Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tidak Ada Tempat Buat Homofobia di Kampus
20 Desember 2021 12:05 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Dzaky Abdullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini publik dihebohkan oleh rahasia umum yang telah tercanang di dunia pendidikan kita, bahwa kampus adalah lingkungan rawan kekerasan seksual. Pelaku-pelakunya marak dari kalangan mahasiswa senior, yang mengeksploitasi kuasa sosialnya terhadap juniornya, kalangan administrasi kampus, atau bahkan dari jajaran dosen pengajar, pembimbing skripsi dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Maraknya kekerasan seksual di kampus datang dari minimnya perlindungan dalam payung hukum kepada para korban, yang otomatis memberikan keleluasaan untuk para pelaku melakukan kebejatannya. Kekerasan seksual, yang dapat berbentuk seruan catcalling ataupun harrasment melalui dunia maya, dianggap sebagai hal yang wajar, yang perlu dimaklumi/diikhlaskan oleh korban saat terjadi. Pada saat yang sama, kekerasan seksual dianggap tabu untuk dibahas, dengan kedok menjaga nama baik institusi agar tak tercemar bila pemberitaannya menyebar. Sulisty Irianto dalam artikel opininya di Kompas (11/11/21) menaruhnya dengan elok, “Lembaga paling terhormat, penjaga gerbang kebenaran di hati masyarakat, ternyata menyimpan kejahatan yang paling memalukan: kekerasan seksual yang ditutup rapat bisa puluhan tahun. Mengapa?”
Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 30 Tahun 2021 yang memberikan payung hukum yang lebih ajeg untuk penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus menjadi secercah sinar harapan. Namun, tetap saja, pemberitaan mengenai peraturan ini menuai kontroversi dari banyak pihak. Hal ini menunjukkan perjuangan untuk melawan sistem patriarki masih terjal jalurnya, bahkan di lingkungan kampus yang seharusnya menjadi tempat dengan nilai paling progresif di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang seharusnya tidak luput dalam percakapan kita mengenai isu ini merupakan hak-hak LGBTQ+ di lingkungan kampus. Agustus lalu, sebuah acara berjudul “BINCANG MENGENAL #3: MENGENAL KELOMPOK TRANS DI INDONESIA” yang direncakan BEM FISIP UNAIR batal dilaksanakan setelah mendapat tekanan dari beberapa pihak.
Pembungkaman suara yang menyerukan hak asasi LGBTQ+ di masyarakat, terutama di kampus, menjadi wajar adanya. Salah satu organisasi feminis di kampus yang saya ikuti tidak dapat menyuarakan dukungan terhadap perjuangan hak-hak teman-teman LGBTQ+ di kampus karena tak mendapat dukungan dari rektorat.
Ini bukan tentang kompetisi penderitaan atau saling membandingkan satu opresi ke opresi lainnya. Kedua hal genting bisa jadi penting secara bersamaan.
Maraknya kekerasan seksual dan diskriminasi terhadap identitas-identitas non-cishet di ruang kampus kita merupakan manifestasi dari ide-ide patriarkis yang mengakar kuat di masyarakat kita.
ADVERTISEMENT
Patriarki bekerja menjadi kerangka terhadap kedua kebejatan tersebut dengan menetapkan tiga alat penindas: yakni, (a) gender superior, (b) gender biner, (c) heteronomativitas. Gender superior menetapkan strata laki-laki sebagai gender yang lebih tinggi dari perempuan, yang menimbulkan relasi kuasa antar gender yang tak sepadan. Terbukti, menurut survei yang diadakan The Jakarta Post pada tahun 2019 bahwa korban kekerasan seksual di kampus merupakan perempuan. Pun dalam kasus di mana korbannya adalah laki-laki tetap menggunakan logika penindasan patriarkal yang sama. Laki-laki yang “diharuskan” menunjukkan kemaskulinannya akan mendapat sanksi sosial—dianggap lemah atau disepelekan—bila mengungkapkan dirinya sebagai korban.
Konsep gender biner dan heteronormativitas menegahkan gender di luar biner laki-laki/perempuan dan hubungan romantis-seksual di luar biner itu. Dengan memvalidasi apa yang dianggap “normal” dan menyisihkan yang lainnya, ia menjustifikasi stigma dan diskriminasi terhadap identitas LGBTQ+ di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Memperjuangkan hak-hak kawan-kawan LGBTQ+ bukan tentang tunduk ke pandangan “liberal barat” yang menjadi hegemoni dunia dewasa ini. Emansipasi adalah hak setiap setiap manusia, terlepas dari identitas gender dan orientasi seksualnya. Menolak keberadaan dan mendukung penindasan terhadap LGBTQ+ dengan pembenaran bahwa, “LGBTQ+ bukanlah budaya Indonesia”, adalah omong kosong belaka. Budaya dan hukum yang ada dalam suatu masyarakat berubah-ubah tiap waktunya, dan hak-hak yang kita miliki sekarang merupakan hasil dari perjuangan generasi-generasi sebelumnya. ‘Sekarang’ bukan akhir sejarah, sekarang lah kesempatan kita untuk menyetarakan hak-hak untuk kaum yang dimarjinalkan oleh masyarakat.
Tidak ada yang lebih “Indonesia” daripada memperjuangkan hak-hak asasi suatu kelompok. Mengingat Undang-Undang Dasar kita dimulai dengan kalimat, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa..” Kampus seharusnya menjadi tempat aman untuk kelompok-kelompok terpinggirkan dan menjadi suar nilai sosial untuk masyarakatnya.
ADVERTISEMENT