis balapan, breaking points, tikungan, dan acceleration points di sirkuit. Mereka harus memikirkan strategi timnya dan juga saingannya. Mereka juga harus mendengarkan team radio tentang waktu yang mereka cetak di setiap lap dan sektor lintasan, posisi dan jarak dengan pembalap lain, keadaan ban, kecepatan, dan instruksi tim. Salah satu yang paling penting, pembalap harus tahu cara menjaga ban mobil selama balapan agar tidak cepat usang. Para pembalap ini pun menggunakan mental yang sudah terlatih untuk membuat detak jantung mereka lebih lambat melalui konsentrasi.
ADVERTISEMENT
Ingat, semua itu mereka lakukan dalam kecepatan super tinggi dan suhu yang panas.
Untuk melatih kecepatan reaksi dan koordinasi mata dan tangan, pembalap F1 biasanya menggunakan alat bernama ‘batak reaction board’. Di sini, pembalap harus menekan tombol sebanyak mungkin ketika lampu di tombol itu menyala. Katanya, skor bagus seorang pilot adalah jika ia bisa menekan 100 tombol dalam 60 detik. Mantan pembalap F1 asal Finlandia, Heikki Kovalainen, bisa menekan rata-rata 121 tombol per sesi. Impressive?
For these drivers, it is no walk in the park. They don’t just sit and drive. Para pembalap atau atlet ini pantas mendapatkan respect yang lebih besar atas apa yang mereka lakukan setiap minggunya— all in the name of entertainment for us mortals. Semoga setelah membaca ini, kita bisa lebih paham kalau kesuksesan seorang pembalap F1 bukan sekadar karena mobil mereka yang canggih. Olahraga ini juga membutuhkan kekuatan fisik dan mental yang hebat dari para pembalap. F1 drivers… we salute you.
ADVERTISEMENT
Rosberg at Baku GP 2016 (Foto: Vladimir Rys)