Etika Pembelaan dalam Penyelesaian Sengketa

Dzadit Taqwa
Dosen Bidang Studi Dasar-Dasar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. LL.M. dari Melbourne Law School melalui dana pendidikan LPDP. Fokus riset dalam bidang hukum tata negara, hukum arbitrase, dan hukum pidana.
Konten dari Pengguna
14 April 2022 11:33 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dzadit Taqwa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: pexels.com/Sora Shimazaki
zoom-in-whitePerbesar
Foto: pexels.com/Sora Shimazaki
ADVERTISEMENT
Tulisan ini dipimpin oleh dan dibuat bersama dengan Bapak Anangga W. Roosdiono (Ketua BANI Arbitration Centre)
ADVERTISEMENT
Persengketaan adalah realitas tidak terelakkan dalam hidup bermasyarakat. Georg Simmel mengatakan bahwa kita harus melihatnya bukan sebagai hal yang berkonotasi negatif. Respons yang terpenting adalah bagaimana menyelesaikan sengketa. Setiap orang yang bersengketa dapat memilih forum apa yang digunakan untuk menyelesaikan sebuah sengketa dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Persoalannya, ketika forum tersebut telah dipilih, tidak semua orang menjalani proses penyelesaian sengketa tersebut dengan iktikad baik. Salah satu variabel dalam proses tersebut yang hendak disoroti adalah pembelaan. Sebuah term yang tampaknya saat ini cenderung berkonotasi peyorasi.
Das Sollen Pembelaan
Pembelaan yang ideal harus dikaitkan dengan tujuan akhir dari persengketaan yang ideal, yakni sengketa selesai atas dasar kebenaran dan keadilan. Implikasi dari selesainya sengketa secara benar adalah seluruh arah pembelaan dilandasi dengan fakta-fakta yang valid dan objektif, tidak dengan data-data yang palsu. Sementara itu, sebuah penyelesaian sengketa dikatakan adil bilamana setiap pihak menanggung tanggung jawab secara linear proporsional atas tindakan hukum apa yang telah diperbuatnya, bukan justru berusaha untuk menghindar dari tanggung jawab yang seharusnya diemban.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, banyak pasal-pasal, baik itu dari UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia, yang mengharuskan para pembela untuk menjalankan pembelaan secara das sollen. Dalam sumpahnya, seorang advokat harus memberi jasa hukum yang didasarkan atas keadilan dan kebenaran (Pasal 4). Bahkan, dalam Kode Etik Advokat Indonesia, bilamana ada suatu permintaan yang itu bertentangan dengan integritas tersebut, para pembela dapat menolaknya (Pasal 3). Dengan kata lain, mendasarkan pembelaan pada kebenaran dan keadilan merupakan etika dasar dari pembelaan.
Secara implisit normatif, persoalan etis dalam pembelaan pun juga perlu diperhatikan dalam proses penyelesaian sengketa di arbitrase. Di dalam Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Arbiter, disebutkan beberapa hal terkait dengan bagaimana seorang arbiter harus menjaga etika. Sementara di sisi lainnya, perilaku yang dapat memancing arbiter untuk melanggar etika dapat diinisiasi oleh para pihak yang bersengketa, yang dalam hal ini diwakili oleh para penasihat hukumnya. Untuk menghasilkan penyelesaian sengketa atas dasar kebenaran dan keadilan, di dalam Peraturan dan Prosedur Arbitrase Tahun 2022, dibuat prosedur sedemikian rupa untuk memberi ruang sekecil-kecilnya tingkah laku tidak etis dalam proses penyelesaian sengketa. Persekongkolan dan kolusi adalah hal terlarang dalam proses arbitrase; iktikad baik adalah yang cara berpikir (mindset) utama.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa implikasi dari pembelaan secara das sollen ini. Secara orientasi, pembelaan harus difokuskan kepada selesainya sebuah sengketa, bukan menangnya sebuah sengketa. Secara cara, pembelaan harus didasarkan pada argumentasi-argumentasi kuat yang didasarkan pada data-data yang valid dan objektif, bukan justru pada hal-hal non-argumentatif yang justru melanggar etika dasar dari pembelaan.
Kami menjadi teringat dengan beberapa advokat yang perlu diteladani, yaitu Lukman Wiriadinata dan Gouw Giok Siong (Sudargo Gautama). Keduanya merupakan panutan yang selalu menekankan aspek kebenaran dan keadilan. Dalam setiap argumentasinya dalam membela kliennya, cara berargumentasi dan apa yang diargumentasikan menjadi pedoman utama keduanya. Bukan justru secara membabi buta keduanya menginginkan kliennya agar menang, tetapi keduanya selalu mengedepankan aspek etis dengan memberikan pengertian kepada para kliennya tentang tanggung jawab mana yang seharusnya dan tidak seharusnya diemban. Logika, data, dan teori hukum selalu menjadi alat utama dalam pembelaan.
ADVERTISEMENT
Penting untuk dicatat, ini semua hanyalah das sollen yang tidak begitu definitif dan tidak memiliki sanksi hukum. Tidak heran, das sein-nya pun mungkin masih dalam proses menuju das sollen-nya.
Das Sein Pembelaan
Berbeda dengan masa lalu ketika jurusan hukum banyak dianjurkan oleh para orang tua, sekarang anjuran tersebut berubah menjadi kehati-hatian karena perubahan paradigma tentang pelaksanaan hukum. Pendasaran umumnya adalah kehalalan pendapatan yang diperoleh dari aktivitas karier hukum, secara khusus yang berkaitan juga dengan pembelaan atau lawyering. Alih-alih membela kebenaran, para pembela dianggap sebagai seseorang yang membela yang membayar. Tidak hanya itu saja, realitas adanya penasihat hukum yang tertangkap melakukan penyuapan semakin mengafirmasi realitas gunung es yang ada di dalam dunia pembelaan.
ADVERTISEMENT
Kami melihat bahwa, dalam realitas pembelaan di Indonesia, adanya misorientasi dalam pembelaan. Alih-alih fokus pada pembelaan yang menekankan pada pembuatan argumentasi yang didasarkan pada data yang valid dan objektif, pembelaan justru dijalankan atas dasar hal-hal nonargumentatif yang pada pokoknya klien mendapatkan kemenangan mutlak. Implikasinya adalah selalu menganggap bahwa dirinya sepenuhnya dalam posisi benar, sehingga muncul perilaku memilih-milih atau memanipulasi fakta, mencari-cari pembenaran atas tindakan yang disadari ada salahnya, bahkan tidak jarang menjelek-jelekkan lawan beracara. Yang lebih bahaya lagi adalah memanfaatkan celah aparat penegak keadilan dengan cara memberikan insentif.
Perilaku ini secara otomatis berimplikasi kepada berbagai macam pihak. Kepada hakim atau subjek yang membantu menyelesaikan persengketaan, proses mencari kebenaran menjadi berliku-liku dan cenderung sulit. Satu sama lain biasanya tidak menggunakan sama sekali data-data yang secara objektif benar tetapi tidak menguntungkannya dalam proses penyelesaian. Padahal, sumber utama untuk memutuskan penyelesaian mana yang terbaik dan adil adalah kebenaran yang bentuknya adalah data-data yang valid dan objektif. Alih-alih seharusnya para pihak membantu subjek pembantu tersebut untuk semakin dekat dengan keadilan, tetapi justru membuat arahnya semakin kabur dan bahkan jauh.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya kepada hakim, perilaku ini sebenarnya juga berimplikasi kepada para pihak. Bilamana tidak didasarkan pada orientasi kebenaran, yang terjadi adalah bentuk kezaliman. Bukan hanya itu saja, perilaku tersebut justru memancing pihak lawan untuk juga berbuat hal yang sama. Sebab, keduanya sama-sama ingin menang, dan kemungkinan besar kalah bilamana tidak ikut melakukan perilaku yang sama. Dengan demikian, muara dari perilaku ini adalah kerusakan dari kultur pembelaan. Realitas ini sering dilihat oleh orang awam yang tidak berkecimpung di dunia hukum sebagai alasan untuk mengatakan pekerjaan pembelaan adalah sebuah pekerjaan yang sumber perolehannya “abu-abu” karena tidak mendasarkan pembelaan pada kebenaran.
Padahal, kami sebenarnya cukup menyangsikan pandangan menggeneralisasi tersebut. Memang, persoalan rumitnya adalah apakah pembela mampu menahan kontraksi antara kepentingan dari pihak yang memohonkan pembelaan, yang diiringi dengan insentif jasa, dengan kebenaran dan keadilan dari sengketa yang ditanganinya. Namun, bukan berarti aktivitas pembelaan itu menjadi tergeneralisasi sebagai aktivitas yang tidak bersih dengan para pembela yang tidak memperhatikan aspek etis dalam pembelaan. Orang-orang yang memang membutuhkan bantuan karena telah terzalimi tentu tetap layak untuk dibela. Dalam konteks lain, pembelaan juga harus diberikan agar agar pihak lawan tidak secara semena-mena berperilaku tidak adil kepada klien kita.
ADVERTISEMENT
Masih begitu banyak konteks di mana justru pembela wajib ada dan bernilai pahala. Bukan hanya itu saja, Kami masih banyak melihat realitas pembelaan yang benar-benar menjadi pembela sejati atas dasar kebenaran dan keadilan. Hal yang paling utama adalah bahwa argumentasi, logika, data, dan etika harus selalu dipegang dalam melakukan pembelaan.