Mendukung Scorsese, Menggugat Marvel

Muhammad Dzaky Abdullah
Sedang menempuh pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaran.
Konten dari Pengguna
7 Januari 2022 19:30 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Dzaky Abdullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

The decline of cinema dan maraknya film-film waralaba

credit: @FelixMooneeram via Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
credit: @FelixMooneeram via Unsplash.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oktober 10, bulan lalu, saya melangkahkan kaki keluar auditorium #1 setelah menyaksikan film Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings (2021). Saya berjalan dengan menundukan kepala untuk menyembunyikan mata saya yang masih sembab. Bukan karena akting dramatis Tony Leung sebagai seorang bapak super, atau dinamika kakak-adik Simu Liu dan Meng’er Zhang, atau pertarungan epik antar dua naga di klimaks film tersebut. Saya menitikkan air mata sama sekali bukan karena apa yang dipaparkan di layar, namun karena saya menonton sembari memikirkan betapa berbedanya hidup saya—dan bagaimana saya mengkonsumsi film—jika dibandingkan dengan masa-masa SMP, saat saya masih menyukai film-film Marvel.
ADVERTISEMENT
Selama durasi Shang-Chi yang merentang 2 jam 12 menit, saya teringat dengan esai Martin Scorsese dengan judul Il Maestro. Esai tersebut ditulis Scorsese sebagai ode terhadap film-film sutradara Federico Fellini, juga sebagai teriakan minta tolongnya akan “the decline of Cinema”, cabang seni yang ia jelas cintai dan geluti sepanjang hidupnya. Scorsese sendiri tidak membatasi secara tegas apakah definisi “Sinema” itu, ia mendefinisikannya dengan perasaan.
Ia menceritakan pengalamannya dengan film Fellini yang ketiga I Vitelloni (1954) sebagai berikut, “Saya rasa saya mengenal mereka (tokoh-tokoh I Vitelloni) dari kehidupan saya sendiri, dari tempat saya dibesarkan. Saya bahkan mengenali bahasa-bahasa tubuh yang sama, selera humor yang sama. Malah, di titik tertentu perjalanan hidup saya, saya lah orang-orang itu. […] I Vitelloni adalah sebuah film hebat tentang kampung halaman. Kampung halaman kita semua.”
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan opininya di The New York Times, Scorsese mendefinsikan sinema sebagai ini, “Cinema itu tentang pengungkapan—pengungkapan estetika, emosional, dan spiritual. Tentang karakter—kerumitan manusia, kontradiksi, dan jatinya yang kadang paradoksil.”
Bagi Scorsese, sinema merupakan sebuah “pengalaman”, dihadapkan dengan ketidakterdugaan, dan sebuah seni yang tak henti-hentinya berdialog antar-satu film dan film lainnya. Pengalaman tersebut tidak dapat kita dapati di film-film waralaba seperti dalam Marvel Cinematic Universe, yang “lebih mirip kepada taman hiburan daripada film yang saya kenal dan cintai sepanjang hidup saya,” tegasnya.
Scorsese jelas bukan berangkat dari kesombongan. Dari penyutradaraan Scorsese lahir filmography klasik yang tak dapat dipungkiri kualitas dan pengaruhnya. Film-filmnya seperti Taxi Driver (1976), Goodfellas (1990), dan The Irishman (2019) merupakan surat cintanya terhadap film, dan komentar pedasnya terhadap film-film Marvel juga esai penghormatan terhadap Federico Fellini ini hanya mengukuhkan keseriusan cintanya.
ADVERTISEMENT
The decline of Cinema bukanlah ide yang abstrak. Bagaimana industri perfilman dewasa ini semakin berorientasi pasar bisa kita lihat jelas nyatanya. Kini bioskop dipenuhi dengan film-film waralaba, terkadang malah, hanya film-film waralaba.
Mengikuti tren sekarang, studio-studio yang membiayai film-film tersebut akan ketagihan dan akan memeras segala bentuk intelectual property untuk menghasilkan film-film sequel, prequel, spin-off, origin, remake, dan lainnya. Sebab, memang menguntungkan model bisnis seperti ini. Film-film yang rebutan takhta box office sebagai film paling laku sepanjang sejarah memang film-film yang berada dalam sebuah waralaba, dan uang yang dihasilkan selalu menggiurkan.
Di sini lah letak kekhawatiran Scorsese, ia tidak mengutuk film-film Marvel sebagai sejatinya buruk, bahkan beliau mengatakan jika ia masih muda kemungkinan ia juga akan menikmati dan turut serta dalam fenomena ini. Scorsese melihat kepengecutan studio-studio yang tidak lagi berani untuk membiayai film-film dengan ide original, film-film yang mencoba mendobrak keadaan “Cinema” yang stagnan. “Itu lah alamnya film-film waralaba modern: market-researched, audience-tested, diperiksa (oleh eksekutif studio), diubah, diperiksa ulang dan diubah ulang sampai film-film itu siap untuk dikonsumsi,” tulisnya. Kita disuguhkan film-film formulaik, tanpa kejutan, film-film yang pasti akan kita suka.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, pendapatnya tidak berangkat dari kesombongan atau kecemburuan. Suburnya film-film yang kurang berbobot mengancam keberadaan sutradara-sutradara seperti Scorsese. Jika studio-studio tak lagi berani mengambil risiko, maka film-film seperti Raging Bull (1985) atau Mean Streets (1973) tidak akan bisa dibuat di lingkungan industri perfilman sekarang ini.
Dengan kebijaksanaan umur senjanya, Scorsese dengan sadar mengatakan bahwa ia tidak berniat ngajak ribut Marvel dan penggemar-penggemarnya. Tapi di sini saya ingin mengembangkan pendapat beliau untuk melawan hegemoni film-film Marvel di ranah budaya kita, berangkat dari filosofinya—salah satu filosof favorit saya—Theodor Adorno, dan anggapan bahwa sejatinya tidak ada artefak budaya yang lahir dari ruang vakum.
Bagi Adorno (melalui Hulatt, 2018), (artefak) kultur populer tidak hanya seni yang buruk, tapi juga seni yang merusak—karena menghalangi kita akan kemerdekaan yang sebenarnya. Film-film “taman hiburan” menunjukkan dirinya sebagai pelepasan emosi dan harapan yang terpendam. Namun, sejatinya, ia merampok kebebasan kita, dalam kebebasan estetika (karena tidak memberikan kita kebebasan untuk menikmati seni yang bukan produk-jual) dan dalam kebebasan moral (dengan menghalangi kita untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya). Bagaimana bisa ini diterapkan pada film-film pahlawan super Marvel?
ADVERTISEMENT
Sudah bukan rahasia bahwa Marvel Studios kerap dibiayai oleh Pentagon (Menteri Pertahanan Amerika Serikat) dalam produksi film-filmnya. Kolaborasi Marvel Studios dengan Pentagon memberikan mereka akses untuk memakai peralatan-peralatan militer secara gratis, dengan kesepakatan bahwa Menteri Pertahanan AS memiliki hak untuk menyunting (menambahkan atau mengurangi) skenario-skenario Marvel agar filmnya menampilkan militer AS dengan pandangan positif. Film Captain Marvel (2018), misalnya, yang dianggap sebagai film feminis dengan protagonis perempuan yang kuat dan independen. Namun, kolaborasi eratnya dengan Angkatan Udara AS menunjukkan dirinya sebagai propaganda rekrutmen pilot tempur yang disamarkan jadi film Blockbuster. Coba katakan, segi mananya yang feminis dari kekuatan militer imperialis yang sampai sekarang menjadi horor terhadap bangsa-bangsa Timur Tengah?
Saat menonton film-film Marvel, secara tidak sadar menonton propaganda militer Amerika. Bahkan, saat film-film tersebut tidak tampak campur tangan militernya, ia masih sedikit problematik. Film Shang-Chi sendiri, yang disebut sebagai film yang merayakan orang-orang Asia-Amerika dan kontribusi mereka pada kultur populer, malah menunjukkan fetisisme orientalis. Atau Eternals (2021), film yang berkutat dalam paradigma rainbow capitalism (komodifikasi identitas komunitas LGBTQ+) dengan memfiturkan tokoh gay pertama di MCU, agak blunder dengan menunjukkan karakter tersebut bertanggung jawab atas dibuatnya bom nuklir yang meleburkan Hiroshima.
ADVERTISEMENT
Bukan, tulisan ini tidak diniatkan untuk memboikot Marvel Studios sebagai produsen film, bukan juga untuk mengajak kita semua untuk tidak lagi menonton film-filmnya. Satu hal yang ingin saya tekankan ialah ini, bahwa budaya populer tidak lahir dari ruang vakum, ia lahir dari iklim politik yang menyelimutinya, dan secara bersamaan, melahirkan iklim politiknya sendiri.
Selama film-film yang ditampilkan di bioskop bukanlah “Cinema”, dan hanya konten-konten belaka, kita harus memandangnya dengan lensa kritis. Dan ini bukan kesombongan atau datang dari kecemburuan. Dan kita harus menyadari bahwa sinema yang dibela mati-matian oleh Scorsese adalah, “Salah satu harta agung budaya kita, dan mesti diperlakukan sebagainya.”